Bukti kontradiktif wahabi dan kaidah bidah wahabi kacau balau




السلام عليكم ورحمة الله وبركاته


Saya catatkan disini contoh bentuk tanaqud;kontradiktif antara pengaku manhaj salafi,dan hal itu membuat makin jelas pada kita bahwa mafhum bidah menurut salafi itu ga jelas dan gonjang ganjing yang sangat dahsyat,dan perkara ini tdk cocok dengan pengakuan mereka yang muluk... 

Contoh ini bermula dari sebuah qisah yang akan aku ceritakan dengan ringkas: 

Aku duduk dengan sekumpulan orang yang taasub dengan kelompok kecil yang mereka ketahui dan mengingkari kelompok besar yang tidak mereka ketahui yakni mereka adalah wahabi,dan lalu terjadi pembahasan tentang masalah mafhum bidah dan cara penyelesaiannya dan berujung pada pendapat mereka bahwa menghidupkan malam maulid nabi SAW adalah bidah dholalah
Maka aku lalu menyebutkan pendapat pemuka ulama dan imam umat islam dan juga muhaddis dahulu [1] yang berfatwa atas isthbabnya atau di bolehkannya mengadakan maulid 

Lalu mereka dengan yakin berkata "padahal mereka belum membaca dalil2 ulama dan imam tersebut': tidak ada dalil atas pendapat imam imam tersebut,justru ulama sunnah [maksud mereka adalah ulama wahabi] sepakat atas bidah dolalahnya amalan maulid 

Lalu aku berkata [dalam rangka memberi penjelasan]:setelah kalian bangun dari rukuk dalam shalat yakni ketika itidal,apakah kalian menyimpan dua tangan di atas dada atau melonjorkan keduanya ke bawah??

lalu mereka menjawab: aku menyimpan kedua tanganku di atas dada 

Aku pun berkata kembali:jika begitu,maka yang engkau lakukan itu sesuai sunnah menurut Ibnu utsaimin tetapi menurut albani,engkau telah melakukan bidah dholalah,lalu aku menjelaskan perkara itu. 

lalu ia diam,kemudian berkata:mereka berdua adalah ulama besar,maka barang siapa ijtihad dan tepat,maka ia dapat dua pahala,dan jika salah maka mereka mendapat atu pahala yaitu pahala ijtihadnya. 

Maka aku berkata: engkau telah menimbang dengan takaran yang tepat,maka engkau pun mesti menimbang pada kami dengan takaran yang sesuai juga,ketika terjadi perbedaan yang kontradiktif antara syaikh salafi sendiri,maka engkau mengangap bahwa itu ijtihad dan bukan bidah dan kalian diam,dan tetapi ketika syaikh salafi sepakat terhadap hal yang mana pendapat mereka berbeda dengan para imam imam yang agung seperi dalam hal maulid,maka hukum menurut engkau cuma satu yaitu dengan hukum pasti bahwa itu bidah dholalah...!!! apakah ini bukan sebuah taasub yang berlebihan dan merupakan hal yang di murkai yang kau hukumi pada golongan lain ???lalu bagaimana kalian menghukumi?? 

Maka aku tdk mendapat jawaban lagi darinya kecuali perkataan mereka:takutlah engkau kepada Allah,daging ulama itu beracun de el el..heheheh

===========================================================

Sekarang mari kita lihat bukti perbedaan pendapat yang kontradiktif antara Ibnu utsaimin dan Albani: Ibnu utsaimin berkata bahwa menyimpan kedua tangan di atas dada setelah berdiri dari rukuk yakni ketika itidal itu adalah sunnah,Dan Albani berkata bahwa hal itu adalah bidah dholalah .

LIHAT bukti perkataan Ibnu utasimin plus scan kitab juga referensinya hususnya yang warna merah:

 : وضع اليدين على الصدر بعد القيام من الركوع، سنة مشروعة 






Lihat bukti perkataan Albani plus scan kitab juga referensinya,lihat warna merah:

•  : وضع اليدين على الصدر بعد القيام من الركوع، بدعة ضلالة  



Contoh kedua:

Masalah perkataan bagi yang wafat:telah berpulang ke tempatnya yang terakhir

انتقل إلى مثواه الأخير


di sini perkataan bin baz kontradiksi dengan ibnu utsaimin dan albani

Ibnu baz berkata:

: لا بأس بمقولة انتقل إلى مثواه الأخير 

:tidak apa apa berkata:ia telah berpulang ke tempatnya yang terakhir.

lihat buktinya:





Ibnu utsaimin berkata:

• مقولة ((انتقل إلى مثواه الأخير)) حرام لا يجوز، ومضمونها إنكار البعث 

perkataan :telah berpulang ke tempatnya yang terakhir itu hukumnya haram dan tidak boleh dan mengandung keingkaran atas adanya hari kebangkitan .

lihat buktinya:





Albani berkata:

• مقولة ((انتقل إلى مثواه الأخير)) كفر لفظي على الأقل !!! وما ألقاها بين الناس إلا كافر ملحد 

;perkataan;telah berpulang ke tempatnya yang terakhir itu merupakan kufur ucapan dan tidaklah di kenakan pada manusia kecuali ia adalah kafir yang mulhid.

lihat scan kitabnya yang warna merah:





[1] # Al Hafizh Ibnu Hajar (wafat tahun 852 H) berkata, sebagaimana diterangkan oleh al Hafizh As Suyuthi (wafat tahun 911 H) dalam kitab Al Haawi Lil Fataawi juz I halaman 282:


وَ قَدْ ظَهَرَ لِي تَخْرِيجُهَا عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ وَهُوَ مَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيحَيْنِ مِنْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَسَأَلَهُمْ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ أَغْرَقَ اللَّهُ فِيهِ فِرْعَوْنَ وَنَجَّى فِيهِ مُوسَى فَنَحْنُ نَصُومُهُ شُكْرًا للهِ تَعَالَى }


Telah zahir bagi saya, mengeluarkan (mendasarkan) amaliyah maulid atas landasan yang kuat, yaitu hadits dalam hadist shahihain (shahih Bukhari dan shahih Muslim) bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, beliau menemukan orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura, maka beliau bertanya kepada mereka, dan mereka menjawab, “Itu hari dimana Allah menenggelamkan Firaun, menyelamatkan Musa, kami berpuasa sebagai ungkapan syukur kepada Allah Ta’ala.”


فَيُسْتَفَادُ مِنْهُ فِعْلُ الشُّكْرِ لِلَّهِ عَلَى مَا مَنَّ بِهِ فِي يَوْمٍ مُعَيَّنٍ مِنْ إسْدَاءِ نِعْمَةٍ وَدَفْعِ نِقْمَةٍ وَيُعَادُ ذَلِكَ فِي نَظِيرِ ذَلِكَ الْيَوْمِ مِنْ كُلِّ سَنَةٍ


Dari situ dapat diambil kesimpulan bahwa boleh melakukan syukur kepada Allah atas apa yang Dia anugerahkan pada hari tertentu berupa pemberian nikmat dan penyelamatan dari mara bahaya, dan setiap tahun dilakukan setiap bertepatan pada hari itu.


وَالشُّكْرُ لِلَّهِ يَحْصُلُ بِأَنْوَاعِ الْعِبَادَةِ كَالسُّجُودِ وَالصِّيَامِ وَالصَّدَقَةِ وَالتِّلَاوَةِ وَأَيُّ نِعْمَةٍ أَعْظَمُ مِنْ النِّعْمَةِ بِبُرُوزِ هَذَا النَّبِيِّ الَّذِي هُوَ نَبِيُّ الرَّحْمَةِ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ


Bersyukur kepada Allah bisa dicapai dengan macam-macam ibadah, seperti bersujud, berpuasa, bersedekah dan membaca Al Quran. Nikmat mana yang lebih agung melebihi datangnya Nabi ini pada hari itu. Beliau merupakan nabi rahmat.


وَ عَلَى هَذَا فَيَنْبَغِي أَنْ يُتَحَرَّى الْيَوْمُ بِعَيْنِهِ حَتَّى يُطَابِقَ قِصَّةَ مُوسَى فِي يَوْمِ عَاشُورَاءَ وَمَنْ لَمْ يُلَاحِظْ ذَلِكَ لَا يُبَالِي بِعَمَلِ الْمَوْلِدِ فِي أَيِّ يَوْمٍ مِنْ الشَّهْرِ بَلْ تَوَسَّعَ قَوْمٌ فَنَقَلُوهُ إلَى يَوْمٍ مِنْ السَّنَةِ
..... إلخ


Atas hal yang demikian, maka seyogyanya diusahakan Maulid dilaksanakan pada hari tersebut. Adapun orang yang tidak memperhatikan hal yang demikian maka dia tidak perduli dalam hari apa dari bulan tersebut dia mengadakan Maulid, bahkan ada orang-orang yang memperluas, mereka memindahkankannya ke hari dari setahun…dst
Catatan:
Berikut riwayat Imam Muslim tentang berpuasa Asyura yang dilakukan oleh orang Yahudi:

وَحَدَّثَنِيْ ابْنُ أَبِيْ عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَيُّوْبَ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ سَعِيْدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا - أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُوْدَ صِيَامًا يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُوْلُ اللهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - « مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى تَصُومُونَهُ ». فَقَالُوْا هَذَا يَوْمٌ عَظِيْمٌ أَنْجَى اللهُ فِيْهِ مُوْسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوْسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُوْمُهُ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- « فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوْسَى مِنْكُمْ ». فَصَامَهُ رَسُوْلُ اللهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ.


Telah menceritakan saya, Ibnu Abi Umar, telah menceritakan kami, Sufyan bin Ayyub, dari Abdullah bin Said bin Jubair, dari bapaknya, dari Ibnu Abbas –radhiyallaahu ‘anhumaa- :

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam tiba di Madinah mendapati kaum Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Maka Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: “Hari apakah ini sehingga kalian berpuasa padanya?” Mereka menjawab: ”Ini adalah hari agung dimana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya serta menenggelamkan Fir’aun beserta kaumnya, lalu Musa berpuasa pada hari itu sebagai ungkapan syukur sehingga kamipun berpuasa.” Maka Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: ”Kami lebih berhak atas Musa daripada kalian. Maka Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam-pun berpuasa dan menyuruh berpuasa hari Asyura” [Shahih Muslim juz III halaman 150, hadits nomor 2714, maktabah syamilah / juz I halaman 459, cetakan Al Ma’arif Bandung]

# al-Imam al-Hafizh as-Sakhawi seperti disebutkan dalam al-Ajwibah al-Mardliyyah, sebagai berikut:


لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ فِيْ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ الْفَاضِلَةِ، وَإِنَّمَا حَدَثَ بَعْدُ، ثُمَّ مَا زَالَ أَهْـلُ الإِسْلاَمِ فِيْ سَائِرِ الأَقْطَارِ وَالْمُـدُنِ الْعِظَامِ يَحْتَفِلُوْنَ فِيْ شَهْرِ مَوْلِدِهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ- يَعْمَلُوْنَ الْوَلاَئِمَ الْبَدِيْعَةَ الْمُشْتَمِلَةَ عَلَى الأُمُوْرِ البَهِجَةِ الرَّفِيْعَةِ، وَيَتَصَدَّقُوْنَ فِيْ لَيَالِيْهِ بِأَنْوَاعِ الصَّدَقَاتِ، وَيُظْهِرُوْنَ السُّرُوْرَ، وَيَزِيْدُوْنَ فِيْ الْمَبَرَّاتِ، بَلْ يَعْتَنُوْنَ بِقِرَاءَةِ مَوْلِدِهِ الْكَرِيْمِ، وَتَظْهَرُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَرَكَاتِهِ كُلُّ فَضْلٍ عَمِيْمٍ بِحَيْثُ كَانَ مِمَّا جُرِّبَ". ثُمَّ قَالَ: "قُلْتُ: كَانَ مَوْلِدُهُ الشَّرِيْفُ عَلَى الأَصَحِّ لَيْلَةَ الإِثْنَيْنِ الثَّانِيَ عَشَرَ مِنْ شَهْرِ رَبِيْع الأَوَّلِ، وَقِيْلَ: لِلَيْلَتَيْنِ خَلَتَا مِنْهُ، وَقِيْلَ: لِثَمَانٍ، وَقِيْلَ: لِعَشْرٍ وَقِيْلَ غَيْرُ ذَلِكَ، وَحِيْنَئِذٍ فَلاَ بَأْسَ بِفِعْلِ الْخَيْرِ فِيْ هذِهِ الأَيَّامِ وَاللَّيَالِيْ عَلَى حَسَبِ الاسْتِطَاعَةِ بَلْ يَحْسُنُ فِيْ أَيَّامِ الشَّهْرِ كُلِّهَا وَلَيَالِيْهِ.

“Peringatan Maulid Nabi belum pernah dilakukan oleh seorang-pun dari kaum Salaf Saleh yang hidup pada tiga abad pertama yang mulia, melainkan baru ada setelah itu di kemudian. Dan ummat Islam di semua daerah dan kota-kota besar senantiasa mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan kelahiran Rasulullah. Mereka mengadakan jamuan-jamuan makan yang luar biasa dan diisi dengan hal-hal yang menggembirakan dan baik. Pada malam harinya, mereka mengeluarkan berbagai macam sedekah, mereka menampakkan kegembiraan dan suka cita. Mereka melakukan kebaikan-kebaikan lebih dari biasanya. Mereka bahkan meramaikan dengan membaca buku-buku maulid. Dan nampaklah keberkahan Nabi dan Maulid secara merata. Dan ini semua telah teruji”. Kemudian as-Sakhawi berkata: “Aku Katakan: “Tanggal kelahiran Nabi menurut pendapat yang paling shahih adalah malam Senin, tanggal 12 bulan Rabi’ul Awwal. Menurut pendapat lain malam tanggal 2, 8, 10 dan masih ada pendapat-pendapat lain. Oleh karenanya tidak mengapa melakukan kebaikan kapanpun pada hari-hari dan malam-malam ini sesuai dengan kesiapan yang ada, bahkan baik jika dilakukan pada hari-hari dan malam-malam bulan Rabi'ul Awwal seluruhnya” .

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jenazah Tidak Wajib dimandikan Jika Bisa Mandi Sendiri

Hukum Menggunakan Jalan Umum untuk Hajatan Pernikahan

Pelaku Bom Bunuh Diri Bukan Mati Syahid