Kajian Islam '' Pemimpin Non Muslim '' Untuk Ustadz Maulana dan Penentangnya
Ngaji.web.id - Ustadz Maulana mengeluarkan pernyataan kontroversial dalam ceramahnya dengan menyebutkan bahwa ketika membahas soal kepemimpinan tidak perlu bicara agama. Pernyataan ini disampaikan dalam acara Islam Itu Indah stasiun televisi TransTV edisi senin 9 November 2015.
Pada dasarnya mengangkat pemimpin non muslim tidak diperbolehkan. Sebab dengan mengangkat mereka akan memberikan jalan bagi mereka untuk menguasai kaum muslim. Hal ini jelas akan merugikan kaum muslim itu sendiri.
Larangan tersebut tentu harus diberlakuakan dalam kondisi normal. Sehingga ada sebagai ulama yang membolehkan dalam kondisi darurat, yaitu kondisi dimana ada beberapa hal-hal yang tidak bisa ditangani oleh kaum muslimin sendiri baik langsung maupun tidak langsung, atau terdapat indikasi kuat adanya ketidakberesan (khianat) dari orang muslim itu sendiri.
Kebolehan dalam kondisi darurat ini harus dipahami dalam konteks kafir dzimmi. Dan bagi pihak yang mengangkat kafir dzimmi (nonmuslim yang berdamai), yang dalam konteks ini adalah pihak muslim harus selalu memberikan pengawasan yang ketat terhadap kinerjanya. Disamping itu juga harus mencegah atau menghalaginya agar tidak mengganggu kalangan muslim sendiri.
Hal ini juga pernah dibahas dalam Muktamar NU dengan Rumusan sebagai berikut:
Orang Islam tidak boleh menguasakan urusan kenegaraan kepada orang non Islam kecuali dalam keadaan darurat, yaitu:
Baca : Indonesia Boleh dipimpin Non Muslim?
Jadi, pengawasan terhadap kinerja dan jaminan bahwa pihak kafir dzimmi tidak akan mengganggu kalangan muslim dari pihak yang mengangkatnya untuk menangani beberapa hal yang tidak bisa ditangani oleh orang muslim, baik langsung maupun tidak langsung, menjadi sebuah keharusan. Pengawasan menjadi penting agar orang tersebut tetap bekerja dengan baik sesuai aturan yang telah ditetapkan. Sedang perlindungan terhadap kalangan muslim juga tak kalah pentingnya agar ia tidak bisa semena-mena.
Dari penjelasan singkat itu setidaknya dapat dipahami bahwa kebolehan mengangkat orang kafir dzimmi untuk mengisi jabatan-jabatan tertentu atau memimpinnya dibolehkan sepanjang tidak ada orang muslim yang mampu menanganinya(Darurat), berlaku adil, dan adanya kemaslahatan. Atau terdapat indikasi yang kuat, kalau diserahkan kepada kalangan muslim sendiri ternyata tidak beres (khianat).
Nah, Yang Jadi pertanyaan, Apa status Non Muslim Indonesia? Dzimmi? Harbi? atau yang lain?
Dalam hasil keputusan FMPP (Forum Musyawarah antar Pondok Pesantren) se Jawa dan Madura diputuskan bahwa status orang kafir di Indonesia adalah kafir harbi fi dzimmatit-ta’min (kafir harbi yang mendapat perlindungan), sebab antara non muslim di Indonesia dan pemerintah Indonesia tidak ada akad yang sesuai dengan aturan syara’. Orang kafir bisa berstatus kafir dzimmi apabila ada perjanjian dengan pemerintah yang sesuai dengan aturan Islam.
Jadi, Bagaimana Hukumnya mengangkat Pemimpin dari kafir harbi fi dzimmatit-ta’min (Non Muslim Indonesia) ? Tunggu Jawabannya dalam artikel selanjutnya :)
Jama'aha: Hamim Mustofa Nerashuke
“Ah agamanya beda? kalau kita membahas kepemimpinan tidak usah bicara agama. Kepemimpinan itu tidak berbicara masalah agama” ujar Ustadz Maulana disambut tawa peserta yang hadir.
Lebih lanjut Ustadz asal Makassar yang memiliki nama lengkap Muhammad Nur Maulana ini juga membuat analogi aneh bahwa kepemimpinan diidentikan dengan pilot.
“Jadi kau tidak mau naik pesawat kalau pilotnya agama lain? jadi berbicara seperti ini jangan ada black campaign” tutur Ustadz Maulana.
Setelah itu ramailah media sosial dengan tanggapan netizen atas pernyataan Ustad Maulana tersebut, dengan sama-sama tidak tahu dalilnya mereka terus menghujat dan menyalahkan ustadz Maulana, nah bagaimana hukum sebenarnya mengangkat dan memilih Pemimpin Non Muslim itu? Mari kita kaji bersama, saya harap Ustad Maulana dan para Penentangnya membaca tulisan ini.
وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ الْكَافِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلاً -النساء: 141
“Dan Allah Swt. sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk memusnahkan orang-orang beriman.” (QS. an-Nisa` [4]: 141).Larangan tersebut tentu harus diberlakuakan dalam kondisi normal. Sehingga ada sebagai ulama yang membolehkan dalam kondisi darurat, yaitu kondisi dimana ada beberapa hal-hal yang tidak bisa ditangani oleh kaum muslimin sendiri baik langsung maupun tidak langsung, atau terdapat indikasi kuat adanya ketidakberesan (khianat) dari orang muslim itu sendiri.
نَعَمْ إِنِ اقْتَضَتْ الْمَصْلَحَةُ تَوْلِيَّتَهُ فِيْ شَيْءٍ لاَ يَقُوْمُ بِهِ غَيْرُهُ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ أَوْ ظَهَرَ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ خِيَانَةٌ وَأَمِنَتْ فِيْ ذِمِّيٍّ وَلَوْ لِخَوْفِهِ مِنْ الْحَاكِمِ مَثَلًا فَلاَ يَبْعُدُ جَوَازُ تَوْلِيَّتِهِ لِضَرُوْرَةِ الْقِيَامِ بِمَصْلَحَةِ مَا وَلِّيَ فِيْهِ، وَمَعَ ذَلِكَ يَجِبُ عَلَى مَنْ يَنْصِبُهُ مُرَاقَبَتُهُ وَمَنْعُهُ مِنَ التَّعَرُّضِ لِأَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
“Jika suatu kepentingan mengharuskan penyerahan sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan oleh orang lain dari kalangan umat Islam atau tampak adanya pengkhianatan pada si pelaksana dari kalangan umat Islam, dan aman berada di kafir dzimmi walaupun karena rasa takutnya kepada penguasa. (Dalam konteks ini) maka boleh menyerahkan jabatan padanya karena adanya keharusan (dlarurah) untuk mewujudkan kemaslahatan sesuatu yang dia diangkat untuk mengurusinya. Meskipun demikian, bagi pihak yang mengangkatnya, harus selalu mengawasi orang kafir tersebut dan mampu mencegahnya dari mengganggu terhadap siapapun dari kalangan umat Islam” (Ibnu Hajar al-Haitsami, Tuhfah al-Muhtaj, dalam Abdul Hamid asy-Syirwani dan Ibnu Qasim al-‘Abbadi, Hawasyai asy-Syirwani wa al-‘Abbadi, Mesir-at-Tijariyyah al-Kubra, tt, juz, 9, h. 73) Kebolehan dalam kondisi darurat ini harus dipahami dalam konteks kafir dzimmi. Dan bagi pihak yang mengangkat kafir dzimmi (nonmuslim yang berdamai), yang dalam konteks ini adalah pihak muslim harus selalu memberikan pengawasan yang ketat terhadap kinerjanya. Disamping itu juga harus mencegah atau menghalaginya agar tidak mengganggu kalangan muslim sendiri.
Hal ini juga pernah dibahas dalam Muktamar NU dengan Rumusan sebagai berikut:
Orang Islam tidak boleh menguasakan urusan kenegaraan kepada orang non Islam kecuali dalam keadaan darurat, yaitu:
1. - Dalam bidang-bidang yang tidak bisa ditangani sendiri oleh orang Islam secara langsung atau tidak langsung karena faktor kemampuan.
- - Dalam bidang-bidang yang ada orang Islam berkemampuan untuk menangani, tetapi terdapat indikasi kuat bahwa yang bersangkutan khianat.
3. - Sepanjang penguasaan urusan kenegaraan kepada non Islam itu nyata membawa manfaat.
Catatan: Orang non Islam yang dimaksud berasal dari kalangan ahl al-dzimmah(Kafir Dzimmi) dan harus ada mekanisme kontrol yang efektif.Baca : Indonesia Boleh dipimpin Non Muslim?
Jadi, pengawasan terhadap kinerja dan jaminan bahwa pihak kafir dzimmi tidak akan mengganggu kalangan muslim dari pihak yang mengangkatnya untuk menangani beberapa hal yang tidak bisa ditangani oleh orang muslim, baik langsung maupun tidak langsung, menjadi sebuah keharusan. Pengawasan menjadi penting agar orang tersebut tetap bekerja dengan baik sesuai aturan yang telah ditetapkan. Sedang perlindungan terhadap kalangan muslim juga tak kalah pentingnya agar ia tidak bisa semena-mena.
Dari penjelasan singkat itu setidaknya dapat dipahami bahwa kebolehan mengangkat orang kafir dzimmi untuk mengisi jabatan-jabatan tertentu atau memimpinnya dibolehkan sepanjang tidak ada orang muslim yang mampu menanganinya(Darurat), berlaku adil, dan adanya kemaslahatan. Atau terdapat indikasi yang kuat, kalau diserahkan kepada kalangan muslim sendiri ternyata tidak beres (khianat).
Nah, Yang Jadi pertanyaan, Apa status Non Muslim Indonesia? Dzimmi? Harbi? atau yang lain?
Dalam hasil keputusan FMPP (Forum Musyawarah antar Pondok Pesantren) se Jawa dan Madura diputuskan bahwa status orang kafir di Indonesia adalah kafir harbi fi dzimmatit-ta’min (kafir harbi yang mendapat perlindungan), sebab antara non muslim di Indonesia dan pemerintah Indonesia tidak ada akad yang sesuai dengan aturan syara’. Orang kafir bisa berstatus kafir dzimmi apabila ada perjanjian dengan pemerintah yang sesuai dengan aturan Islam.
Jadi, Bagaimana Hukumnya mengangkat Pemimpin dari kafir harbi fi dzimmatit-ta’min (Non Muslim Indonesia) ? Tunggu Jawabannya dalam artikel selanjutnya :)
Jama'aha: Hamim Mustofa Nerashuke
Komentar
Posting Komentar