Tidak Boleh Menjual Tanah Masjid Untuk Membangun Masjid
Ngaji.web.id - Kasus penjualan tanah yang dimiliki masjid untuk merenovasi atau membangun kembali masjid itu sendiri memang terkesan dilematis. Di satu sisi masjid yang ada sudah tua dan rusak sehingga bisa membahayakan jamaah yang menjalankan ibadah di dalamnya.
Sedang di sisi lain, merenovasi masjid juga memerlukan biaya yang tidak sedikit, dan tidak bisa sepenuhnya mengandalkan bantuan dari masyarakat setempat. Namun sepanjang pengalaman kami, mencari bantuan untuk pembangun masjid lebih mudah dari pada mencari bantuan atau wakaf untuk menghidupi masjid.
Sebelumnya pertama yang harus dipahami adalah tentang pengertian wakaf. Wakaf secara bahasa adalah menahan (al-habs). Sedang menurut syara` wakaf adalah menahan harta-benda tertentu yang bisa diambil manfaatnya untuk hal-hal yang diperbolehkan (mubah) sembari tetap utuhnya dzat atau materinya, dengan larangan mentasharufkan dzatnya.
“Bab tentang wakaf. Secara bahasa wakaf artinya menahan (al-habs), sedang menurut syara` wakaf adalah menahan harta-benda yang bisa diambil manfaatnya untuk hal yang diperbolehkan berserta tetap utuhnya harta-benda itu sediri dengan cara tidak mentasharufkan dzatnya. (Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahhab bi Syarhi Manhaj ath-Thullab, Bairut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1418 H, juz, I, h. 440)
Adapun di antara dalil yang menjadi dasar wakaf salah satunya adalah hadits riwayat Muslim yang menyatakan bahwa: “Ketika anak Adam meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali tiga yaitu sedekah jariyah (sedekah yang selalu mengalir pahalanya), ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendo’akan orang tuanya”. Para ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud sedekah jariyah di dalam hadits tersebut adalah wakaf. Hal ini sebagaimana dikemukakan Zakariya al-Anshari.
Adapun dasar tentang wakaf adalah hadits riwayat Muslim: ‘Ketika anak Adam meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali tiga yaitu sedekah jariyah (sedekah yang selalu mengalir pahalanya), ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendo’akan orang tuanya’. Menurut para ulama sedekah jariyah ditafsirkan atau mengandung pengertian wakaf,” (Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahhab bi Syarhi Manhaj ath-Thullab, Bairut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1418 H, juz, I, h. 440).
Penjelasan tentang wakaf di atas mengandaikan bahwa harta benda wakaf tidak boleh dijual-belikan. Menurut madzhab syafi’i, imam Malik, imam Ahmad dan para ulama berpendapat bahwa jual-beli harta-benda wakaf adalah batal, baik hakim (pihak pemerintah) menetapkan kesahannya maupun tidak. Hanya imam Abu Hanifah yang memperbolehkan jual-beli harta-benda wakaf tetapi dengan catatan belum disahkan oleh hakim.
“Pandangan para ulama mengenai hukum jual-beli benda yang diwakafkan. Kami telah menyebutkan bahwa madzhab kami (madzhab syafi’i) berpendapat bahwa jual-beli harta-benda wakaf adalah batal baik kesahannya telah ditetapkan oleh pihak pemerintah (hakim) atau belum. Inilah pandangan yang dipegangi imam Malik, imam Ahmad dan seluruh ulama kecuali imam Abu Hanifah dimana beliau berpendapat bolehnya jual-beli herta-benda wakaf selama belum ditetapkan kesahannya oleh hakim” (Lihat Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Bairut-Dar al-Fikr, juz, IX, h. 246)
Kendati demikian dalam kasus tertentu dimana harta-benda wakaf tersebut sama sekali tidak bisa dimanfaatkan lagi maka ada pendapat yang memperbolehkannya. Misalnya menjual tikar atau karpet masjid yang sudah rusak dan tidak layak untuk dipakai.
Sedang di sisi lain, merenovasi masjid juga memerlukan biaya yang tidak sedikit, dan tidak bisa sepenuhnya mengandalkan bantuan dari masyarakat setempat. Namun sepanjang pengalaman kami, mencari bantuan untuk pembangun masjid lebih mudah dari pada mencari bantuan atau wakaf untuk menghidupi masjid.
Sebelumnya pertama yang harus dipahami adalah tentang pengertian wakaf. Wakaf secara bahasa adalah menahan (al-habs). Sedang menurut syara` wakaf adalah menahan harta-benda tertentu yang bisa diambil manfaatnya untuk hal-hal yang diperbolehkan (mubah) sembari tetap utuhnya dzat atau materinya, dengan larangan mentasharufkan dzatnya.
كِتَابُ اْلوَقْفِ هُوَ لُغَةً اَلْحَبْسُ وَشَرْعًا حَبْسُ مَالٍ يُمْكِنُ الِانْتِفَاعُ بِهِ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ بِقَطْعِ التَّصَرُّفِ فِي رَقَبَتِهِ عَلَى مَصْرِفٍ مُبَاحٍ.
“Bab tentang wakaf. Secara bahasa wakaf artinya menahan (al-habs), sedang menurut syara` wakaf adalah menahan harta-benda yang bisa diambil manfaatnya untuk hal yang diperbolehkan berserta tetap utuhnya harta-benda itu sediri dengan cara tidak mentasharufkan dzatnya. (Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahhab bi Syarhi Manhaj ath-Thullab, Bairut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1418 H, juz, I, h. 440)
Adapun di antara dalil yang menjadi dasar wakaf salah satunya adalah hadits riwayat Muslim yang menyatakan bahwa: “Ketika anak Adam meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali tiga yaitu sedekah jariyah (sedekah yang selalu mengalir pahalanya), ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendo’akan orang tuanya”. Para ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud sedekah jariyah di dalam hadits tersebut adalah wakaf. Hal ini sebagaimana dikemukakan Zakariya al-Anshari.
وَالْأَصْلُ فِيهِ خَبَرُ مُسْلِمٍ { إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ } .وَالصَّدَقَةُ الْجَارِيَةُ مَحْمُولَةٌ عِنْدَ الْعُلَمَاءِ عَلَى الْوَقْفِ
Adapun dasar tentang wakaf adalah hadits riwayat Muslim: ‘Ketika anak Adam meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali tiga yaitu sedekah jariyah (sedekah yang selalu mengalir pahalanya), ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendo’akan orang tuanya’. Menurut para ulama sedekah jariyah ditafsirkan atau mengandung pengertian wakaf,” (Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahhab bi Syarhi Manhaj ath-Thullab, Bairut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1418 H, juz, I, h. 440).
Penjelasan tentang wakaf di atas mengandaikan bahwa harta benda wakaf tidak boleh dijual-belikan. Menurut madzhab syafi’i, imam Malik, imam Ahmad dan para ulama berpendapat bahwa jual-beli harta-benda wakaf adalah batal, baik hakim (pihak pemerintah) menetapkan kesahannya maupun tidak. Hanya imam Abu Hanifah yang memperbolehkan jual-beli harta-benda wakaf tetapi dengan catatan belum disahkan oleh hakim.
فِي مَذَاهِبِ الْعُلَمَاءِ فِي بَيْعِ الْعَيْنِ اَلْمَوْقُوفَةِ ذَكَرْنَا اَنَّ مَذْهَبَنَا بُطْلَانُ بَيْعِهَا سَوَاءٌ حَكَمَ بِصِحَّتِهِ حَاكِمٌ اَوْلَا وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَاَحْمَدُ وَالْعُلَمَاءُ كَافَّةً اِلَّا أَبَا حَنيِفَةَ فَقَالَ يَجُوزُ بَيْعُهُ مَا لَمْ يَحْكُمْ بِصِحَّتِهِ حَاكِمٌ
“Pandangan para ulama mengenai hukum jual-beli benda yang diwakafkan. Kami telah menyebutkan bahwa madzhab kami (madzhab syafi’i) berpendapat bahwa jual-beli harta-benda wakaf adalah batal baik kesahannya telah ditetapkan oleh pihak pemerintah (hakim) atau belum. Inilah pandangan yang dipegangi imam Malik, imam Ahmad dan seluruh ulama kecuali imam Abu Hanifah dimana beliau berpendapat bolehnya jual-beli herta-benda wakaf selama belum ditetapkan kesahannya oleh hakim” (Lihat Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Bairut-Dar al-Fikr, juz, IX, h. 246)
Kendati demikian dalam kasus tertentu dimana harta-benda wakaf tersebut sama sekali tidak bisa dimanfaatkan lagi maka ada pendapat yang memperbolehkannya. Misalnya menjual tikar atau karpet masjid yang sudah rusak dan tidak layak untuk dipakai.
وَالْأَصَحُّ جَوَازُ بَيْعِ حُصْرِ الْمَسْجِدِ إِذَا بَلِيَتْ وَجُذُوعُهُ إِذَا انْكَسَرَتْ وَلَمْ تَصْلُحْ إِلَّا لِلْإِحْرَاقِ
“Pendapat yang lebih sahih menyatakan bahwa boleh menjual tikar (atau karpet, pent) apabila sudah rusak atau tiangnya jika sudah rapuh dan tidak sudah tidak layak dipakai kecuali dibakar”. (Muhyiddin Syarf, Minhaj ath-Thalibin wa ‘Umdatul Muftiyin, Bairut-Dar al-Ma’rifah, h. 81)
Kebolehan dalam konteks ini harus dibaca dalam kerangka untuk menghindari adanya penyia-nyian terhadap harta-benda tersebut, sehingga menjualnya diperbolehkan. Sedangkan hasil penjualannya diperuntukkan bagi kepentingan wakaf itu sendiri, yang dalam hal ini adalah untuk kemaslahatan masjid.
Dengan mengacu pada penjelasan di atas maka menjual tanah sawah masjid di mana tanah tersebut masih produktif adalah tidak diperbolehkan, dan jual-beli tersebut adalah batal sebab harta-benda wakaf hanya boleh diambil manfaatnya tanpa harus menghilangkan materinya. Sedang pihak-pihak yang terkait dengan jual-beli sawah masjid tersebut harus bertanggungjawab dengan mengembalikannya.
Wallahu a'lam.
Komentar
Posting Komentar