Harmoni Toleransi di Kota Solo

Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningratan
Dua bangunan ini berbeda fungsinya. Di sebelah kiri adalah bangunan gereja dan di kanannya merupakan masjid. Secara kasat mata sudah terlihat dari bentuk bangunannya yang satu memiliki kubah dan satunya lagi memiliki ornamen salib.

Namun di antaranya tak ada pagar yang memisahkan. Lahan kosong selebar empat meter di antara ke dua bangunan itu bahkan seperti menjadi penyatu. Kedua bangunan itu bahkan menggunakan nomor rumah yang sama sebagai alamatnya. Jalan Gatot Subroto 222, Solo.

Pembangunan dua tempat ibadah itu juga tak dilakukan berbarengan. Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningratan lebih dahulu. Pengurus gereja setempat menyebut tahun 1929 merupakan tahun berdirinya. Sedangkan Masjid Al-Hikmah Joyodiningratan didirikan delapan tahun kemudian di atas tanah milik Haji Ahmad Zaini.  

“Tidak pernah ada konflik. Kami saling menghormati dan selalu berkomunikasi,” kata Widi Atmo Herdjanto, salah satu Pendeta GKJ Joyodiningratan.

Saling menghormati dan berkomunikasi menjadi kata kunci kerukunan dua keyakinan berbeda ini. Tak hanya tempat ibadah yang berdiri berdampingan, tetapi juga dalam keseharian pada saat jamaah masjid dan jemaat gereja beribadah pun kerukunan terjaga. Sudah hal yang biasa bagi pengikut dua keyakinan berbeda itu saling bekerja sama.
Masjid Al-Hikmah Joyodiningratan
“Hampir setiap hari raya, halaman depan gereja digunakan sebagai tempat sholat Ied. Juga di halaman depan masjid, setiap ada kebaktian juga dipakai untuk keperluan gereja,” kata Widi.

Takmir Masjid Al Hikmah, Natsir Abu Bakar mengiyakan. Menurutnya, yang terpenting adalah saling berkomunikasi. Jika pihak masjid akan menyelenggarakan kegiatan, pihak pertama yang diberitahu adalah pihak gereja. Demikian pula sebaliknya. Tidak jarang kedua pihak ini bekerja sama mempersiapkan kegiatan salah satu pihak.
“Kalau ada kebaktian, remaja masjid yang bantu pengamanannya hingga mengatur kendaraan,” kata dia.

Kebiasaan melantunkan ayat-ayat suci menjelang adzan pun tak akan menggunakan pengeras suara ketika di gereja berlangsung kebaktian. Demikian juga gereja juga akan meniadakan kebaktian di jam-jam tertentu ketika pada saat bersamaan di masjid berlangsung kegiatan ibadah.

“Sejak dari dulu komunikasi itu dilakukan. Kami saling menghormati perbedaan dengan menjaga persatuan. Soal agama itu tidak bisa dicampur-campur. Lakum dinukum waliyadin,” kata Natsir mengutip ayat Al Qur’an.
Sikap toleransi yang telah berlangsung lama ini mengundang banyak kekaguman. Tak jarang tokoh-tokoh agama dari berbagai negara mendatangi dua tempat ibadah yang berada di satu lokasi ini. Mereka ingin belajar untuk mengetahui kuncinya kerukunan antar umat beragama tersebut.
“Sejak awal berdirinya masjid di samping gereja telah ada kesepakatan yang dibuat pendahulu kita, sampai dibangun tugu yang ada di antara masjid dan gereja sebagai simbolnya,” katanya lagi,
Tugu berbentuk lilin didirikan persis di antara tembok gereja dan masjid. Tugu setinggi satu meter itu pun menjadi penanda bahwa pihak masjid dan gereja akan terus berusaha menjaga hubungan baik. Tugu yang dicat putih bersih itu “sumpah janji” hidup rukun dalam kedamaian terpatri.
Oleh Imron Rosyid Taufikur

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jenazah Tidak Wajib dimandikan Jika Bisa Mandi Sendiri

Hukum Menggunakan Jalan Umum untuk Hajatan Pernikahan

Pelaku Bom Bunuh Diri Bukan Mati Syahid