Khilafiyah Shalat Nishfu Sya'ban
Ngaji.web.id - Setelah Amaliyah-amaliyah yang telah saya sebutkan sebelumnya, biasanya terkait malam Nishfu Sya'ban juga terdapat Shalat Sunnah 6 Rakaat atau yang disebut Shalat nishfu Sya'ban(walau niatnya bukan niat Nishfu Sya'ban, tentang Hukumnya mari kita simak apayang telah disampaikan oleh para ulama.
Yang dimaksud oleh Shufi atau ulama tashawuf disini ialah ulama yang telah mutabahhir fiddin(sangat mendalam ilmunya) mulai ilmu tashawuf, fiqh, nahwu dan lain sebagainya, hanya saja mereka lebih dikenal sebagai Ulama Tashawuf. Hukum yang disampaikan ialah:
Ulama khalaf telah mewarisi para ulama salaf dalam menghidupkan malam Nishfu Sya'ban dengan melakukan shalat enam rakaat setelah shalat Maghrib, Tiap dua rakaat dengan satu salaman. Setiap satu rakaat membaca surat Al Fatihah satu kali dan Surat Al Ikhlas enam kali.
Ulama menuturkan bahwa barangsiapa yang melaksanakan shalat seperti tata cara tersebut, akan diberi segala apa yang diinginkan.
Shalat ini masyhur didalam kitab-kitab ulama mutaakhkhirin dari Saadat Shufiyyah. Aku belum melihat sandaran yang shahih dari Assunnah mengenai shalat ini dan doanya, hanya saja hal itu adalah termasuk dari amaliyah para Masyayikh.
Ibnu Taimiyah ditanyai tentang shalat nishfu sya'ban ?
beliau menjawab : " ketika seseorang shalat dimalam nisfu sya'ban secara sendirian atau secara berjama'ah khusus sebagaimana yang dilakukan oleh sekelompok ulama' salaf maka itu lebih bagus."
Yang dimaksud oleh ulama Fiqh disini ialah ulama yang telah mutabahhir fiddin(sangat mendalam ilmunya) mulai ilmu tashawuf, fiqh, nahwu dan lain sebagainya, hanya saja mereka lebih dikenal sebagai Ulama Fiqh. Hukum yang disampaikan ialah:
“Dari 'Ala' bin harits bahwa Aisyah berkata: “Rasulullah bangun di tengan malam kemudian beliau salat, kemudian sujud sangat lama, sampai saya menyangka bahwa beliau wafat. Setelah itu saya bangun dan saya gerakkan kaki Nabi dan ternyata masih bergerak. Kemudian Rasul bangkit dari sujudnya setelah selesai melakukan shalatnya, Nabi berkata “Wahai Aisyah, apakah kamu mengira Aku berkhianat padamu?”, saya berkata “Demi Allah, tidak, wahai Rasul, saya mengira engkau telah tiada karena sujud terlalu lama.” Rasul bersabda “Tahukauh kamu malam apa sekang ini?” Saya menjawab “Allah dan Rasulnya yang tahu”. Rasulullah bersabda “ini adalah malam Nishfu Sya’ban, sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla memperhatikan hamba-hamba-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, Allah akan mengampuni orang-orang yang meminta ampunan, mengasihi orang-orang yang meminta dikasihani, dan Allah tidak akan memprioritaskan orang-orang yang pendendam”. (HR Al Baihaqi fi Syuab Al Iman no 3675, menurutnya hadits ini Mursal yang baik)
Catatan:
1. Letak ke-mursal-an hadits tersebut karena Al ‘Ala’ bin Al harits adalah seorang Tabi'in yang tidak pernah berjumpa dengan Aisyah, prediksi Al Baihaqi menyebutkan Al ‘Ala’ memperoleh hadits tersebut dari gurunya, Makkhul. Imam Ahmad menilai Al ‘Ala’ sebagai orang yang sahih haditsnya. Abu hatim berkata: Tidak ada murid Makhul yang lebih terpercaya dari pada Al ‘Ala’. Ibnu Hajar menyebut Al ‘Ala’ sebagai orang yang jujur dan berilmu fiqh, tetapi ia dituduh pengikut Qadariyah. (Mausu’ah Ruwat Al Hadits)
2. Para Imam Madzhab, seperti Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hanbal mengkategorikan hadits Mursal sebagai hadits yang dapat diterima (Hadits Maqbul) bila memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya Sahabat atau Tabi'in yang digugurkan dari sanad merupakan seorang yang dikenal kredibilitasnya, tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih, dan lain sebagainya, sebagaimana yang tercantum dalam kitab-kitab Ulumul Hadits.
3.Berkata Zainuddin al-Iraqy :
“Hadits shalat malam nisfu Sya’ban adalah hadits bathil dan hadits Ali, “apabila tiba malam nisfu Sya’ban, maka dirikanlah malamnya dan berpuasalah pada siangnya”. Isnadnya adalah dha’if.”
Sekian, amaliyah shalat Nishfu Sya'ban adalah Khilafiyah para Ulama Salaf Maupun Khalaf, Ulama Shufi Maupun Ulama Fiqh jadi boleh bagi kita melaksanakannya dengan itba' kepada Ulama yang memperbolehkan dan boleh juga tidak menjalankan Shalat Nisfu Sya'ban. Wallahu A'lam.
Hukum Menurut Para Ulama Tashawuf (Shufi)
Yang dimaksud oleh Shufi atau ulama tashawuf disini ialah ulama yang telah mutabahhir fiddin(sangat mendalam ilmunya) mulai ilmu tashawuf, fiqh, nahwu dan lain sebagainya, hanya saja mereka lebih dikenal sebagai Ulama Tashawuf. Hukum yang disampaikan ialah:
Disebutkankan oleh Sayyid Murtadha Azzabidi dalam Kitab Ittihafissadatil Muttaqin, Syarh Ihyaa` Ulumiddin juz 3 halaman 424:
وَقَدْ تَوَارَث الْخَلَفُ عَنِ السَّلَفِ فِيْ إِحْيَاءِ هَذِهِ اللَّيْلَةِ بِصَلَاةِ سِتِّ رَكَعَاتٍ بَعْدَ صَلَاة الْمَغْرِبِ كُلُّ رَكْعَتَيْنِ بِتَسْلِيْمَةٍ يَقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ مِنْهَا بِالْفَاتِحَةِ مَرَّةً وَالْإِخْلَاصِ سِتَّ مَرَّاتٍ بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ يَقْرَأُ سُوْرَةَ يس مَرَّةً وَيَدْعُوْ اَلدُّعَاءَ الْمَشْهُوْرَ بِدُعَاءِ لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَيَسْأَلُ اللهَ تَعَالَى اَلْبَرَكَةَ فِي الْعُمْرِ ثُمَّ فِي الثَّانِيَةِ اَلْبَرَكَةَ فِي الرِّزْقِ ثُمَّ فِي الثَّالِثَةِ اَلْبَرَكَةَ فِيْ حُسْنِ الْخَاتِمَةِ
Ulama khalaf telah mewarisi para ulama salaf dalam menghidupkan malam Nishfu Sya'ban dengan melakukan shalat enam rakaat setelah shalat Maghrib, Tiap dua rakaat dengan satu salaman. Setiap satu rakaat membaca surat Al Fatihah satu kali dan Surat Al Ikhlas enam kali.
Usai shalat dua rakaat, membaca Surat Yasin satu kali dan berdoa dengan do'a yang telah masyhur yaitu do'a malam nisfu sya'ban dan berdoa memohon kepada Allah agar diberi keberkahan didalam umurnya, Bacaan kedua memohon agar agar diberi keberkahan didalam rizkinya, Bacaan ketiga memohon agar diberi keberkahan mendapat predikat husnul Khatimah(amaliyah dan doa ini telah saya posting dalam artikel sebelumnya).
وَذَكَرُوْا أَنَّ مَنْ صَلَّى هَكَذَا بِهَذِهِ الْكَيْفِيَّةِ أُعْطِيَ جَمِيْعَ مَا طَلَبَ وَهَذِهِ الصَّلَاةُ مَشْهُوْرَةٌ فِيْ كُتُبِ الْمُتَأَخِّرِيْنَ مِنَ السَّادَةِ الصُّوْفِيَّةِ وَلَمْ أَرَ لَهَا وَلَا لِدُعَائِهَا مُسْتَنَدًا صَحِيْحًا فِي السُّنَّةِ اِلَّا اَنَّهُ مِنْ عَمَلِ الْمَشَايِخِ
Ulama menuturkan bahwa barangsiapa yang melaksanakan shalat seperti tata cara tersebut, akan diberi segala apa yang diinginkan.
Shalat ini masyhur didalam kitab-kitab ulama mutaakhkhirin dari Saadat Shufiyyah. Aku belum melihat sandaran yang shahih dari Assunnah mengenai shalat ini dan doanya, hanya saja hal itu adalah termasuk dari amaliyah para Masyayikh.
- Sedangkan dalam kitab majmu' fatwanya ibnu taimiyyah(ideolog Wahabiyah), juz 1 halaman 469 tertulis sbb :
وَسُئِلَ عَنْ صَلَاةِ نِصْفِ شَعْبَانَ ؟ .
فَأَجَابَ : إذَا صَلَّى الْإِنْسَانُ لَيْلَةَ النِّصْفِ وَحْدَهُ أَوْ فِي جَمَاعَةٍ خَاصَّةٍ كَمَا كَانَ يَفْعَلُ طَوَائِفُ مِنْ السَّلَفِ فَهُوَ أَحْسَنُ .
فَأَجَابَ : إذَا صَلَّى الْإِنْسَانُ لَيْلَةَ النِّصْفِ وَحْدَهُ أَوْ فِي جَمَاعَةٍ خَاصَّةٍ كَمَا كَانَ يَفْعَلُ طَوَائِفُ مِنْ السَّلَفِ فَهُوَ أَحْسَنُ .
Ibnu Taimiyah ditanyai tentang shalat nishfu sya'ban ?
beliau menjawab : " ketika seseorang shalat dimalam nisfu sya'ban secara sendirian atau secara berjama'ah khusus sebagaimana yang dilakukan oleh sekelompok ulama' salaf maka itu lebih bagus."
Hukum Menurut Para Ulama Fiqh(Faqih)
Yang dimaksud oleh ulama Fiqh disini ialah ulama yang telah mutabahhir fiddin(sangat mendalam ilmunya) mulai ilmu tashawuf, fiqh, nahwu dan lain sebagainya, hanya saja mereka lebih dikenal sebagai Ulama Fiqh. Hukum yang disampaikan ialah:
Hukum melakukan shalat sunnah mutlak pada malam Nishfu Sya’ban adalah mustahab (disunnahkan) karena Rasulullah Saw pernah melaksanakan shalat tersebut. Sementara jika shalat tersebut diniati nishfu sya’ban maka hukumnya haram, karena tidak ada tuntunan ibadah salat nishfu sya’ban. Bentuk salat sunah yang boleh dikerjakan pada malam Nishfu Sya’ban adalah salat sunah mutlak, salat Hajat, salat Tasbih, dan shalat apapun yang telah dilakukan oleh Rasulullah Saw.
Catatan:
Kedudukan hukum mustahab adalah satu tingkat di bawah hukum sunnah.
Dasar Pengambilan Hukum:
Catatan:
Kedudukan hukum mustahab adalah satu tingkat di bawah hukum sunnah.
Dasar Pengambilan Hukum:
ذكريات ومناسبات لسيد محمد بن علوى الملكى ص 155-156
عَنِ الْعَلاَءِ بْنِ الْحَارِثِ اَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَامَ رَسُوْلُ اللهِ e مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى فَأَطَالَ السُّجُودَ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ قَدْ قُبِضَ، فَلَمَّا رَأَيْتُ ذَلِكَ قُمْتُ حَتَّى حَرَّكْتُ إِبْهَامَهُ فَتَحَرَّكَ فَرَجَعَ، فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ السُّجُودِ وَفَرَغَ مِنْ صَلاَتِهِ قَالَ: يَا عَائِشَةُ أَوْ يَا حُمَيْرَاءُ أَظَنَنْتِ أَنَّ النَّبِيَّ e قَدْ خَاسَ بِكِ؟ قُلْتُ: لاَ وَاللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَلَكِنِّي ظَنَنْتُ أَنْ قُبِضْتَ طُوْلَ سُجُوْدِكَ، قَالَ: أَتَدْرِي أَيَّ لَيْلَةٍ هَذِهِ؟ قُلْتُ: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: هَذِهِ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَطَّلِعُ عَلَى عِبَادِهِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِلْمُسْتَغْفِرِيْنَ وَيَرْحَمُ الْمُسْتَرْحِمِيْنَ وَيُؤَخِّرُ أَهْلَ الْحِقْدِ كَمَا هُمْ، رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ. وَقَالَ هَذَا مُرْسَلٌ جَيِّدٌ وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُوْنَ الْعَلاَءُ أَخَذَهُ مِنْ مَكْحُوْلٍ
“Dari 'Ala' bin harits bahwa Aisyah berkata: “Rasulullah bangun di tengan malam kemudian beliau salat, kemudian sujud sangat lama, sampai saya menyangka bahwa beliau wafat. Setelah itu saya bangun dan saya gerakkan kaki Nabi dan ternyata masih bergerak. Kemudian Rasul bangkit dari sujudnya setelah selesai melakukan shalatnya, Nabi berkata “Wahai Aisyah, apakah kamu mengira Aku berkhianat padamu?”, saya berkata “Demi Allah, tidak, wahai Rasul, saya mengira engkau telah tiada karena sujud terlalu lama.” Rasul bersabda “Tahukauh kamu malam apa sekang ini?” Saya menjawab “Allah dan Rasulnya yang tahu”. Rasulullah bersabda “ini adalah malam Nishfu Sya’ban, sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla memperhatikan hamba-hamba-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, Allah akan mengampuni orang-orang yang meminta ampunan, mengasihi orang-orang yang meminta dikasihani, dan Allah tidak akan memprioritaskan orang-orang yang pendendam”. (HR Al Baihaqi fi Syuab Al Iman no 3675, menurutnya hadits ini Mursal yang baik)
Catatan:
1. Letak ke-mursal-an hadits tersebut karena Al ‘Ala’ bin Al harits adalah seorang Tabi'in yang tidak pernah berjumpa dengan Aisyah, prediksi Al Baihaqi menyebutkan Al ‘Ala’ memperoleh hadits tersebut dari gurunya, Makkhul. Imam Ahmad menilai Al ‘Ala’ sebagai orang yang sahih haditsnya. Abu hatim berkata: Tidak ada murid Makhul yang lebih terpercaya dari pada Al ‘Ala’. Ibnu Hajar menyebut Al ‘Ala’ sebagai orang yang jujur dan berilmu fiqh, tetapi ia dituduh pengikut Qadariyah. (Mausu’ah Ruwat Al Hadits)
2. Para Imam Madzhab, seperti Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hanbal mengkategorikan hadits Mursal sebagai hadits yang dapat diterima (Hadits Maqbul) bila memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya Sahabat atau Tabi'in yang digugurkan dari sanad merupakan seorang yang dikenal kredibilitasnya, tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih, dan lain sebagainya, sebagaimana yang tercantum dalam kitab-kitab Ulumul Hadits.
مجموع فتاوى ابن تيمية ج 2 ص 469
وَسُئِلَ عَنْ صَلاَةِ نِصْفِ شَعْبَانَ؟ (الْجَوَابُ) فَأَجَابَ: إذَا صَلَّى اْلإِنْسَانُ لَيْلَةَ النِّصْفِ وَحْدَهُ أَوْ فِيْ جَمَاعَةٍ خَاصَّةٍ كَمَا كَانَ يَفْعَلُ طَوَائِفُ مِنْ السَّلَفِ فَهُوَ أَحْسَنُ. وَأَمَّا اْلاِجْتِمَاعُ فِي الْمَسَاجِدِ عَلَى صَلاَةٍ مُقَدَّرَةٍ. كَاْلاِجْتِمَاعِ عَلَى مِائَةِ رَكْعَةٍ بِقِرَاءَةِ أَلْفٍ: {قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ} دَائِمًا. فَهَذَا بِدْعَةٌ لَمْ يَسْتَحِبَّهَا أَحَدٌ مِنَ اْلأَئِمَّةِ. وَاللهُ أَعْلَمُ.
“Ibnu Taimiyah(ulama Ideolog wahabiyah) ditanyai soal shalat pada malam nishfu Sya’ban. Ia menjawab: Apabila seseorang shalat sunah muthlak pada malam nishfu Sya’ban sendirian atau berjamaah, sebagaimana dilakukan oleh segolongan ulama salaf, maka hukumnya adalah baik. Adapun kumpul-kumpul di masjid dengan shalat yang ditentukan, seperti salat seratus raka’at dengan membaca surat al Ikhlash sebanyak seribu kali, maka ini adalah perbuata bid’ah yang sama sekali tidak dianjurkan oleh para ulama”. (Majmú' Fatáwá Ibnu Taymiyyah, II/469)
فيض القدير ج 2 ص 302
(تَنْبِيْهٌ) قَالَ المَجْدُ ابْنُ تَيْمِيَّةَ لَيْلَةُ نِصْفِ شَعْبَانَ رُوِىَ فِى فَضْلِهَا مِنَ اْلأَخْبَارِ وَاْلأثَارِ مَا يَقْتَضِى أنَّهَا مُفَضَّلَةٌ وَمِنَ السَّلَفِ مَنْ خَصَّهَا بِالصَّلاَةِ فِيْهَا
“Ibnu Taimiyah berkata : Dari beberapa hadits dan pandapat para sahabat menunjukkan bahwa malam Nishfu Sya’ban memiliki keutamaan tersendiri. Sebagian ulama Salaf melaksanakan salat sunah secara khusus di malam tersebut”. (Faidl al-Qadír, II/302)
اعانة الطالبين ج 1 ص 271
قَالَ العَلاَّمَةُ الْكُرْدِى وَاخْتَلَفَ اْلعُلَمَاءُ فِيْهَا فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ لَهَا طُرُقٌ إذَا اجْتُمِعَتْ وَصَلَ الْحَدِيْثُ إلَى حَدٍّ يُعْمَلُ بِهِ فِى فَضَائِلِ اْلأَعْمَالِ وَمِنْهُمْ مَنْ حَكَمَ عَلَى حَدِيْثِهَا بِالْوَضْعِ وَمِنْهُمُ النَّوَوِى وَتَبِعَ الشَّارِحُ فِى كُتُبِهِ.
“Syeikh Al Kurdy berkata : Para Ulama berbeda pendapat mengenai hadis-hadis yang berhubungan dengan salat sunah malam Nishfu Sya’ban, diantara para ulama ada yang mengatakan bahwa hadits tersebut (meskipun Dlaif) memiliki banyak jalur riwayat, yang secara keseluruhan (akumulasi) hadits tersebut boleh dilaksanakan dalam hal Fadlailul A’mal (naik peringkat menjadi hadis hasan lighairihi). Diantara ulama yang lain menghukuminya sebagai hadits palsu, seperti Imam Nawawi dan Syekh Zainuddin Al Malibary”. (I'ánah al-Thálibín, I/271)
Pendapat ulama yang tidak Setuju dengan shalat Nisfu Sya’ban, antara lain dapat diperhatikan dalam kutipan di bawah ini:
1.Berkata Zainuddin al-Malibary dalam Fath al-Mu’in :
“Adapun shalat yang ma’ruf dengan Lailah al-Raghaib, nisfu sya’ban dan hari asyura adalah bid’ah qabihah dan hadits-haditsnya adalah mauzhu’
2.Zainuddin al-Malibary dalam Irsyad al-Ibad mengatakan :
“Termasuk dalam bid’ah yang tercela yang berdosa pelakunya dan wajib atas pemimpin melarang pelakunya adalah shalat Raghaib dua belas raka’at di antara dua Isya pada malam awal Jum’at bulan Rajab, shalat malam nisfu sya’ban seratus raka’at, shalat akhir Jum’at bulan Ramadhan sebanyak tujuh belas raka’at dengan niat qadha shalat lima waktu yang tidak diyakininya, shalat hari Asyura empat raka’at atau lebih dan shalat asbu’ (mingguan). Adapun hadits-haditsnya mauzhu’ yang bathil dan jangan tertipu dengan orang-orang yang menyebutnya.”
1.Berkata Zainuddin al-Malibary dalam Fath al-Mu’in :
“Adapun shalat yang ma’ruf dengan Lailah al-Raghaib, nisfu sya’ban dan hari asyura adalah bid’ah qabihah dan hadits-haditsnya adalah mauzhu’
2.Zainuddin al-Malibary dalam Irsyad al-Ibad mengatakan :
“Termasuk dalam bid’ah yang tercela yang berdosa pelakunya dan wajib atas pemimpin melarang pelakunya adalah shalat Raghaib dua belas raka’at di antara dua Isya pada malam awal Jum’at bulan Rajab, shalat malam nisfu sya’ban seratus raka’at, shalat akhir Jum’at bulan Ramadhan sebanyak tujuh belas raka’at dengan niat qadha shalat lima waktu yang tidak diyakininya, shalat hari Asyura empat raka’at atau lebih dan shalat asbu’ (mingguan). Adapun hadits-haditsnya mauzhu’ yang bathil dan jangan tertipu dengan orang-orang yang menyebutnya.”
3.Berkata Zainuddin al-Iraqy :
“Hadits shalat malam nisfu Sya’ban adalah hadits bathil dan hadits Ali, “apabila tiba malam nisfu Sya’ban, maka dirikanlah malamnya dan berpuasalah pada siangnya”. Isnadnya adalah dha’if.”
Sekian, amaliyah shalat Nishfu Sya'ban adalah Khilafiyah para Ulama Salaf Maupun Khalaf, Ulama Shufi Maupun Ulama Fiqh jadi boleh bagi kita melaksanakannya dengan itba' kepada Ulama yang memperbolehkan dan boleh juga tidak menjalankan Shalat Nisfu Sya'ban. Wallahu A'lam.
Jama'aha:
Santri PP APIS Sanan Gondang Blitar
Komentar
Posting Komentar