Ki Hajar Dewantara, Santri Nusantara Pendobrak Pendidikan
Tanggal 2 Mei bagi bangsa Indonesia sangat mempunyai arti. Sebab di hari itu selalu diperingati hari pendidikan nasional (Hardiknas). Yang sangat spesial adalah penentuan 2 Mei sebagai Hardiknas diambilkan dari hari lahir seorang tokoh bangsa bernama Raden Mas Suwardi Suryaningrat yang berganti nama pada 1922 menjadi Ki Hajar Dewantara (KHD) yang lahir di Pakualaman 2 Mei 1888.
Kenapa KHD diabadikan sebagai tokoh pendidikan? Ialah yang berani mendobrak sistem pendidikan pribumi. KHD memperjuangkan hak pendidikan para warga pribumi dengan perjuangan yang luar biasa.
Jiwa kritisnya terhadap kolonial Belanda menjadikannya diusir dari Jawa dan diasingkan ke Bangka hingga ke Belanda (1913). Bersama tiga serangkai KHD, Ernest Doewes dan Cipto Mangunkusumo ini ide-ide pendidikan untuk kamu pribumi itu muncul.
Sepulang dari Belanda pada bulan September 1919, KHD mulai konsentrasi di bidang pendidikan. KHD kemudian bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa pada 3 Juli 1922.
Karena sukses dalam membina dunia pendidikan, KHD pernah menjabat sebagai Menteri Pengadjaran jaman Soekarno pada 2 September 1945 -14 November 19458. Itulah yang menjadikan ia mendapatkan gelar sebagai Pahlawan Nasional kedua.
Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Semboyan berbahasa Jawa itu berbunyi ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani (di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan).
Prinsip-prinsip dalam semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia hingga sekarang. Dimana dengan pola itu, kita semua akan mendapatkan hikmah dari pola pendidikan yang berbasis pada akhlaqul karimah.
Siapa semestinya KHD itu? KHD adalah seorang santri Nusantara yang sangat kukuh memperjuangkan pendidikan Indonesia. Zainul Milal Bizawie dalam "Masterpiece Islam Nusantara: Sanad dan Jejaring Ulama-Santri 1830-1945)" menegaskan bahwa KHD adalah santri.
Bahkan ketika ditanya oleh penulis via WA, Milal menjawab dengan penjelasan seperti ini: "Salah satu gurunya adalah seorang Kyai namanya Kyai Sulaiman Zainuddin, berada di Kawasan Prambanan. Santrinya banyak, salah satunya beliau mempunyai santri namanya Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). KHD itu dulu belajar Al-Qur’an, dia seorang santri. Tapi sayang sejarahnya Ki Hajar Dewantara dulu belajar Al-Qur’an tidak pernah diterangkan oleh guru-guru di sekolah".
Dalam konteks inilah perlu sekali kita mengungkap lebih mendalam kesantrian KHD. Milal menegaskan juga bahwa yang mengatakan Kyai Sulaiman Zainuddin mempunyai murid Suwardi Suryaningrat mengaji di sana itu, ada di Sejarah Taman Siswa. Selain itu, Ki Hajar juga keturunan Ki Ageng Giring.
Jadi, sebagai refleksi Hardiknas 2016 ini patut kiranya bangsa Indonesia meneladani kesantrian KHD dan menjadikan pendidikan sebagai basis akhlak mulia dan pembangunan visi agama.
Tidak benar jika Hardiknas hanya berisi pawai, upacara dan lomba-lomba yang isinya tidak edukatif. Bangkitkan pendidikan Indonesia dengan visi kemajuan dan perdamaian.*)
Kenapa KHD diabadikan sebagai tokoh pendidikan? Ialah yang berani mendobrak sistem pendidikan pribumi. KHD memperjuangkan hak pendidikan para warga pribumi dengan perjuangan yang luar biasa.
Jiwa kritisnya terhadap kolonial Belanda menjadikannya diusir dari Jawa dan diasingkan ke Bangka hingga ke Belanda (1913). Bersama tiga serangkai KHD, Ernest Doewes dan Cipto Mangunkusumo ini ide-ide pendidikan untuk kamu pribumi itu muncul.
Sepulang dari Belanda pada bulan September 1919, KHD mulai konsentrasi di bidang pendidikan. KHD kemudian bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa pada 3 Juli 1922.
Karena sukses dalam membina dunia pendidikan, KHD pernah menjabat sebagai Menteri Pengadjaran jaman Soekarno pada 2 September 1945 -14 November 19458. Itulah yang menjadikan ia mendapatkan gelar sebagai Pahlawan Nasional kedua.
Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Semboyan berbahasa Jawa itu berbunyi ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani (di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan).
Prinsip-prinsip dalam semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia hingga sekarang. Dimana dengan pola itu, kita semua akan mendapatkan hikmah dari pola pendidikan yang berbasis pada akhlaqul karimah.
Siapa semestinya KHD itu? KHD adalah seorang santri Nusantara yang sangat kukuh memperjuangkan pendidikan Indonesia. Zainul Milal Bizawie dalam "Masterpiece Islam Nusantara: Sanad dan Jejaring Ulama-Santri 1830-1945)" menegaskan bahwa KHD adalah santri.
Bahkan ketika ditanya oleh penulis via WA, Milal menjawab dengan penjelasan seperti ini: "Salah satu gurunya adalah seorang Kyai namanya Kyai Sulaiman Zainuddin, berada di Kawasan Prambanan. Santrinya banyak, salah satunya beliau mempunyai santri namanya Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). KHD itu dulu belajar Al-Qur’an, dia seorang santri. Tapi sayang sejarahnya Ki Hajar Dewantara dulu belajar Al-Qur’an tidak pernah diterangkan oleh guru-guru di sekolah".
Dalam konteks inilah perlu sekali kita mengungkap lebih mendalam kesantrian KHD. Milal menegaskan juga bahwa yang mengatakan Kyai Sulaiman Zainuddin mempunyai murid Suwardi Suryaningrat mengaji di sana itu, ada di Sejarah Taman Siswa. Selain itu, Ki Hajar juga keturunan Ki Ageng Giring.
Jadi, sebagai refleksi Hardiknas 2016 ini patut kiranya bangsa Indonesia meneladani kesantrian KHD dan menjadikan pendidikan sebagai basis akhlak mulia dan pembangunan visi agama.
Tidak benar jika Hardiknas hanya berisi pawai, upacara dan lomba-lomba yang isinya tidak edukatif. Bangkitkan pendidikan Indonesia dengan visi kemajuan dan perdamaian.*)
Oleh M Rikza Chamami
Komentar
Posting Komentar