Femahaman Bidah yang keliru sebagai Alat pembid'ahan Maulid




Setiap tahunnya sebagian umat islam di belahan dunia tidak pernah absen dari perayaan maulid Nabi Saw.. Bahkan perayaan ini seakan sudah menjadi sebuah adat tersendiri di beberapa daerah atau bahkan negara. Momen hari kelahiran Nabi Saw yang bertepatan dengan tanggal 12 Robiul Awal dipergunakan oleh umat islam untuk semakin meningkatkan kecintaan kepada Nabi Saw.. Hal yang sudah menjadi menu utama dalam acara perayaan maulid Nabi Saw adalah membaca sirah (sejarah) Beliau, dari kelahiran sampai kewafatannya dan ceramah agama. Biasanya sebelum pembacaan sirah, diadakan pembacaan ayat suci al Quran terlebih dahulu. Dan semuanya itu ditutup dengan makan-makan dan ramah-tamah.

Perayaan yang selalu diselenggarakan setiap tahunnya itu telah menjadi pembicaraan menarik sepanjang abad. Ada kelompok islam yang membolehkannya, dan ada juga yang melarangnya, bahkan mengharamkannya karena menganggapnya sebagai bid’ah. Dalam menghukumi permasalah agama tentunya harus jeli, apalagi sudah mengarah kepada masalah halal dan haram. Imam Malik –rahimahullah- pernah mengatakan: " Tidak ada permasalahan yang lebih berat bagiku kecuali ketika ditanya mengenai halal dan haram karena hal itu merupakan pemutusan terhadap hukum Allah Swt" (lihat: Muwafaqat Syatiby, 4/ 237).

Sebelum kita telalu jauh dalam menelusuri dan menganalisa hukum dirayakannya Maulid Nabi, kita harus terlebih dahulu mengetahui sejarah akan munculnya perayaan maulid Nabi.

Sejarah Awal Mula Perayaan Maulid Nabi

Maulid Nabi Saw pertama kali diadakan oleh penguasa Daerah Arbil Raja Mudhoffar Abu Said Kaukabry bin Zainuddin Ali bin Baktakin. Beliau adalah seorang raja yang sangat dermawan. Ibnu Katsir dalam tarikhnya mengatakan bahwa Raja Mudhoffar adalah seorang pahlawan pemberani serta pandai dan cerdik. Yusuf bin Qoz (cucu Abu Farj Ibnul Jauzi) dalam kitabnya "Mir’atuz Zaman" menceritakan bahwasannya dalam setiap perayaan maulid Nabi Sang Raja menyediakan hidangan 5000 potong kepala kambing bakar, 10.000 potong ayam, 100 kuda, 100.000 Zabady, dan 30.000 piring yang berisi manisan. Dan yang menghadiri perayaan maulid kala itu adalah para pembesar ulama dan tokoh sufi. Dalam perayaan maulid setiap tahunnya Sang Raja mengeluarkan biaya sekitar 300.000 Dinar. Sang Raja juga mempunyai tempat khusus untuk tinggalnya para tamu dari penjuru dunia, dan pembiayaan tempat tinggal tersebut menghabiskan biaya sekitar 100.000 dinar setiap tahunnya. Beliau juga menyalurkan sumbangan dana untuk perawatan dan kemakmuran Masjidil Haram Makkah dan Masjid Nabawi Madinah dan pengairan di Hijaz sekitar 30.000 dinar setiap tahunnya. Dan ini semua di luar sedekah-sedekah yang lainnya.

Istri Sang Raja yang bernama Rabi’ah Khotun binti Ayyub (saudari panglima besar islam shalahuddin al ayyuby) pernah menceritakan mengenai suaminya, bahwa dia (raja) hanya berpakaian yang terbuat dari kain katun yang harganya tidak sampai 5 Dirham. Istrinya pernah mencela hal itu, dan Sang Raja menjawab: "Aku berpakaian dengan pakaian seharga kurang dari 5 Dirham dan menyedekahkan sisa uangnya, lebih baik dari pada aku berpakaian yang mahal dengan menterlantarkan orang fakir dan miskin".

Ibnu Kholkan ketika menulis biografi Al Hafiz Abu Khottab Ibnu Dahiyyah, beliau berkata: Dia (ibnu Dahiyyah) adalah termasuk pembesar pada ulama yang melanglang buana, pergi ke Magrib (maroko), Syam (Syiria), Irak, dan kemudian menetap di Arbil tahun 604 H. di sana dia mendapati raja daerah itu (Raja Mudhoffar) sedang merayakan maulid Nabi, lantas dia (Ibnu Dahiyyah) menulis kitab "At Tanwir Fi Maulidil Basyirin Nadzir" dan membacanya di hadapan Sang raja, lantas Sang raja memberinya hadiah sebesar 1000 Dinar atas hal itu (lihat: Waffiyatul A’yân 2/ 420, 421).

Perayaan Maulid Nabi Bid’ah?

Dalam pandangan sebagian kelompok islam perayaan maulid Nabi yang sering diadakan pada bulan Rabi’ul Awal itu adalah bid’ah dan merupakan kemungkaran yang harus diperangi. Hal ini dikarenakan Nabi Saw melarang kita untuk membuat hal yang baru dalam agama ini. Nabi Saw bersabda yang diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah ra:

من أحدث في أمرنا ما ليس منه فهو رد. رواه البخارى ومسلم.

Artinya:

"Barang siapa yang membuat hal baru dalam perkara (agama) kami, yang bukan termasuk darinya, maka hal itu tertolak". (HR: Bukhori Muslim).

Dan juga mereka berargumen dari hadis Nabi:

وشر الأمور محدثاتها, وكل محدثة بدعة, وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار. رواه النسائى.

Artinya:

" Setiap bid’ah itu adalah kesesatan, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka". (HR: An Nasai).

Di samping dalil naqly di atas, mereka juga berargumen dengan dalil aqly. Secara logika juga, menurut mereka perayaan maulid Nabi Saw juga tidak sah alias tertolak, karena kalau memang hal itu baik, maka pasti para salaf sudah melakukannya. Karena tidak ada keterangan bahwa perayaan maulid Nabi itu dilakukan oleh para salaf, maka hal itu semakin menguatkan pendapat bahwa perayaan itu memang bid’ah dalam islam.

Jawaban dan Analisa Sederhana Mengenai Hukum Maulid

Sebelumnya kita sudah mengetahui dalil-dalil yang dikemukakan oleh sebagian kelompok dalam islam yang menolak dan membid’ahkan perayaan maulid Nabi. Lantas bagaimana sebenarnya hukumnya?. Sebelum kepada keputusan hukum, mari kita kenali dahulu pengertian bid’ah dalam islam.

Pengertian Bid’ah Dalam Islam

Permasalahan maulid Nabi ini tidak akan lepas dari perbincangan dan perdebatan panjang mengenai pengertian bid’ah dan penerapannya. Karena kata "bid’ah" adalah senjata paling ampuh sebagian kelompok islam untuk mematikan langkah lawan. Kata "bid’ah" memang bukan kata yang asing dalam agama islam, karena kata tersebut ada dalam Al Quran maupun Sunnah Nabi Saw. Akan tetapi permasalah timbul ketika terjadi multi penafsiran dalam rangka memahami sabda Nabi sebagaimana yang sudah dinukil sebelumnya. apakah sabda Nabi tersebut dipahami bahwa setiap hal yang baru dalam agama adalah terlarang, ataukah bid’ah yang dimaksud dalam hadis tersebut masih tergolong mujmal (umum) dan terdapat mukhossis (pengkhusus)nya, sehingga tidak semua hal yang baru dapat dikatakan bid’ah yang sesat?.

Untuk menjawab pertanyaan di atas tentunya kita harus merujuk kepada pemahaman para aimmah salaf yang lebih tahu detail tentang pemahaman wahyu.

Sebenarnya jauh hari Rasulullah Saw sudah melakukan pembagian, bahwa hal yang baru itu terbagi menjadi dua; baik dan jelek. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Saw:


من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شئ,ومن سنة سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شئ . (رواه مسلم و أحمد).

Artinya:
" Barang siapa memulai hal baru yang baik, maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang melaksanakan hal itu setelahnya, dengan tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa yang memulai hal baru yang jelek, maka dia menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang melaksanakannya setelahnya, dengan tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun". (HR: Muslim dan Ahmad).

Dalam hadis di atas kiranya sudah jelas bahwa Rasulullah sendirilah yang justru membagi hal yang baru itu menjadi dua; baik dan jelek. Karena kata "sunnah" dalam pengertian secara bahasa adalah sebuah sikap (jalan); baik ataupun jelek (lihat: Al Mu’jamul Wasith). Adapun secara syariat sunnah berarti setiap sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw, berupa perkataan, perbuatan dan keputusan. Dalam hadis tersebut tentunya yang dimaksud sunnah adalah secara bahasa. Karena kalau kita artikan sunnah dalam hadis itu adalah sunnah secara syariat, maka secara tidak langsung kita mengatakan bahwa terdapat sunnah yang jelek, dan itu mustahil. Karena Nabi Saw adalah utusan Allah yang ma’shum (terjaga) dari dosa kecil dan besar. Oleh sebab itu sangat tidak tepat pemahaman sebagian orang yang mengatakan bahwa hadis tersebut adalah untuk menyuruh kepada ihyaussunnah (menghidupkan sunnah) Nabi. Karena kalau kita mengatakan "sanna sunnatan hasanatan" dalam hadis itu berarti menghidupkan sunnah Nabi, mungkin kita dapat menerima sementara, sebab memang sunnah (dengan makna syariat) itu semua baik. Akan tetapi beranikah kita mengartikan "sanna sunnatan sayyiatan" dalam hadis itu berarti menghidupkan sunnah Nabi yang jelek?. -Ma’adallah-. Oleh sebab itu hadis inilah yang menjadi landasan kuat bahwa pembagian hal yang baru dalam agama itu digolongkan menjadi dua; baik dan jelek.

Sabda Nabi di atas ditangkap dengan baik oleh para sahabat sehingga tidak terjadi pembid’ahan antara mereka, sekalipun sebagian mereka melakukan hal yang baru. Sebagai salah satu contoh, ketika jaman khilafah Umar bin Khattab, beliau mengumpulkan shalat tarawih dengan diimami oleh satu orang Imam (berjamaah). Dan khusus mengenai hal ini, Umar berkata: "Nikmatil Bid’ah Hadzih" (sebaik-baik bid’ah adalah ini). Tentunya kalau memang semua bid’ah itu sesat, Umar akan memilih diksi kata yang lain untuk mengungkapkan tentang hal itu. Akan tetapi justru Umar menggunakan lafadz bid’ah untuk mengungkapkan hal itu. Dan dari perkataan Umar tersebut dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa bid’ah itu ada yang baik. Lebih dari itu, tidak kita temukan bahwa ada salah seorang sahabat yang mengingkari apa yang dikatakan dan dilakukan oleh Umar. Bahkan shalat tarawih berjamaah sudah menjadi ijma’ umat islam sampai detik ini, sekalipun hal itu tidak terjadi secara terus-menerus di jaman Rasul apalagi Abu Bakar.

(Mungkin ada orang yang bertanya dan menyangkal, bagaimana bisa anda berkesimpulan seperti itu? Padahal masalah tentang jama’ah shalat tarawih itu sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw, akan tetapi kemudian ditinggalkan karena takut hal itu akan diwajibkan oleh Allah kepada umatnya. Setelah sepeninggal Rasul, sunnah itu dihidupkan lagi oleh Umar. Dan yang dimaksud Umar dalam perkataannya itu adalah bid’ah secara bahasa bukan secara syariat).

Pertanyaan dan sangkalan semacam ini mudah dijawab dengan beberapa poin di bawah ini.

1. Pengertian bid’ah secara bahasa adalah setiap hal yang baru, yang dilakukan tanpa contoh sebelumnya.

2. Orang tersebut mengatakan bahwa pengertian perkataan Umar itu adalah pengertian secara bahasa bukan syariat. Jelas sekali terjadi kerancuan dalam pernyataannya itu. Karena di awal dia sudah mengatakan bahwa shalat tarawih berjamaah itu sudah pernah dilakukan Rasul, dan Umar hanya menghidupkan sunnah yang sudah ada. Sedangkan dipernyataan yang kedua dia mengatakan bahwa pengertian perkataan Umar adalah bid’ah secara bahasa. Bukankah pengertian bid’ah secara bahasa adalah mengerjakan sesuatu yang belum pernah ada contoh sebelumnya? kalau sudah ada contoh sebelumnya dari Rasul, maka hal itu tidak bisa dikatakan bid’ah secara bahasa karena tidak cocok dengan pengertian bid’ah secara bahasa itu sendiri.

Imam Baihaqi seorang Imam Hadis di jamannya dalam kitab "manaqibu Syafi’I", (biografi Imam Syafii) menjelaskan dan meriwayatkan perkataan Imam Syafii –rahimahullah- dengan sanad muttashil dalam menyikapi hal-hal yang baru dalam agama. Imam Syafii berkata:

المحدثات من الأمور ضربان: أحدهما ما أحدث مما يخالف كتابا, أو سنة, أو أثرا, أو إجماعا فهذهالبدعة الضلالة. والثاني: ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من المذكورات, فهذه محدثة غيرمذمومة.

Artinya:

" Hal-hal yang baru itu adalah dua macam: pertama; hal baru yang menyalahi kitab, sunnah, atsar dan ijma’, maka ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua; hal baru yang termasuk kebaikan dan tidak menyalahi satupun dari yang sudah disebutkan (kitab, sunnah, atsar, dan ijma’), maka ini termasuk hal baru yang tidak tercelah".

Riwayat ini juga dijelaskan oleh Al Hafidz Ibnu Asyakir dalam kitabnya "Tabyin Kadzbil Muftari" dengan sanad muttasil kepada Imam Syafii (hal: 97). Dan juga dinukil oleh Imam Suyuthi dalam kitabnya "Husnul Maqsid Fi Amalil Maulid" (hal: 52).

Mengenai hadis "kullu bid’atin dlolalah" Imam Nawawi –rahimahullah- berkomentar dalam syarah shohih muslim, bahwa hadis ini adalah umum yang sudah dikhususkan dengan pernyataan Umar yang sudah disinggung di atas (lihat: Syarah Shohih Muslim: bab Shalat Jumat, 6/ 470). Lebih terperincinya beliau jelaskan dalam kitab beliau yang berjudul "Tahdibul Asma’ Wal Lugho". Hal senada juga dikatakan oleh Sulthonul Ulama’ (pimpinan para ulama) ‘Izz bin Abdus Salam dalam kitabnya "Al Qowaid", Imam Al Khottoby dalam "Ma’alim Sunan", 4/ 301, Ibnu Abdil Barr dalam "Al Istidzkar Syarah Muwattho", 5/ 152-153), Ibnu Rajab Al Hambaly dalam "Jamiul Ulum wal Hikam", (2/ 128), Ibnu Hajar dalam "Fathul Bari", 4/ 318, Shon’any dalam "Subulus Salam", 2/ 48, Kanwy dalam "Tuhfatul Akhyar", 123, As Syaukany dalam "Nailul Author", 3/ 25, Ibnul Araby dalam "‘Aridhotul Ahwadzy Syarah Tirmizy", 10/ 147, Al Bajy dalam "Al Muntaqo Syarah Muwattho", 1/ 207-208, Al Zurqony dalam syarah Muwattho’nya, 1/ 340.


Maulid Tidak Pernah Dilakukan Oleh Rasul dan Salaf?

Mungkin sedikit banyak; puas tidak puas, dalil/ argumen naqly orang yang membid’ahkan maulid Nabi sudah terjawab. Sekarang kita mencoba untuk menganalisa dalil aqly (kedua) yang mengambil kesimpulan bahwa ketika Rasul dan para ulama salaf tidak pernah melakukannya, maka secara logika sederhana menunjukkan bahwa hal itu terlarang dan bid’ah.

Untuk membicarakan hal itu, tentunya kita akan berbicara mengenai masalah "At Tarku" (tidak melakukan/ meninggalkan sesuatu) dalam kaitannya dengan pengambilan hukum islam. Singkatnya, apakah ketika tidak ada contoh, perintah, dan anjuran sebelumnya, perbuatan itu secara otomatis tertolak dan sesat?. Orang yang menjawab iya, tentunya harus lebih menengok lagi sejarah islam secara cermat dan teliti. Karena dalam sejarah kita akan mendapati beberapa hal baru yang tidak ada contoh dari Nabi sebelumnya yang dilakukan oleh sahabat. Biasanya orang menolak perayaan maulid Nabi berkata bahwa agama ini sudah sempurna dan terlarang hukumnya menambah-nambah di dalamnya. Apakah pernyataan sederhana ini memang betul atau justru bathil?.

Kita dapat menjawabnya secara sederhana, bahwa kalau yang dimaksud itu adalah menambah seperti; mewajibkan shalat selain 5 waktu dalam tiap harinya, mewajibkan puasa ramadlan selama 40 hari, menganggap Quran belum lengkap dan semisalnya, maka kita sepakat untuk mengharamkannya. Akan tetapi ketika menambah agama yang dimaksud adalah perayaan maulid Nabi itu, maka kami tidak sepakat. Karena hukum merayakan itu sendiri menurut kelompok yang sering merayakannya adalah mathlub (diminta) bahkan menurut sebagian mereka adalah mubah, bukan sunnah, apalagi wajib. Dan perlu menjadi catatan, bahwa mereka tidak mengharuskan pada tanggal 12 Robiul Awal.

Kita kembali kepada permasalah "At Tarku". Perbuatan yang tidak dikerjakan oleh Rasul, atau pernah dikerjakan kemudian ditinggalkan, tidak dapat menjadi dalil kuat dalam masalah pengharaman sesuatu. Contoh sederhana, tentang kasus shalat tarawih berjamaah. Dalam hadis riwayat Bukhori dan Muslim disebutkan bahwa Rasul hanya shalat tarawih berjamaah sebanyak empat kali (malam), kemudian tidak melakukannya lagi, karena takut hal itu akan menjadi wajib (lihat: Shahih bukhori, 1/ 313-380, 2/ 708, shahih Muslim, 1/ 524). Dalam beberapa hal, sebagian sahabat berijtihad dan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasul itu sendiri. Hal ini sebagaimana kasus pengumpulan Al Quran yang diawali dengan dialog antara Umar dan Abu Bakar, penambahan adzan jum’at pada masa Utsman bin Affan dsb. Jika ada orang yang mengatakan bahwa para sahabat itu adalah khulafaur rasyidin yang harus kita ikuti. Dan hal baru pada masa mereka tidak apa-apa. Maka ini merupakan pembatasan yang tidak berdasarkan dalil. Apakah pernyataan ini berarti membolehkan para sahabat untuk menambah agama ini, padahal agama ini sudah sempurna? Atau apakah ketika Utsman menambah adzan pada shalat jumat, maka kita mengganggapnya telah melakukan bid’ah yang sesat?. Dari mana landasannya bahwa hanya sahabat yang boleh melakukan hal yang baru dan generasi setelahnya tidak boleh?. Kalau memang berlandaskan tidak boleh menambah agama, karena sudah sempurna, maka hal itu adalah umum bagi siapapun sepeninggal Rasul termasuk sahabat. Karena dengan wafatnya Rasul, secara otomatis wahyu tidak akan turun lagi dan agama sudah sempurna.

Sebenarnya yang harus kita ikuti itu adalah metode para sahabat dalam pengambilan sebuah hukum dari dalil syar’i. Bukan malah mengiyakan hal baru yang dilakukan sahabat, akan tetapi mengharamkan hal baru yang dilakukan generasi setelah mereka. Oleh sebab itu jauh hari Imam Syafi’I menggagas sebuah kaedah-kaedah dasar cara pengambilan hukum (istimbat ahkam) dari kitab dan sunnah, yang selanjutnya lebih dikenal dengan "usulul fiqh". Hal itu tidak lain bertujuan agar generasi selanjutnya tidak salah kaprah dalam memahami sebuah teks wahyu yang terkadang secara sepintas kelihatan berlawanan.


Adapun mengenai bahwa kalau memang maulid itu baik, pastilah para salaf sudah melakukannya, dan kenyataannya tidak ada riwayat tentang hal itu. mungkin beberapa pertanyaan singkat berikut ini dapat menjadi pertimbangan bagi orang yang mencoba berlogika semacam itu.

1. Kalau memang shalat jamaah tarawih itu baik, kenapa Abu Bakar tidak melakukannya?

2. Kalau memang penambahan adzan pada zaman Utsman itu baik, mengapa Abu Bakar dan Umar tidak melakukannya?

3. Kalau memang pemberian titik dan harakat dalam Al Quran itu baik, mengapa Abu Bakar dan Umar juga tidak melakukannya?, dll.

Islam adalah agama yang tidak terlalu jumud dan mengekang penganutnya. Tidak semua hal yang tidak ada perintah dan anjuran dari Quran dan Sunnah serta salaf dapat dikatakan haram dan bid’ah. Tidak adanya anjuran dan larangan dari Allah dan Rasul-Nya adalah merupakan bentuk dari kelonggaran yang diberikan Allah untuk meringankan hamba-Nya.


(Mungkin ada orang yang bertanya, bukankah bulan Robiul Awal itu merupakan hari kewafatan Rasul juga, maka seharusnya kita sedih dari pada gembira?)

Dapat kita jawab, bahwasannya islam tidak menyuruh kita larut dan meratapi kesedihan. Oleh sebab itu, seseorang yang ditinggal mati oleh keluarganya tidak boleh berniyahah (meratapi/ menyakiti diri sendiri karena kesedihan) dan larut dalam kepedihan sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Syi’ah setiap tahunnya, dalam meratapi kematian Sayyidina Husaen. Bahkan justru islam menyuruh untuk merayakan sebuah kegembiraan, seperti yang dianjurkan pada dua hari raya, pernikahan, aqiqah anak, dll. Oleh sebab itu, kalau memang benar lahir dan wafatnya Rasul itu terjadi dalam waktu yang sama, maka bergembira dengan kelahirannya lebih baik dari pada mengenang kewafatannya.

Kesimpulan Hukum

Dari pembahasan singkat di atas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa perayaan maulid Nabi Saw tidak dapat dikatakan bid’ah, atau kalau dikatakan bid’ah, maka itu adalah bid’ah hasanah (baik). Hal ini dengan beberapa alasan di sebagaimana berikut:

1. Tidak ada larangan secara jelas dari Al Quran dan Sunnah mengenai hal itu.

2. Al Tarku (tidak mengerjakan) dalam sebuah perbuatan tidak dapat dijadikan dalil. Karena tidak mengerjakan bukan berarti melarang sebagaimana dalam masalah makan dhobb (biawak).

3. Rasulullah juga merayakan kelahirannya sendiri setiap hari senin dengan cara berpuasa.

4. Tidak ada hal yang terlarang dalam agenda acara perayaan maulid Nabi. Karena justru isinya adalah hal-hal yang masyru’ seperti, baca al Quran, baca sirah Nabi, ceramah agama, Ith’amut Tho’am (memberi makan), dan saling ramah-tamah.

5. Maulid Nabi tetap bisa dikatakan mempunyai landasan syariat, paling tidak maslahah mursalah.

6. Rasul mempunyai tradisi untuk mengenang dan memperingati hari besar Nabi terdahulu, sebagaimana yang terjadi pada puasa ‘Asyura’.

7. Dalam perayaan maulid juga terdapat sebuah Syi’ar Islam.

Adapun perayaan maulid Nabi yang bercampur dengan hal-hal yang dilarang oleh agama semisal; mengadakan maulid Nabi dengan mengundang dangdut, orkestra, band, barongsay, doa bersama antar agama dan lainnya, maka hal ini tidak diperbolehkan, bahkan bisa kita katakan bid’ah yang sesat.

Penutup

Perayaan maulid Nabi adalah merupakan permasalahan "khilafiah" dalam agama dan harus diterima dengan lapang dada. Bagi para pelaku perayaan maulid Nabi, tidak dibenarkan untuk menuduh sembarangan bahwa orang yang tidak merayakannya adalah tidak cinta Nabi. Karena sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa tidak mengerjakan bukan berarti melarang (mengharamkan/ bid’ah), dan pengungkapan cinta Nabi tidak harus dengan maulid. Dan juga perlu diingat bahwa perayaan maulid baru diadakan sekitar akhir abad ke-6 dan awal abad ke-7. Jadi sebelum itu, tidak ada riwayat bahwa ada yang mengerjakannya.

Sebaliknya, bagi kelompok yang tidak sependapat dengan diadakannya perayaan maulid Nabi, hendaknya tidak serta-merta menolaknya dengan dibarengi pelemparan kata bid’ah yang sesat kepada pelakunya. Karena sebagaimana disinggung di atas juga, bahwa permasalah bid’ah ini sudah dibahas oleh para aimmah dengan sangat terperinci sebagaimana yang telah saya singgung di atas. Membid’ahkan dengan bid’ah sesat tentang permasalahan maulid Nabi berarti telah menganggap sesat sekian banyak ulama islam. Kalau memang tidak ingin melakukannya, maka kita mencoba untuk beradab (beretika) seperti etika para ulama terdahulu (salaf). Sebagaimana diterangkan Imam Syatiby dalam muwafaqotnya, bahwasannya tradisi ulama salaf, (sebagaimana dinukil dari Imam Malik), mereka lebih senang mengucapkan "Inny Akrohuh" (aku tidak menyukainya), bukan lantas tergesah-gesah menvonis sesat dan mengharamkannya.Wallahu a’lam Bis Showab. Semoga bermanfaat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jenazah Tidak Wajib dimandikan Jika Bisa Mandi Sendiri

Hukum Menggunakan Jalan Umum untuk Hajatan Pernikahan

Pelaku Bom Bunuh Diri Bukan Mati Syahid