Pembelaan Singkat atas Imam Al Ghazali dan Ihya' Ulumuddin



Hampir saja posisi Ihyâ’ menandingi al-Qur’an”. Sanjungan tersebut disampaikan oleh tokoh karismatik `Ulamâ’ul-islâm al-Imâm al-Faqîh al-Hâfizh Abû Zakariya Muhyiddîn an-Nawawi atau lebih dikenal dengan sebutan Imâm Nawawi Shâhibul-majmû`, yang hidup dua abad pasca Imâm Ghâzali.

Quthbil-’auliyâ’ as-Sayyid Abdullâh al-`Aydrus berpesan kepada segenap umat Islam untuk selalu berpegang teguh pada al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan penjelasan keduanya, menurut beliau, telah termuat dalam kitab Ihyâ’ Ulûmiddîn karya Imâm Ghâzali.

Dua komentar ulama tadi telah membuktikan keagungan kitab ini dan besarnya anugrah yang diraih oleh Imâm Ghâzali. Sampai-sampai kritikus dan peneliti Hadis Ihyâ’, al-Imâm al-Faqîh al-Hâfîzh Abûl Fadhl al-`Irâqi, turut memberikan apreseasi positif terhadap kitab yang ditakhrîjnya itu. Beliau menempatkan Ihyâ’ sebagai salah satu kitab teragung di tengah-tengah khazanah keilmuan Islam yang lain.

Begitu pula al-Faqîh al-`Allâmah Ismâ`il bin Muhammad al-Hadhrami al-Yamani ketika ditanya tentang karya-karya Imâm Ghâzali; beliau menjawab “Muhammad bin Abdillâh adalah sayyidul-’anbiyâ’, Muhammad bin Idris as-Syâfi’i sayyidul-a’immah, sedangkan Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghâzali adalah sayyidul-mushannifîn“.

Sungguh agung sanjungan ulama-ulama tersebut terhadap kitab Ihyâ’ dan al-Ghâzali. Karenanya, tidak berlebihan bila Syârih (komentator) kitab tersebut, Murtadhâ az-Zabîdi, memunculkan sebuah imege “andaikan masih ada nabi setelah Muhammad r niscaya al-Ghâzali orangnya”.



Mengenal Ihyâ’ Ulûmiddîn
Disamping karena cakupan materi yang tersaji di dalamnya, kitab ini juga ditopang oleh jurnalistik yang sistematis. Sistematika penulisan yang begitu rapi menjadikan Ihyâ’ lebih menarik dan mudah dibaca oleh berbagai kalangan; sederhana, berbobot, dan tidak terlalu meluas dalam penyajian. Lagi pula istilah-istilah rumit juga jarang ditemui dalam pembendaharaan kata yang terpakai.

Imâm Ghâzali telah mengkonsep materi yang ditulisnya dalam empat klasifikasi kajian pokok. Dari masing-masing klasifikasi tersebut terdapat sepuluh entri pembahasan utama (kitab). Secara global, isi keseluruhan kitabnya telah mencakup tiga sendi utama pengetahuan Islam, yakni Syarî`at, Tharîqat, dan Haqîqat. Imâm Ghâzali juga telah mengkoneksikan ketiganya dengan praktis dan mudah ditangkap oleh nalar pembaca. Sehingga, as-Sayyid Abdullâh al-`Aydrus memberikan sebuah kesimpulan bahwa dengan memahami kitab Ihyâ’ seseorang telah cukup untuk meraih tiga sendi agama Islam tersebut.

Inilah dibeberapa alasan kenapa kitab ini sangat digemari oleh banyak kalangan. Oleh fukaha, Ihyâ’ dijadikan sebagai rujukan standar dalam bidang fikih. Oleh para sufi, kitab ini menjadi materi pokok yang tidak boleh ditinggalkan. Kedua studi ilmu tersebut telah tercover dalam karya momumental Imâm Ghâzali ini. Karenanya al-Habîb Muhammad Luthfy bin Yahya, pimpinan Jam`iyah Tharîqah Mu`tabarah Nahdiyah yang sekaligus mursyid Tharîqah Naqsabandi, menyebut Ihyâ’ sebagai panduan utama tasawuf bagi pemula, atau dalam dunia tasawuf dikenal dengan istilah tasawwuful-fuqahâ’.

Sebenarnya, tidak hanya dua kelompok ini yang banyak mereferensi Ihyâ’, Para teolog Islam juga menganggap penting untuk menempatkan Ihyâ’ sebagai bahan dasar kajian. Paradigma bertauhid yang disajikan Imâm Ghâzali di awal pembahasan kitab Ihyâ’ sangat membantu pada pencerahan akal dalam proses penggesaan Allah I. Imâm Ghâzali mampu mengarahkan logika pembaca pada sebuah kesimpulan yang benar dalam bertauhid dengan nalar berfikir yang tepat dan berdiri kokoh di atas dalil-dalil naqli.


Koreksi Terhadap Ihyâ’
Meskipun posisi Ihyâ’ di tengah-tengah keilmuan Islam sangat tinggi, bukan berarti kitab ini terlepas sepenuhnya dari koreksi dan kritik. Banyak sekali komentar negatif dan bantahan yang ditujukan kepada Imâm Ghâzali atas karya momumentalnya ini, utamanya dalam studi Hadis yang beliau sajikan.

Hadis-hadis Ihyâ’ ditengarai banyak bermasalah oleh beberapa kritikus Hadis. Keberadaannya menjadi sorotan utama dan sebagai bahan pokok kritikan para rival al-Ghâzali, semisal al-Hâfizh Abûl Faraj Abdurrahmân Ibnu al-Jauzi. Ibnul Jauzi yang dikenal anti Ihyâ’ banyak memfonis palsu pada hadis-hadis yang ditulis Imâm Ghâzali dalam kitab tersebut.
Dinamika inilah yang selanjutnya diangkat kepermukaan oleh kelompok ekstrimis dan orentalis untuk menolak sepenuhnya isi kitab Ihyâ’ Ulûmiddîn. Lebih-lebih, kelompok ini tanpa malu-malu menyebut al-Ghâzali sebagai pemalsu hadis. Pemalsuan tersebut, dalam pandangan mereka, merupakan hal wajar karena Imâm Ghâzali tidak membidangi studi hadis dalam kajian keislamanya.

Membela Ihyâ’ Al-Ghâzali
Benarkah al-Ghâzali pemalsu hadis? Atau memang beliau tidak membidangi studi ini? Dan apakah kitab Ihyâ’ banyak memuat Hadis palsu sehingga tidak layak untuk dipelajari? Berikut sebagai bahan pertimbangan ilmiah sebelum pembaca ikut mengiyakan tuduhan tersebut.


Pertama, apabila dikatakan bahwa kitab Ihyâ’ banyak memuat Hadis-hadis palsu dan tidak terdapat landasan ilmiah dalam pembelaannya, maka tuduhan ini terlalu tergesa-gesa.
Terhitung, hanya tiga redaksi Hadis yang diklaim maudhû` oleh al-Hâfizh al-`Irâqi ketika mentakhrîj lebih dari empat ribu limaratus hadis yang ditampilkan Imâm Ghâzali dalam kitab Ihyâ’-nya. “Bilangan tersebut sangatlah kecil” tutur al-`Irâqi. Lebih-lebih, apabila kita memandang jumlah Hadis yang ditampilkan oleh Imâm Ghâzali secara keseluruhan. Setidaknya, kuantitas hadis Imam Ghazali dalam kitab Ihyâ’-nya telah setingkat dengan beberapa kitab sunan, semisal Sunan Abî Dâwud, Sunan Nasâ’i, dan bahkan dapat dikatakan melebihi bilangan hadis yang terdapat dalam Sunan Ibnu Mâjah.

Lebih lanjut, al-`Irâqi juga memberikan sebuah pembelaan bahwa sebagaian dari Hadis maudhû` tadi disampaikan tanpa memakai shîghat riwayat. Sehingga, dalam studi methodologi Hadis, Imâm Ghâzali tidak dapat diposisikan sebagai perawi yang mendapat ancaman dari baginda nabi Muhammad SAW.


Kedua, perlu dipahami bahwa ketiga Hadis tadi bukanlah refensi utama Imâm Ghâzali, malainkan sekedar tambahan dari dalîl shahîh yang mendasari ijtihadnya. Imâm Ghâzali selalu mendahulukan landasan ijtihadnya dengan dasar yang shahîh sebelum kemudian menampilkan dalil lain yang selevel atau di bawahnya.

Dan sekali lagi, bilangan tersebut sangatlah kecil. Tentu sangat na’if bila bagian kecil dari kekeliruan (untuk tidak mengatakan kesalahan karena keduanya memiliki perbedaan makna yang signifikan) tersebut dapat menghapus pada seluruh kebenaran yang terkandung dalam kitab Ihyâ’. Generalisasi seperti ini merupakan salah satu bentuk paralogis yang biasa dipakai oleh bandit intelektual ketika menghantam lawan pemikirannya. Atau dalam istilah kita disebut dengan gebyah uyah tanpa memandang esensi kebenaran lain yang lebih berharga.


Ketiga, apabila dikatakan bahwa Imâm Ghâzali tidak kapabel dalam studi Hadis maka sangat keliru sekali. Al-Mustashfâ karya al-Ghâzali di bidang Usul Fikih cukup kiranya untuk membuktikan kapabelitas beliau dalam bidang kajian Hadis. Dalam kitab tersebut, tepatnya pada entri pembahasan sunnah, Imâm Ghâzali telah panjang lebar menuturkan konsep dan perdebatan ulama mengenai dinamika kajian Hadis, utamanya yang berkenaan dalam proses istinbâtul-ahkâm. Bahkan, al-Ghâzali juga sempat memberikan tarjîh ketika terjadi perselisihan alot antara ulama, baik itu yang muncul dari kalangan ushûliyyin atau muhadditsîn.


Keempat, ancaman Rasulullah r kepada para pemalsu Hadis hanya tertuju kepada pemalsu yang sengaja berspekulatif. Hal tersebut terbukti dari tambahan redaksi `amdan atau muta`ammidan dalam beberapa riwâyat shahîh dari kutubis-sittah.

Husnuzh-zhan kita, kesengajaan dalam pemalsuan Hadis tidak akan terjadi pada ulama sekaliber al-Ghâzali. Terlalu rendah intelektualisme al-Ghâzali bila harus memalsukan Hadis untuk menopang pemikirannya. Imâm Ghâzali sendiri telah meletakkan sebuah prinsip bahwa pemalsuan Hadis dengan alasan apapun tidak diperkenankan. Pernyataan tersebut sebagai penangkis terhadap dugaan bolehnya memalsukan Hadis untuk fadhâ’ilul-a`mâl atau pencegah tindakan tercela. Menurut al-Ghâzali keberadaan ayat dan Hadis sahih telah cukup untuk memenuhi tujuan tersebut.

Dari sini, kita dapat menyimpulkan bahwa penulisan Hadis palsu dalam literatur Imâm Ghâzali muncul dari unsur ketidak sengajaan atau keliru. Dalam pembendaharaan kata arab istilah yang dipakai untuk menyatakan makna ini adalah kata khatha’ bukan ghalath. Abû Hilâl al-Hasan Abdullâh bin Sahal al-`Askari membedakan antara keduanya dengan menitiktekankan terhadap ada dan tidaknya unsur kesengajan. Jika memang sengaja maka disebut ghalath dan khata’ apabila sebaliknya.

Kemudian, kesimpulan ini dihadapkan pada sabda Nabi r “rufi`a `an ummati al-khata’“, yakni diantara perbuatan umat Islam yang dimaklumi (dimaafkan) adalah tindakan yang muncul tanpa adanya unsur kesengajaan (khatha’); bukan yang memang bertujuan salah (ghalath). Karenanya, tiada dosa bagi tindakan yang muncul tanpa disengaja. Al-Hâfizh Ibnu Hajar al-`Asqalâni telah mengutip adanya konsesus ulama akan hal ini, termasuk keliru dalam meriwayatkan Hadis. Lalu, akankah kita menghukumi al-Ghâzali sebagai pendosa dan pendusta?


Kelima, apabila kita bercermin pada takhrîj al-Hafizh al-Irâqi, maka tidak akan ditemukan lebih dari tiga Hadis yang disepakati kepalsuannya. Namun, berbeda apabila kita mengacu pada komentar al-Hâfizh Ibnu al-Jauzi. Terdapat sekitar dua puluh lima Hadis yang diklaim maudhû` olehnya. Ibnul Jauzi memang dikenal sebagai ulama yang sembrono dalam memfonis palsu sebuah Hadis. Sikap kontroversi Ibnul Jauzi ini banyak mendapat sorotan kritis dari para muhadditsîn. Sehingga, banyak klaim yang dilontarkan Ibnul Jauzi justru mendapat bantahan balik.

Al-Hâfizh al-`Irâqi dan al-Hâfizh Ibnu Hajar al-`Asqalâni memberikan sanggahan khusus terhadap tuduhan palsu Ibnul Jauzi akan kesahihan beberapa riwayat Imâm Ahmad. Sedangkan al-Hâfizh Jalâluddîn as-Suyûthi menulis Al-Qaul al-Hasan fîdz-Dzabbi `anis-Sunnan yang secara umum membantah segenap tuduhan palsu Ibnul Jauzi terhadap riwayat Imâm Bukhâri, Muslim, Ahmad, Dâwud, Turmuzi, Nasâ’i, Ibnu Mâjah, Mustadrak al-Hâkim, dan beberapa Hadis lagi di berbagai literatur yang lain.

Ringkasnya, sebagaimana yang telah disimpulakan oleh as-Syaikh Muhammad Mahfûzh bin Abdullâh at-Turmûsi, mayoritas Hadis yang diklaim palsu oleh Ibnul Jauzi dalam beberapa karya kritisnya, semisal Al-Maudhû`at dan Al-`Ilal al-Mutanâhiyah, adalah hadis shahîh, hasan atau juga dha`îf. Kesimpulan ini diperkuat dengan adanya pernyataan Ibnu Shalâh bahwa Ibnul Jauzi memang banyak memfonis palsu terhadap Hadis dha`îf tanpa ada dasar kepalsuan.

Fakta lain berbicara mengejutkan ketika kita menyimak berbagai karya Ibnul Jauzi; tidak hanya kedua kitab di atas, utamanya di bidang mawâ`izh dan tasawuf, semisal Bahrud-Dumû` dan Al-Wafâ fî Ahwâlil-Mushtafâ. Kedua kitab ini banyak memuat Hadis palsu lebih dari isi kitab yang ia kritisi. Sampai-sampai, Dr. Ibrâhîm Bâjis bin Abdul Majid dan Dr. Mushtafâ Abdul Qadîr `Athâ terkejut akan kenyataan ini. Sosok Ibnul Jauzi yang terbilang berlebihan dalam kritik Hadis dan keras menentang cerita-cerita aneh, justru karya-karyanya dipenuhi oleh kedua hal tersebut. Ibnul Atsir sejarawan abad VII juga menyatakan keterkejutan serupa dalam Al-Kâmil fî at-Târîkh-nya.

Untuk itu tidak salah apabila al-Imâm al-Hâfizh Ibnu Hajar al-`Asqalâni memberikan sebuah kritik pedas bahwa “mayoritas riwayat yang termuat dalam karya-karya Ibnul Jauzi (selain kitab kritik hadisnya) adalah maudhû’. Riwayat yang perlu dikritisi lebih banyak daripada yang tidak”. Bahkan Ibnul Jauzi tidak segan untuk mengutip sebuah riwayat dari karya yang pernah dikritisinya, atau sekedar menukil Hadis-hadis yang telah difonis palsu dalam kitab Al-Maudhû`ât-nya.

Namun, bukan berarti menyerang balik terhadap sebuah kenyataan yang sama pahitnya. Menyimak fakta ini, kita juga perlu bersikap bijak tanpa mengkesampingkan etika intelektualitas melalui sisi pandang kebenaran yang lain.


Keenam, mengenai perselisihan dalam status hukum maudhû` yang muncul dari penilaian Imam Hadis selain Ibnul Jauzi, cukup kiranya diketahui bahwa hal tersebut masih dalam ranah ijtihâdi yang tidak perlu dielukan. Penilaian muhaddits dalam studi kritiknya memang cenderung beragam, karena fonis palsu dalam kritik Hadis hanyalah aplikasi dari sebuah praduga yang tidak menutup adanya kemungkinan keliru. Lebih-lebih, apabila kritik diarahkan pada mata rantai periwayatan.

Dan lagi, jumlah yang diperselisihkan itu terbilang sangat sedikit; tidak lebih dari tiga redaksi Hadis. Diantaranya adalah Hadis yang menyebutkan keutamaan membaca Fâtihatul-Kitâb dan dua ayat dari surat Ali `Imrân yang diklaim palsu oleh Imâm Ibnu Hibbân. Di dalam rangkaian sanad Hadis tersebut terdapat Al-Haris bin `Amîr yang menurut Ibnu Hibbân sebagai sosok periwayat Hadis palsu. Namun, tuduhan ini dibantah oleh al-Hâfizh al-`Irâqi. Al-Hâfizh melandasi bantahannya pada label tsiqqah yang telah diberikan oleh Hammâd bin Zaid, Ibnu Mu`in, Abû Zar`ah, Abû Hâtim, dan Imam Nasâ’i kepada Al-Haris bin `Amîr.


Penutup
Wal hasil, sebesar apapun kritikan terhadap Ihyâ’ Ulûmiddîn secara khusus dan literatur-literatur salaf yang lain secara umum tidak akan mengurangi nilai kebesaran yang telah diraihnya. Pembuktian secara ilmiyah dan obyektif telah memberikan bantahan nyata terhadap kritik dan tuduhan yang tidak berdasar itu. Sejarah juga turut menjadi bukti akan kebesaran mereka. Wallâhu a`lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jenazah Tidak Wajib dimandikan Jika Bisa Mandi Sendiri

Hukum Menggunakan Jalan Umum untuk Hajatan Pernikahan

Pelaku Bom Bunuh Diri Bukan Mati Syahid