Ibn Taimiyah dan Qiyas Shalat
Salah satu tanda akhir zaman adalah kita akan menemukan keanehan-keanehan dalam gejala Alam yang kita tempati ini. Di sebagian negeri ada yang tiba-tiba saja mengalami panas yang melebihi suhu normal negeri tersebut. Di Amerika, tahun 2012 kemaren, sebagian daerahnya di hantam oleh badai Sandy. Di Rusia kita sempat mendengar hujan meteor. Semua hal ini tentu mempunyai jawaban atau setidaknya tesis Ilmiah oleh para pakar. Namun, saya sebagai umat muslim tentu saja meyakini dengan mutlak bahwa semua itu adalah tanda-tanda kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala.
Seluruh gerak dan fenomena alam adalah misteri yang menarik untuk di pecahkan. Dalam Al-qur’an sendiri, kita disuruh untuk mengambil i’tibar dan pelajaran dari setiap fenomena tersebut. Betapa banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang fenomena alam dan kehidupan yang di penghujung ayatnya kita disuruh untuk mengambil i’tibar, tentu saja hanya orang-orang yang berakal dan memfungsikan alat indranya dengan sunguh-sungguh.
Dalam Islam sendiri, selain disuruh untuk mengambil pelajaran atas setiap fenomena (terutama fenomena yang luar biasa dimana manusia tidak akan sanggup menandinginya) kita disuruh untuk memperbanyak ibadah. Ibadah tersebut sebagai bukti bahwa kita ini adalah makhluk yang lemah. Dalam hal ini, kita mengenal apa yang namanya Shalat Gerhana, baik gerhana matahari ataupun bulan dimana tuntunannya telah dijelaskan oleh Rasulullah.
***
Ada hal yang menarik dalam masalah ini. Namun sebelum itu kita harus ketahui bahwa dalam Islam, Ibadah yang sudah ada tuntunannya dalam Syari’at, maka ia tidak boleh ditambah atau dikurangi. Pendeknya, ibadah yang sudah ada tuntunannya maka ia harus diikuti sebagaimana Rasulullah mengajarkan. Termasuk dalam kategori ibadah ini adalah Shalat. Shalat adalah ibadah mahdhah, ia sudah ada tuntunannya dalam Syari’at, tidak boleh ditambah dan dikurangi. Bahkan ia tidak boleh dianalogikan.
Menarik saat saya membaca kitab Minhajus Sunnah karangan salah satu referensi saudara-saudara saya yang mengaku bermanhaj salafi, Syekh Ibn Taimiyyah. Di dalam kitab tersebut, beliau menganalogikan konsepsi Shalat Gerhana kepada Shalat-shalat yang dilaksanakan ketika melihat tanda-tanda Kekuasaan dan Kebesaran Allah.
Dibawah ini saya tampilkan Scan kitab Minhajus Sunnah beliau Juz 5 Halaman 444-445
Disini sangat jelas dan gamblang sekali bagaimana beliau (Syekh Ibn Taimiyah) melakukan analogi/Qiyas Shalat Gerhana kepada Apapun jenis Shalat yang dilaksanakan ketika ada tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah secara umum seperti hujan meteor, gempa bumi dan lain-lain. Rasa takut dijadikan illat dari Qiyas tersebut.
Pendapat beliau tersebut beliau kuatkan di Fatawa Kubro beliau :
وتصلى صلاة الكسوف لكل آية كالزلزلة وغيرها ، وهو قول أبي حنيفة ورواية عن أحمد ، وقول محققي أصحابنا وغيرهم
Nah disini letak masalahnya. Pertama, sebagai sebuah Ibadah mahdhah, Shalat adalah jenis ibadah yang paling tidak bisa diqiyaskan. Mengqiyaskannya sama saja seperti membuat ibadah baru yang tidak ada tuntunannya dari Rasulullah. Ini adalah bid’ah dalam ibadah, karena Rasulullah tidak pernah melaksanakannya.
Kedua, kalaupun kita terima hukum beliau, maka kita akan galau dalam masalah standarisasi takut seperti apa yang membuat kita dianjurkan melaksanakan shalat ? Kalau kita lihat dari standar yang ditetapkan oleh Syekh Ibn Taimiyah, beliau memberikan standar “Takut benar-benar disebabkan oleh kerusakan yang ditimbulkan oleh fenomena Alam tersebut seperti gempa dan angin kencang. Adapun selain itu, sesuatu yang adanya seperti kondisi dia tidak ada maka itu bukanlah dianggap sebagai sesuatu yang menghasilkan rasa takut”. Disinilah letak relatif standar yang ditentukan oleh Syekh Ibn Taimiyah. Di Daerah arab yang jarang gempa ataupun hujan deras, hal ini bisa dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan. Namun di daerah lain seperti Jepang yang saban saat menikmati gempa, gempa tidak dianggap lagi sesuatu yang menakutkan walau kadang tetap menyebabkan kerusakan.
Ketiga, Jika kita terima hukum beliau, lalu bagaimana tata cara pelaksanaannya ? apakah sama seperti shalat gerhana ? ataukah seperti Shalat ‘Ayat’ yang pernah dicontohkan oleh Ibn Abbas dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam Sunan Kubra beliau :
عن ابن عباس « أنه صلى في زلزلةٍ ست ركعات، وأربع سجدات، وقال: هكذا صلاة الآيات »
Diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa beliau shalat ketika gempa sebanyak 6 kali ruku’ dan 4 kali sujud. Lalu beliau berkata “seperti inilah shalat ayat”
Sekedar tambahan, dalam masalah ini (shalat ayat/melihat tanda-tanda kebesaran Allah) ada beberapa pendapat ulama mazhab :
1. Mazhab Hanbali hanya membolehkan shalat dalam kondisi gempa saja, dengan dalil perbuatan Sahabat Ibn Abbas diatas
2. Mazhab Hanafi membolehkan shalat atas segala bentuk tanda-tanda kekuasaan Allah yang menimbulkan rasa takut
3. Mazhab Syafi’i membolehkan shalat atas segala bentuk tanda-tanda kekuasaan Allah yang menimbulkan rasa takut, namun dilaksanakan sendiri-sendiri, tidak berjama’ah
4. Pendapat yang mengatakan tidak boleh melakukan shalat selain yang tuntunannya jelas dilakukan oleh Rasulullah, maka tidak boleh shalat ketika ada gempa dan lain-lain. Ini pendapat Syekh Abdul Muhsin bin Zamil
***
Hal yang saya kritik diatas sebenarnya bukan konten dari pendapat Syekh Ibn Taimiyah. Yang ingin saya katakan adalah semestinya saudara-saudara salafi mengambil i’tibar dari metode ijtihad Syekh Ibn Taimiyah - yang seringkali dijadikan rujukan kubra mereka - yang dalam kondisi ini malah terkesan melampau konsep yang ia bikin sendiri terutama tentang bid’ah. Kalau Salafi memakai konsep yang sama dan tidak taklid buta pada konsep mereka, mereka mestinya melihat bahwa Syekh Ibn Taimiyah saja dalam hal ini telah melampaui batas konsep ijtihad yang biasanya beliau pakai. Jelas menganalogikan Ibadah mahdhah (dalam hal ini shalat gerhana) kepada Shalat secara umum adalah Bid’ah, tapi kemana mereka dalam masalah ini ? masih suka berapologi kah ?.
Kalau mereka mengambil i’tibar atas masalah ini, maka mereka akan melihat bahwa hal-hal yang ada di tengah masyarakat sekarang seperti shalawat-shalawatan, zikir-zikiran, selama kontentnya tidak melampaui batas syar’i, maka itu wajar-wajar saja.
oleh Ust Zamzami Saleh Al Azhari
oleh Ust Zamzami Saleh Al Azhari
Komentar
Posting Komentar