Renungan, Aku Hamba yang Wagu

Renungan, Aku Hamba yang Wagu
'Hamba yang wagu' adalah diriku sendiri yang masih jauh dari kata tepat. Masih jauuuuuh banget dari standar yang ditepatkan dan ditetapkan oleh Alloh untuk hambaNya. Oleh karena itu saya sering mentertawakan diri sendiri, meratapi betapa wagu-nya diriku, sambil aku beristighfar.

Kenapa sambil beristighfar? Ya meng-istighfar-i ke-wagu-anku itu.

Contoh kecil dalam hal sholat. idealnya kan demikian:

"Asholatu mi'rojul mukminin: sholat adalah naik bertemunya seorang mukmin menghadap Alloh"

Ha ha aku menertawakan sholatku sendiri, sekaligus menangisi dan mengistighfari.

Bagaimana tidak. Sholat mestinya ingat bahkan menghadap Alloh. Malah sholatku ingat hal-hal remeh. Mosok sholat ingat urusan keluarga, rumah, mobil, jadwal, duit bahkan ingat kunci hi hi

(ini tidak sedang nyindir siapa2 lho)

Maka usai sholat, bawaannya aku pengen tertawa skaligus menangis. Dua hal yang sulit menyatu maka dari itu, disebut wagu.

Jauh lebih wagu lagi bila kubercermin dengan firman Alloh yang ini:

"sesungguhnya sholat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar"

Ha ha ha Sementara akhlakku? Sholat sih sholat tapi buahnya Astaghfirullohaladzim masih gampang kepancing iri, marah, ghibah, mata jelalatan, lisan sembarangan dsb pokoknya wagu. Baik kewaguanku di of line atau on line.

(ini tidak sedang nyindir siapa2 lho)

Lalu apa bedanya dosa dan wagu? Saya sendiri tidak tahu. Mungkin wagu lebih detail dari sekedar dosa dan salah. Ah yang penting sama-sama untuk diistighfari.

Aku benar2 tidak pantas, menggelikan, konyol dan ya itu wagu. Ku-istighfari terus kewaguanku itu.

Daaan dihari yang fitri ini, aku 'mbahnya' wagu. Sampai bila orang lain ngaca, ia bangga. Tapi diriku mau muntah melihat wajah waguku sendiri didepan cermin. Kenapa?

Sebab dalam hal silaturahim. Allah -melalui lisan rasulNya- menetapkan standart ideal demikian:

لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا

“Orang yang menyambung silaturahim itu, bukanlah yang menyambung hubungan yang sudah terjalin/terhubung, akan tetapi orang yang menyambung silaturahim ialah orang yang menjalin kembali hubungan kekerabatan yang sudah terputus”. [Muttafaqun ‘alaihi].

Makin aku mengulang baca hadist itu, makin aku mau muntah merasakan ke waguanku.

Mestinya yang lebih kusambung silaturahimnya, yang kukirimi ucapan maaf dan yang kudatangi rumahnya itu adalah orang2 yang pernah bermasalah denganku,

yang pernah merendahkanku, yang hubungannya telah renggang bahkan pecah denganku. Yang pernah gegeran denganku. Yang pernah diam-diaman denganku dsb.

Rasanya berat bagiku melawan ego nafsu.Maka kusebut diriku memang WAGU.

(ini tidak sedang nyindir siapa2 lho)

Semoga Alloh mengampuni kewaguanku itu.

Lebih geli, konyol, saru bin wagu lagi bila kusimak sabda Nabi yang ini:

“Maukah engkau aku beritahukan akhlak penghuni dunia dan akhirat yang paling mulia? Yaitu: Menyambung silaturrahim dengan orang yang memutus hubungan silaturrahim, Memberi kepada orang yang tidak mau memberimu.Memaafkan orang yang mendzalimimu” (HR. Hakim)

Makin kubercermin dg Hadist ini. Makin aku pengen muntah melihat diri sendiri. Ya Alloh betapa wagu hamba ini. Jauh dari akhlak Nabi.

Kayak gini kok disebut Ustadz. Ustadz opooo ki. Ya kalo ada orang yg merasa ustadz atau orang faham agama atau siapa saja. Berdalih dakwah tapi  merendahkan sesama muslim. Ya sudah, mungkin mereka marasa itu tepat dan pantas. Tapi kalo aku, malu bin wagu.

(ini tidak sedang nyindir siapa2 lho)

Semakin malu aku dg ke-waguanku. Jika ku ulang2 pesan Nabi yg ini:

"Aku (Nabi) penjamin suatu rumah di surga yang paling bawah bagi orang yang meninggalkan perdebatan walaupun dia benar.
......
Dan aku penjamin sebuah rumah di surga yang paling tinggi bagi orang yang bagus akhlaqnya”. (HR. Abu Daud)

Makin ku baca hadist ini makin tampak wagulah diriku. Masiiiiih juga merasa paling benar dan paling tahu. Bawaanya pengen debat aja. Kayaknya akulah yg paling islam. Ya Alloh aku wagu wagu, karena namanya aku sombong bila merasa 'paling' begitu.

(ini tidak sedang nyindir siapa2 lho)

Aku cuma berimajinasi, bila hari yg fitri ini menjadi moment bareng seluruh muslim di Negri ini, masing2 me-muhasabah-i kewaguannya sendiri-sendiri, niscaya lebih ademlah negri ini.

"Alangkah beruntungnya orang yang sibuk meneliti aib sendiri, sampai tidak sempat mengorek  aib saudaranya". (HR.Muslim)

Tapi ah sudahlah. Mungkin mereka seasama muslim yg saling benci dan saling cari aib, merasa pantas dan tepat melakukan itu. Bagiku dakwah itu mengajak bukan mengejek. Kalo aku malu. Malu pada sabda Nabiku:

"Muslim sejati adalah yang tidak pernah menggunkan lisan dan tangannya untuk menyakiti sesama muslim" .(HR. Bukhari dan Muslim)

Tapi sudah ah mungkin mereka sesama muslim yg saling merasa benar sendiri, saling cari aib dan saling benci. Mereka merasa tepat, pantas, tidak malu dan tidak merasa wagu melakukan itu.

Kalo aku, malu dan merasa wagu.

Kuistighfari juga kewaguanku dalam hal:

Puasaku yg baru bisa puasa perutnya saja
Sholatku yg blm bisa membenahi akhlakku
Dermaku yg baru pada org yg kusuka
Umrahku yg masih ada niat gengsi
Dzikirku yg baru dominan lisan
Bacaan Quranku yg sekedar hafalan
Senyumku yg hanya untuk org yg sefaham saja
Ceramahku yg baru bisa untuk org lain tapi lupa untuk diri
Dan masih banyak sekali kewaguanku.

Oya skali lagi aku sedang tidak nyindir siapa2 lho.

Ya Rasulalloh,.... aku malu padamu
Ya Alloh,....  aku malu padaMu
Semoga Engkau ampuni berjuta ke-wagu-waguanku.
Amiiiiiiin.

Oleh Kang Riyadh, Pengasuh Kajian Alhikam Semarang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jenazah Tidak Wajib dimandikan Jika Bisa Mandi Sendiri

Hukum Menggunakan Jalan Umum untuk Hajatan Pernikahan

Pelaku Bom Bunuh Diri Bukan Mati Syahid