Hukum Meminta Kembali Tanah Warisan Yang Diwakafkan Ibunya

Assalamu’alaikum wr. wb
Seorang ibu menyerahkan tanah miliknya dari bagian warisan suaminya yang telah meninggal dunia ke masjid sebagai wakaf. Tetapi beberapa bulan kemudian anak tunggal dari ibu tersebut menemui DKM dan meminta kembali tanah wakaf yang telah diberikan oleh ibunya. Bagaimana hukumnya? Mohon penjelasannya. Wassalamu’alaikum wr. wb (Wahidin/Pangandaran-Jawa Barat).


JAWABAN :

Assalamu’alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Pada kesempatan yang lalu kami telah berusaha memberikan jawaban untuk pertanyaan pertama mengenai hukum menjual tanah masjid berupa sawah untuk merenovasi masjid itu sendiri.

Sedang dalam kesempatan ini kami akan berusaha menjawab pertanyaan kedua yaitu mengenai kasus seorang ibu yang mewakafkan tanah warisan yang didapatkan dari almarhum suaminya, tetapi pihak anaknya malah meminta kembali tanah wakaf tersebut.


Sekilas pertanyaan di atas tampak simpel, tetapi setalah dicermati lebih dalam ternyata tidak sesederhana yang kami kira. Ada hal yang sebenarnya belum diuraikan secara gamblang dari pertanyaan tersebut sehingga kami pun kemudian mencoba membayangkan pelbagai kemungkinan yang terjadi. Konsekuensinya adalah akan memunculkan jawaban yang di-tafshil atau dirinci.

Namun sebelum kami menrincinya terlebih dahulu kami akan jelaskan sedikit tentang salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh pihak yang mewakafkan (al-waqif) dan harta benda yang boleh diwakafkan atau al-mauquf. Hal ini penting dikemukakan karena akan dijadikan sebagai pijakan untuk menjawab pertanyaan di atas.

Menurut qaul atau pendapat yang azhhar dalam madzhab Syafi’i bahwa kepemilikan harta benda yang diwakafkan berpindah menjadi milik Allah. Artinya kepemilikan tersebut lepas dari indvidu tertentu, bukan milik pihak yang mewakafkan (waqif), bukan juga pihak yang menerima wakaf (al-mauquf ‘alaih). Tetapi manfaat dari harta-benda wakaf itu menjadi milik mauquf ‘alaih.

اَلْأَظْهَرُ أَنَّ الْمِلْكَ فِي رَقَبَةِ الْمَوْقُوفِ يَنْتَقِلُ اِلَى اللهِ تَعَالَى

“Menurut pendapat yang azhhar dalam madzhab Syafi’i adalah bahwa kepemilikan pada zat harta-benda yang diwakafkan itu berpindah kepada Allah swt” (Muhammad Zuhri al-Ghamrawi, as-Sirajul Wahhaj, Bairut-Dar al-Ma’rifah, h. 305).

Namun tidak semua orang bisa mewakafkan harta bendanya tetapi hanya orang yang telah memenuhi persyaratannya. Dan di antara syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang mewakafkan adalah ia termasuk dalam kategori ahliyyatut tabarru’ (orang memiliki kecakapan atau memadai untuk berderma). Karenanya tidak sah wakafnya orang gila, anak kecil, orang yang dipaksa, mahjur ‘alaih (orang yang dilarang oleh hakim untuk menggunakan hartanya), atau budak mukatab.

وَشَرْطُ الْوَاقِفِ أَهْلِيَّةُ التَّبَرُّعِ، فَلَا يَصِحُّ وَقْفُ الْمَجْنَونِ وَالصَّبِيِّ وَالْمُكْرَهُ وَالْمَحْجُورِ عَلَيْهِ وَالْمُكَاتَبِ

“Syarat orang yang mewakafkan adalah ahliyyatut tabarru’ maka tidak wakafnya orang gila, anak kecil, orang yang dipaksa, dan orang yang dilarang oleh hakim untuk menggunakan harta (al-mahjur ‘alaih) dan budak mukatab”. (Al-Bakri Muhammad Syatha ad-Dimyathi, I’anatut Thalibin, Beirut-Darul Fikr, juz, III, h. 186)

Sedangkan di antara syarat harta benda yang boleh diwakafkan adalah harus berupa harta benda yang bernilai, diketahui dengan jelas, dan dimiliki oleh orang yang akan mewakafkannya dengan kepemilikan yang sempurna. Hal ini sebagaimana kesepakatan para fuqaha`.

اِتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى اشْتِرَاطِ كَوْنِ الْمَوْقُوفِ مَالاً مُتَقَوَّماً، مَعْلُوماً، مَمْلُوكاً لِلْوَاقِفِ مِلْكاً تَامًّا

“Para fuqaha telah sepakat bahwa disyaratkan harta-benda yag diwakafkan adalah harta-benda yang bernilai, diketahui dengan jelas dan dimiliki oleh pihak yang mewakafkannya dengan kepemilikan yang penuh” (Lihat, Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Darul Fikr-Damaskus, cet ke-12, juz, XI, h. 320)

Jika penjelasan singkat ini ditarik dalam konteks pertanyaan di atas maka penarikan kembali tanah sawah yang telah diwakafkan si ibu untuk masjid oleh anak tunggalnya—di mana sawah tersebut didapatkan dari warisan suaminya—,tidak diperbolehkan. Sebab, begitu sawah tersebut diwakafkan maka secara otomatis kepemilikannya berpindah menjadi milik Allah.

Namun jika ternyata sawah tersebut adalah harta warisan bersama, artinya bahwa ada bagian waris si anak dalam tanah sawah tersebut, maka tanah sawah yang menjadi bagian si ibu tidak bisa ditarik kembali karena tanah tersebut sepenuhnya miliknya (al-milkut tam) dan sudah diwakafkan sehingga secara otomatis sudah berpindah kepemilikannya dan tidak bisa ditarik kembali.

Adapun tanah sawah yang menjadi bagian warisan si anak dapat diambil kembali, karena salah satu syarat harta benda yang boleh diwakafkan adalah harta benda yang dimiliki secera penuh oleh pihak yang mewakafkan. Sedang bagian warisan si anak tersebut bukan milik si ibu tetapi milik anaknya.

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Semoga konflik tentang wakaf di atas bisa cepat teratasi dengan baik. Dan kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu’alaikum wr. Wb


Oleh : Ust. Mahbub Ma’afi Ramdlan, via nu.or.id


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hukum Menggunakan Jalan Umum untuk Hajatan Pernikahan

Jenazah Tidak Wajib dimandikan Jika Bisa Mandi Sendiri

Pelaku Bom Bunuh Diri Bukan Mati Syahid