Benarkah Imam Al Ghazali Belajar Hadith Hanya Di Akhir Hayatnya ?




Ada beberapa pihak yang memiliki pemikiran berlawanan dengan Hujjatul Islam Al Ghazali menyimpulkan bahwa kajian Al Ghazali terhadap Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim menjelang wafat, menunjukkan bahwa beliau sebelumnya jauh dari Sunnah dan di akhir hayat beliau telah kembali kepada Sunnah!

Cara berfikir seperti ini tidak bisa dibenarkan. Apakah jika seseorang di akhir hayatnya banyak mengkaji hadits otomatis ia sebelumnya ia jauh dari hadits? Atau membenci hadits? Atau belum mengkaji hadits? Belum tentu. Banyak orang yang membaca hadits di akhir hayatnya, dan sebelumnya juga mempelajari hadits dan mengamalkan serta mengajarkannya. Demikian pula Imam Al Ghazali ini.

Al Ghazali sebelumnya sudah menyimak Shahih Al Bukhari dan lainnya

Kajian Al Ghazali terhadap Shahih Al Bukhari di akhir hayat beliau sama sekali tidak menunjukkan bahwa beliau sebelumnya jauh dari Sunnah, karena beliau sudah akrab dengan Sunnah sejak beliau mencari ilmu. Berikut ini keterangan para huffadz dan ulama mengenai hal ini.

Abdul Ghafir Al Farisi:
“Di akhir hayat, beliau menyambut hadits Al Musthafa Shalallahu Alaihi Wasallam, dan duduk bersama para ahlinya, serta menelaah As Shahihain, Bukhari dan Muslim, yang mana keduanya (As Shahihain) merupakan hujjah Islam. Seandainya beliau masih hidup maka benar-benar melampaui semuanya dari disiplin ilmu tersebut (hadits), dengan waktu yang cukup singkat, beliau meluangkan waktu untuk memperolehnya.”

Kemudian, Abdul Ghafir Al Farisi melanjutkan:
”Tidak diragukan lagi bahwa beliau telah menyimak hadits di waktu-waktu sebelumnya dan beliau menyibukkan diri dengan menyimaknya di akhir hayat walau tidak sebagai perawi, namun hal itu tidak membahayakan terhadap apa yang beliau tinggalkan dari buku-buku yang ditulis dalam masalah ushul, furu’ dan seluruh varian (karya) yang tiada henti-hentinya disebut. Dan ditetapkan oleh mereka yang telah menelaah bahwa tidak ada yang meninggalkan karya yang sebanding dengannya”(Lihat, Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra,6/210).

Al Hafidz Ibnu Asakir:
”Beliau telah menyimak Shahih Al Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Abdillah Al Hafshi dan menjadi guru di Madrasah Nidhamiyah di Baghdad. Kemudian keluar ke Syam mengunjungi Bait Al Maqdis. Kemudian menuju Damaskus tahun 489 H dan bermukim beberapa waktu di sana. Telah sampai kepadaku bahwa di sana beliau menulis beberapa karya beliau. Kemudian kembali ke Baghdad lalu ke Khurasan. Kemudian mengajar beberapa saat di Thus, setelah itu meninggalkan pengajaran dan perdebatan untuk menyibukkan diri dengan ibadah.”

Kemudian Hafidz Ibnu Asakir menyebutkan:
”Disebutkan bahwa beliau mengundang Abu Al Fityan Umar bin Abi Hasan Ar Rawasi, seorang Hafidz di Thus, dan memulyakan beliau. Beliau (Al Ghazali) menyimak dari beliau (Ar Rawasi) Shahih Bukhari dan Muslim”(Lihat, Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 6/210).

Dari paparan Abdul Ghafir Al Farisi dan Al Hafidz Ibnu Asakir kita mengatahui bahwa Imam Al Ghazali sebelum menyimak hadits dari Ar Rawasi di Thus, kota dimana beliau meninggal, beliau sudah menyimak Shahih Bukhari terlebih dahulu kepada Al Hafshi. Al Hafidz Al Hafshi sendiri adalah guru dari Imam Al Juwaini, guru Imam Ghazali juga yang tinggal di Naisabur. Apa yang dikatakan Al Hafidz Ibnu Asakir, bahwa beliau sejak awal sudah mengkaji Shahih Al Bukhari menunjukkan bahwa Al Ghazali menyimaknya saat menuntut ilmu di Naisabur, sebelum mengajar di Baghdad yang pertama.

Disamping Shahih Bukhari beliau juga telah menyimak dua juz kitab Maulid Ar Rasul yang ditulis oleh Abu Bakar As Syaibani dari Syeikh Abu Abdullah Muhammad bin Muhammad Al Khuwari (lihat, Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 6/213).

Hadits-hadits dalam Ihya menunjukkan bahwa Al Ghazali telah menelaah hadits


Selain data di atas, ada fakta yang menjukkan bahwa Al Ghazali sudah sudah mengkaji kitab-kitab Sunnah jauh sebelum beliau mengkajinya di akhir hayat. Fakta itu adalah hadits-hadits yang termaktub dalam kitab Ihya Ulumuddin.

Murujuk takhrij Al Hafidz Al Iraqi mengenai hadits-hadits Ihya, beliau telah menjelaskan asal-asal hadits dalam kitab tersebut. Tidak hanya berasal dari Shahih Al Bukhari, Muslim dan Ibnu Huzaimah. Hadits-hadits lainnya juga dikeluarkan Ashab As Sunan (At Tirmidzi, An Nasai, Abu Dawud, dan Ibnu Majah), dan kitab-kitab hadits lainnya seperti Musnad Ahmad, Firdaus atau Syu’ab Al Iman Al Baihaqi, Al Marasil Ibnu Abi Dunya, dll (lihat, Takhrij Ihya dihamisy Ihya Ulumuddin cet. Dar Sya’b, Kairo).

Tentu, Al Ghazali tidak akan mampu mengetengahkan hadits-hadits dari berbagai sumber itu, untuk dijadikan hujjah kecuali setelah beliau menelaah hadits itu terlebih dahulu, dari berbagai kitab dan sumber.

Ihya sendiri telah beliau tulis sebelum kembali ke Baghdad untuk kedua kalinya, yakni ketika berada di Syam. Dan saat beliau tiba di Baghdad, beliau telah mengajarkan Ihya di sana (Lihat, Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 6/200, 207).

Baru setelah itu beliau ke Khurasan lalu kembali ke kampung halaman beliau di Thus dan mendirikan madrasah di samping rumah beliau dan mengajar di sekolah tersebut. Di saat mendekati wafat beliau menyimak Shahih Al Bukhari dan Muslim dari Ar Rawasi, dan wafat pada tahun 505 H.

Bukhari-Muslim, tidak cukup untuk menjadikan seorang memperoleh gelar Al Hujjah,sedangkan al ghazali gelarnya adalah hujjatul islam



Argumen lain yang memperkuat bahwa Imam Al Ghazali telah mengkaji hadits tidak hanya ketika beliau hendak wafat saja adalah gelar beliau Al Hujjah.

Jika gelar Al Hujjah adalah orang yang menguasai mayoritas Sunnah dan tidak luput darinya kecuali sedikit, sesuai dengan keterangan Al Allamah An Nawawi Al Bantani saat mensyarah maksud kata “Hujjatul Islam” yang terdapat di matan Bidayah Al Hidayah karya Imam Al Ghazali (Lihat, Maraqi Al Ubudiyah, hal. 2), maka, tidak mungkin Al Ghazali memperoleh gelar itu dengan hanya menyimak As Shahihain di akhir hayat beliau.

Walhasil, menyimpulkan Imam Al Ghazali jauh dari Sunnah, hanya karena beliau menyimak As Shahihain di akhir hidup beliau merupakan argumen yang amat lemah, karena sesuai dengan fakta dan data sejarah, beliau jauh-jauh sebelumnya sudah akrab dengan Sunnah.

Bagaimana Al Ghazali dikatakan jauh dari Sunnah? Sedangkan Al Hafidz Ibnu Najjar sendiri menyebut beliau sebagai Imam fuqaha’ yang menjelaskan keburukan ahlul bid’ah dan bangkit membela Sunnah (lihat, Thabaqat As Syafi’iah Al Kubra, 6/216).Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.

Rujukan:

1. Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, Tajuddin As Subki. Hijr Gizah, cet. 2, th. 1413 (1992),

2. Ihya Ulumuddin dengan hamisy Takhrij Ahadits Ihya, Al Ghazali, Al Iraqi, cet. Dar Sya’b, Kairo,

3. Maraqi Al Ubudiyah, Al Allamah An Nawawi Al Bantani, cet. Al Haramain, Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jenazah Tidak Wajib dimandikan Jika Bisa Mandi Sendiri

Hukum Menggunakan Jalan Umum untuk Hajatan Pernikahan

Pelaku Bom Bunuh Diri Bukan Mati Syahid