PENTINGnya SANAD SILSILAH DALAM ILMU-ILMU AGAMA





Allah s.w.t. memuliakan umat Islam dengan beberapa keistimewaan yang besar yang tidak diberi kepada umat manusia selain mereka. di Antara keistimewaan umat Islam akhir zaman ini adalah, Allah s.w.t. memberi jaminan untuk menjaga mereka (umat Islam) daripada “berkumpul” dalam kesesatan.

Namun, Allah s.w.t. memelihara umat Islam daripada kesesatan dengan memelihara institusi ulama’ mereka yang terlibat dalam menjaga sumber ajaran Islam dan femahaman-femahamannya yang sahih. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa, Allah s.w.t. menjaga ajaran Islam dari sudut sumbernya, cara memahami sumber secara sahih dan femahaman sahih terhadap sumber-sumber tersebut melalui para ulama’ yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai Ahl Az-Zikr yang perlu dirujuk oleh orang-orang awam.

Keistimewaan ini bertolak daripada suatu keistimewaan asas lain yaitu konsep “Isnad” atau sandaran dalam bidang ilmu-ilmu agama. Sesuai dengan maksud hadith Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- yang menyebutkan bahwa: “Para ulama’ adalah pewaris para Nabi…”, maka sudah tentulah ilmu Nabawi itu diterima oleh para ulama’ secara “pewarisan”. Dalam konsep “pewarisan” dalam tradisi pembelajaran ilmu agama inilah adanya konsep atau tradisi “sanad” atau sandaran. 

Kita dapat simpulkan bahwa konsep Sanad dalam sistem pengajian ilmu agama amalan para ulama’ sejak zaman salaf sehingga hari ini mempunyai femahaman yang lebih luas daripada penggunaan istilah tersebut dalam ilmu hadith semata, walaupun penggunaannya dalam ilmu hadith adalah salah satu cabang yang terpenting.

Manhaj Islami dalam Ilmu-ilmu Agama

Dr. Yusuf Abdul Rahman berkata dalam muqoddimah tahqiq kitab Al-Majma’ Al-Mua’assis karangan Imam Ibn Hajar:

“Adapun di antara sudut terpenting dalam kitab ini adalah berkenaan dengan Manhaj Islami dalam ilmu-ilmu yang mengikut manhaj As-Salaf As-Sholeh, yang tampak dalam bentuk talaqqi ilmu-ilmu dari para ulama’, membaca kitab-kitab di hadapan mereka, mendapatkan ilmu daripada mereka dan mengembara kepada mereka untuk tujuan tersebut, untuk mendapatkan ketinggian sanad, kejernihan minuman (ilmu), kesejahteraan daripada salah, kesesatan dan hawa.”

“Hendaklah bagi penuntut ilmu memilih seorang guru yang bisa  membacakan kitab kepadanya, yang mana guru tersebut dinilai berdasarkan dia pernah membaca ilmu tersebut daripada guru-gurunya dengan syarat yang muktabar di sisi para ulama’. Begitu juga, para gurunya membaca ilmu tersebut daripada guru-guru mereka. Begitulah seterusnya, bersambung sanad tersebut sampai kepada sumber cahaya dan ilmu dan petunjuk kemanusiaan iaitu Rasulullah s.a.w..”
“Inilah cara sebenarnya dalam menuntut ilmu. karena, ilmu itu dengan belajar dan tidak diambil itu melainkan dengan bertalaqqi daripada mulut para ulama’ dengan menghadiri majlis-majlis ilmu, bersahabat dengan para ulama’ dan sebagainya”. [Muqoddimah Tahqiq bagi Al-Majma’ Al-Mu’assis 10]

Beda Antara Para Ulama’ dengan Ahli Akedemik

Tradisi “Sanad” ini adalah suatu intipati utama dalam sistem pembelajaran ilmu agama sejak generasi awal Islam. yaitu, setiap guru yang mengajar ilmu agama kepada murid-muridnya mempunyai latar belakang keilmuan yang jelas terutamanya silsilah guru-gurunya yang mengajarnya ilmu agama tersebut. Begitu juga, guru-gurunya (kepada guru tersebut) juga mempunyai latar belakang keilmuan yang jelas yaitu mempunyai guru-guru yang mengajar mereka ilmu agama kepada mereka. Para guru kepada guru-guru tersebut juga begitu. Begitulah bersambung silsilah “berguru” itu sampai kepada para sahabat r.a., yang mana para sahabat r.a. mengambil ilmu agama daripada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-.

Inilah gambaran umum konsep “Sanad” dalam tradisi pembelajaran ilmu agama. Mereka yang mempelajari ilmu-ilmu agama melalui sistem dan tradisi yang asal ini tidak terpisah daripada konsp “Sanad” ini. dan tidak terpisah daripada tradisi pembelajaran ilmu agama secara asal yang diambil daripada generasi salaf.

Cuma, setelah muncul sistem pembelajaran dengan metode Barat, ilmu-ilmu agama diajar kan dalam bentuk dan acuan Barat di institusi-intitusi pengajian yang tidak mempunyai sanad keilmuan dalam bidang agama secara jelas. Maksudnya, para guru (atau pensyarah) yang mengajar ilmu-ilmu agama dalam institusi-institusi tersebut tidak mempunyai latar belakang keilmuan yang jelas daripada para ulama’ dan tidak mempunyai sanad keilmuan. Maka, mereka yang mengajar ilmu-ilmu agama dalam institusi-institusi tersebut tidak mempunyai sanad keilmuan akhirnya menyebabkan murid-murid yang belajar ilmu-ilmu agama di institusi tersebut juga tidak mempunyai sanad keilmuan.

Bahkan, lebih malang lagi jika seseorang itu mengambil ilmu-ilmu agama, femahaman tentang Islam dan pengakuan keahlian dalam bidang ilmu agama daripada orang-orang kafir (Orientalis) yang mengajar ilmu-ilmu agama di institusi-institusi tersebut. Dalam ukuran tradisi Islam sebenarnya,mereka tidak sah dan tidak diakui kelayakannya dalam bidang ilmu keagamaan.

Inilah yang membedakan seorang ulama’ (alim) yang lahir dari tradisi pengajian Islam asal (bersanad) dengan seorang ahli akedemik yang lahir dari tradisi pengajian Islam versi baru (terutama pembelajaran sistem  Barat). Dari sudut penguasaan juga, seorang alim yang lahir dari tradisi pengajian Islam asal menguasai ilmu-ilmu agama secara menyeluruh sedangkan seorang ahli akedemik yang lahir dari tradisi pengajian Islam tanpa bersanad menguasai ilmu-ilmu agama secara terpisah-pisah atau jurusan semata.

Mungkin seorang ahli akedemik itu bisa membicarakan bab Takhrij Hadith sebab mendalami bidang tersebut di institusi pengajian modern, namun tidak bisa menjawab persoalan-persoalan asas dalam ilmu bahasa Arab, atau dalam bidang Ulum Al-Qur’an dan sebagainya. Inilah yang dimaksudkan oleh Sheikhna (guru kami) Al-Mufti Dr. Ali Jum’ah dalam kitab Al-Madkhal yaitu apabila ilmu agama dikuasai secara terpisah-pisah menyebabkan ia menjadi sekadar maklumat, bukan ilmu menurut ukuran sebenarnya.

Dr. Yusuf bin Abdul Rahman berkata dalam Muqoddimah Tahqiq bagi Al-Mu’jam Al-Mu’assis:

“Tatkala ilmu diambil daripada pemegang buku buku (syahadah) bukan daripada pemegang ijazah-ijazah (sanad keilmuan dan Ijazah Tadris;mengaji ), maka rendahlah darjatnya, terpelesetlah penuntutnya daripada kualitas sebenarnya dan terpeleset daripada jalan (tradisi) sebenarnya. Maka kembalilah kepada halaqah ilmu dan para ulama’ yang memiliki ijazah (sanad) sebelum kita mencari mereka lalu sudah tidak menemui mereka lagi (para ulama’ yang memegang sanad ilmu dan ijazah tadris). Kembalilah kepada membaca kitab-kitab di hadapan para ulama’ yang mempunyai sanad yang bersambung agar kita menjadi pemikul ilmu yang berkualiti, lalu menyampaikannya kepada generasi setelah kita. Kalau tidak, maka terputuslah sanad-sanad, sedangkan kita sudah mensia-siakan ilmu-ilmu kita, dan dengan demikian (terputusnya sanad ilmu) kita (para penuntut ilmu yang menjadi ulama’) bertanggung jawab di hadapan Allah s.w.t.”. [: 9-10]

Konsep Sanad Tidak Terbatas kepada Ilmu Mustolah Hadith Semata-mata

Memang benar, istilah Sanad digunakan secara meluas dalam bidang Mustolah Hadith terutama yg melibatkan Jarh wa Ta’dil atau Takhrij Hadith. Namun, tidak semestinya konsep Sanad tidak bisa di pakai dalam bidang-bidang ilmu agama yang lain tanpa penggunaan istilah yang meluas dalam ilmu-ilmu tersebut.

Oleh sebab itu, hanya orang-orang yang jahil ( sadar atau tidak) saja yang tidak melihat kepentingan Sanad setelah terbukunya hadith-hadith sahih oleh para ulama’ hadith kurun kedua hingga kurun keempat hijrah. Mereka menganggap Sanad sudah tidak releven atau sudah tidak lagi diperlukan secara jelas setelah hadith-hadith dibukukan oleh para ulama’ hadith karena membatasi konsep Sanad hanya pada ilmu hadith dari sudut Riwayah semata. Hatta dalam ilmu hadith pun, ada sudut Dirayah yang masih memerlukan Sanad atau sandaran keilmuan khususnya cara dalam memahami hadith dan femahaman sahih terhadap hadith-hadith tersebut.
Ilmu-ilmu agama khususnya yg melibatkan sudut Dirayah juga sangat memerlukan terhadap latar belakang keilmuan atau sandaran keilmuan bagi seseorang yang berbicara tentang agama karena tanpa berguru dengan guru, seseorang tidak layak mengaku sebagai ahli ilmu atau ulama’ walaupun sudah membaca banyak kitab karena para ulama’ Salaf sendiri mencela orang-orang berguru dengan lembaran-lembaran semata untuk berbicara tentang agama di hadapan manusia.

Persepsi tentang Sanad yang sempit hanya lahir daripada mereka yang terpisah daripada tradisi pembelajaran ilmu-ilmu agama yang asal sebagaimana hal itu diamalkan oleh para ulama’ Salaf dan Khalaf sepanjang zaman. Ketika membicarakan penggunaan istilah Sanad dalam Mustolah Hadith maka itu hanya satu bagian daripada konsep Sanad dalam ilmu-ilmu agama secara lebih luas karena penggunaan konsep Sanad atau “sandaran” sebenarnya suatu praktik dalam sistem pembelajaran ilmu-ilmu agama secara keseluruhan.

Sheikhu Sheikhna Al-Muhaqqiq Abdul Fattah Abu Ghuddah r.a. berkata:

“Sesungguhnya para ulama’ kita terdahulu -r.a.- memindahkan agama ini dan ilmu-ilmunya dengan penuh teliti…”. [Al-Isnad min Ad-Din: 49]

Untuk menjelaskan kedudukan dan pentingnya “Sanad” dalam tradisi pembelajaran atau pengajian ilmu-ilmu agama ini, kita perlu membagi kedudukan konsep “Sanad” secara umum iaitu dari sudut Dirayah dan dari sudut Riwayah.
Ilmu Agama dari Sudut Riwayah (Kesahihan Sumber) dan Dirayah (Kesahihan femahaman berdasarkan Kesahihan Manhaj belajar)

Kita perlu memahami ilmu agama itu ada dua jenis utama yaitu dari sudut riwayat dan dari sudut dirayah. Adapun ilmu-ilmu dari sudut riwayah adalah ilmu yang berkaitan dengan menjaga sumber ilmu agama iaitu dalam meriwayatkan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan memastikan keaslian kedua sumber tersebut dari sudut periwayatannya.

Berbeda dengan ilmu agama dari sudut Dirayah itu berkaitan dengan femahaman sahih terhadap nas-nas Al-Qur’an dan As-Sunnah yang dipelihara dari sudut riwayah tersebut, melalui manhaj sahih dalam berinteraksi dengan keduanya. Maka, ilmu agama dari sudut Dirayah menekankan tentang manhaj sahih dalam memahami kedua sumber tersebut. Oleh sebab itu, sebagian ahli hadith (Muhaddithin) yang terlibat dalam menjaga hadith-hadith dari sudut riwayat tidak membahas hadith-hadith dari sudut femahamannya secara terperinci seperti Imam Al-Bukhari, Imam Muslim dan sebagainya di mana dalam memahami nas-nas tersebut, mereka tetap bergantung kepada femahaman para ulama’ fiqh (Fuhaqa’).

Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- menyebut tentang dua jenis ilmu agama ini dengan sabdanya:-

“Allah s.w.t. memperindahkan (mencerahkan wajah) seseorang yang mendengar dari kami sesuatu hadith lalu menyampaikannya kepada orang lain. Bisa jadi, orang yang meriwayatkan Fiqh (nas hadith) sebenarnya bukan seorang yang faham (terhadap apa yang diriwayatkan) dan boleh jadi orang yang meriwayatkan fiqh ( tex hadith) menyampaikannya kepada orang yang lebih memahaminya”.

[Hadith riwayat Imam Ibn Hibban, Imam Ibn Majah, Imam Al-Baihaqi, Imam Ibn Abdil Barr, Al-Muhaddith Ramahramzi dan sebagainya].

Ini menunjukkan pentingnya kerjasama golongan Fuqaha’ dengan golongan Muhaddithin di mana golongan Fuqaha’ menumpukan dalam sudut Dirayah sedangkan golongan Muhaddithin menumpukan dalam sudut Riwayah. Namun, tidak dapat dinafikan ada sebagian ulama’ hadith juga dalam masa yang sama adalah ulama’ fiqh (Faqih) seperti Imam Malik r.a. dan Imam Ahmad r.a..

Oleh itu, kita bisa dapati banyak orang jahil mengaku mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah namun salah faham terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga melahirkan kelompok-kelompok syaz (golongan asing dan sesat lagi keluar daripada kelompok majoriti ulama’ Islam) kerana tidak memiliki manhaj Sahih dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah. di Antara kelompok tersebut adalah seperti Mu’tazilah, Jabbariyyah, Qadariyyah, Syiah, Mujassimah, Hasyawiyyah dan sebagainya.

Jadi, tidak semua orang yang mengaku mengikut Al-Qur’an dan As-Sunnah sebenarnya memahami keduanya dengan femahaman yang sahih sesuai manhaj yang sahih. Ini perlu difahami agar kita tidak tertipu dengan sebagian Zahiriyyah yang mengaku mengikuti nas-nas Al-Qur’an dan Hadith secara zahir sedangkan femahaman mereka telah tersasar dari femahaman sebenarnya.

Hubungan Antara Riwayah (Periwayatan Nas) dengan Dirayah (femahaman Nas)

Kita perlu fahami sebagaimana dijelaskan di awal, tentang perbedaan antara mereka yang menguasai ilmu-ilmu berkaitan sumber agama seperti Ilmu Rijal, sanad-sanad hadith, Takhrij dan penilaian hadith yang berkaitan dengan Riwayah, dan mereka yang membahas makna-makna Al-Qur’an dan Hadith dengan manhaj yang sahih. Oleh karena itu, kita dapati tidak semua ulama’ yang mahir dalam ilmu Riwayah terlibat dalam bidang ilmu Dirayah (menjelaskan femahaman hadith) secara langsung dan sebagian ulama’ yang terlibat dalam Dirayah pun tidak semahir ulama’ bidang Riwayah (Ahl Al-Hadith), iaitu dari sudut kedudukan sesuatu hadith, malah merujuk mereka (Ahl Al-Hadith) dalam menilai kedudukan sesuatu sumber agama (hadith).

Diriwayatkan daripada Nu’aim bin Hammad bahwasanya beliau bertanya kepada Abdul Rahman bin Mahdi:
“Di mana bedanya antara Sufiyan bin ‘Uyainah dengan Sufiyan At-Thauri?”
Beliau menjawab: “Imam Ibn Uyainah memiliki pengetahuan tentang (makna) Al-Qur’an dan penjelasan tentang hadith…yang tiada ada di sisi Imam At-Thauri”. [Al-Muhaddith Al-Fashil: 241]

Sheikhul Muhaddithin Imam Yahya bin Sa’id Al-Qatthan yang terkenal sebagai seorang ulama’ hadith yang mashyur, ketika membaca kitab Ar-Risalah, maka beliau memuji Imam As-Syafi’e r.a. berkenaan penulisan beliau tersebut dengan berkata:

“Aku tidak melihat seseorang yang lebih faham dan lebih cerdas akal [femahamannya] nya di banding beliau”. [Tahzib Al-Asma’ wa Al-Lughat 1/59]

Ini menunjukkan dua metode dalam bidang agama yang berbeda tetapi tidak terpisah yaitu metode riwayat dan diroyah 

Imam As-Syafi’e r.a. pernah berkata kepada Abu Ali bin Miqlas:

“Kamu ingin menghafal hadith (semata) lalu mengaku menjadi seorang faqih? Tidak sama sekali. Sangat tidak realistik.” [Manaqib Imam As-Syafi’e oleh Imam Al-Baihaqi 2/152]

Imam Al-Baihaqi menjelaskan tentang perkataan ini bahwasanya manfaat menghafal hadith-hadith adalah pada mempelajari maknanya yang dikenali sebagai At-Tafaqquh. Kesibukan dalam menghafal hadith hingga tidak mendalami femahaman hadith (Tafaqquh) tidak membuatkan seseorang itu menjadi faqih sama sekali.

Imam Ahmad r.a. juga berkata:

“Mengetahui (makna) hadith itu dan menjadi faqih dalam hadith lebih aku sukai daripada menghafalnya (tanpa memahaminya).” [Minhaj As-Sunnah oleh Sheikh Ibn Taimiyyah 4/115]

Imam Al-A’masyh r.a. berkata:

“Hadith yang disebutkan oleh para fuqaha’ (dengan femahamannya) lebih baik daripada hadith yang disebut oleh para sheikh (berupa text)”saja [Tadrib Ar-Rawi oleh Imam As-Suyuti 8]…”

-Tamat Nukilan-

Konsep Sanad dalam Pewarisan Ilmu-ilmu Agama dari Sudut Dirayah

Ilmu agama dari sudut Dirayah berbentuk cara memahami sumber agama secara sahih dan dengan femahaman-femahaman sahih terhadap sumber agama tersebut. Itu melibatkan ilmu-ilmu seperti ilmu Fiqh, Tafsir, Fiqh Al-Hadith, Aqidah (Tauhid) dan sebagainya yang berkaitan dengan ilmu-ilmu femahaman terhadap sumber agama, sebagaimana juga melibatkan ilmu-ilmu seperti Usul Fiqh, Qawa’id Fiqhiyyah, Ulum Al-Qur’an, Mustolah Hadith yang berkait sekali dengan cara memahami sumber agama.

Jadi, itu adalah suatu bentuk penguasaan ilmu agama yang paling utama karena sumber agama itu diwariskan oleh Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- kepada para ulama’ pada setiap generasi beserta dengan femahaman yang sahih dan cara memahaminya yang benar. Apakah sumber agama itu berupa hadith atau ayat Al-Qur’an, sahih dari sudut Riwayah, namun tidak semua orang berinteraksi dengan sumber agama yang sahih, secara sahih, lalu memahaminya dengan femahaman yang sahih. Sebagian ahli ilmu salah memahami nas-nas agama yang sahih lalu melahirkan pelbagai femahaman yang sesat daripada nas-nas tersebut.

Di sinilah letak pentingnya menguasai ilmu-ilmu agama dari sudut Dirayah yang meliputi:


  • femahaman Sumber Agama yang Sahih
  • Manhaj Memahami Sumber Secara Sahih

Dalam menguasai ilmu-ilmu agama dari sudut Dirayah, kaedah mewarisi ilmu daripada para ulama’ yang “ahli” adalah sutu kaedah asal yang tidak dapat dipisahkan.karena, ilmu-ilmu agama itu diperoleh secara Ta’allum atau belajar daripada para ulama’ yang mempunyai “keahlian” keilmuan berdasarkan neraca yang diamalkan dalam tradisi pembelajaran ilmu agama sejak zaman salaf, iaitu menilai “sanad keilmuan” mereka.

Maka, konsep “pewarisan” ini perlu difahami karena itu adalah asas dalam pembelajaran ilmu-ilmu agama. Ia berdasarkan hadith Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-:

“…Para ulama’ adalah pewaris para Nabi…”

[hadith diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam At-Tirmizi, Imam Ibn Majah, Imam Ibn Hibban dan sebagainya dalam hadith yang panjang].

Sebagaimana konsep pewarisan harta, konsep pewarisan ilmu juga mempunyai “ikatan hubungan” antara yang mewariskan dan yang mewarisi dan ikatan tersebut tidak boleh dipisahkan. Maka, “ikatan hubungan keilmuan” inilah dipanggil sebagai Sanad Ilmi atau sandaran keilmuan seseorang ulama’.

Konsep pembelajaran dalam bidang agama sebagaimana disebutkan oleh Sheikhna (guru kami) Shohib As-Samahah Al-Mufti Dr. Ali Jum’ah: “At-Ta’allum (proses pembelajaran) dengan At-Talaqqi (bertemu dengan guru dan mengambil ilmu daripadanya) dan At-Ta’lim (proses pengajaran) dengan At-Talqin (guru menyampaikan ilmu daripada mulutnya sendiri).

Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda lagi yang bermaksud:

“Sesungguhnya ilmu ini dengan belajar dan femahaman itu dengan bertafaqquh (mendalami ilmu agama)…” [Hadith riwayat Al-Khatib dalam Al-Faqih wa Al-Mutafaqqih dengan sanadnya].

Jadi, “Sanad Keilmuan” ini secara umum maksudnya adalah latar belakang pengajian ilmu agama seseorang yang bersambung dengan para ulama’ setiap generasi sampai kepada generasi sahabat r.a. yang mengambil femahaman agama yang sahih daripada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-.

Oleh sebab itulah, hatta pembukuan sumber-sumber agama sudah selesai oleh para ulama’ hadith seperti Imam Al-Bukhari, Imam Muslim dan sebagainya, namun untuk memahami sumber-sumber agama juga perlu merujuk kepada para ulama’ (Ahl Az-Zikr) yang mempunyai sanad keilmuan yang jelas. Iaitu, para ulama’ yang dirujuk juga  pernah mempelajari femahaman agama yang sahih berteraskan sumber agama yang sahih, daripada para ulama’ yang juga mempunyai sanad keilmuan yang jelas. Begitulah bersambungnya silsilah ini sampai kepada para ulama’ dari kalangan para sahabat r.a..

Saidina Ibn Umar r.a. berkata:

“Ilmu itu adalah agama dan solat itu adalah agama. Maka, lihatlah dari mana kamu mengambil ilmu ini dan bagaimana kamu solat dengan solat ini karena kamu akan dipertanyakan di hari Akhirat” [riwayat Imam Ad-Dailami]

Perkataan Saidina Ibn Umar r.a. ini menunjukkan pentingnya Sanad keilmuan secara umum dari sudut Riwayah mahupun Dirayah.

Adapun budaya mendalami ilmu-ilmu agama dengan bergurukan buku semata, tanpa bertalaqqi (bertemu) dengan para ulama’ muktabar untuk mengambil femahaman ilmu-ilmu agama, atau sekadar merujuk beberapa individu yang berbicara tentang agama tanpa latar belakang keilmuan (Sanad keilmuan) yang jelas (apatah lagi memiliki Ijazah Tadris/izin mengajar daripada ulama’ muktabar), maka mereka akan terpisah daripada tradisi keilmuan Islam yang asal.

Mereka yang berusaha memahami agama sekadar memperbanyakkan bahan bacaan tanpa memperbanyakkan rujukan dari kalangan para ulama’ tidak dinilai sebagai penuntut ilmu atau ahli ilmu sebagaimana dalam tradisi As-Salaf terdahulu.

Sheikh Ibn Jama’ah berkata:

“Sebesar-besar musibah adalah dengan bergurukan sahifah (lembaran-lembaran atau buku)”

[Ibn Al-Jama’ah: 87 dan dinukilkan dalam Muqoddimah Syarh Al-Maqawif 1/90]

Imam Malik r.a. berkata:

ويجب ان يكون حفظه مأخوذا عن العلماء لا عن الصحف

Maksudnya: “Hendaklah seseorang penuntut itu hafazannya (matan hadith dan ilmu) daripada ulama, bukan daripada Suhuf (lembaran)”. [Al-Kifayah oleh Imam Al-Khatib 108]

Imam As-Syafi’e r.a. juga berkata:

“Sesiapa yang bertafaqquh (berusaha memahami agama) melalui isi kandungan buku-buku, maka dia akan mensia-siakan hukum (femahaman sebenarnya)”. [Tazkirah As-Sami’e: 87]

Imam Badruddin ibn Jama’ah menyimpulkan hal ini dengan berkata:

وليجتهد على أن يكون الشيخ ممن له على العلوم الشرعية تمام الإطلاع، وله مع من يوثق به من مشايخ عصره كثرة بحث وطول اجتماع، لا ممن أخذ عن بطون الأوراق ولم يعرف بصحبة المشايخ الحذاق.

:“Hendaklah seseorang penuntut ilmu itu berusaha mendapatkan Sheikh yang mana dia iti seorang yang menguasai ilmu-ilmu Syariah secara sempurna, yang mana dia melazimi para sheikh yang terpercaya di zamannya yang banyak mengkaji dan dia lama bersahabat dengan para ulama’, bukan berguru dengan orang yang mengambil ilmu hanya dari dada-dada kertas dan dia juga tidak bersahabat dengan para sheikh (ulama’) yang agung.” [Tazkirah As-Sami’ wa Al-Mutakallim 1/38]

Di sinilah secara jelas para ulama’ mengingatkan kita agar mempelajari ilmu-ilmu agama daripada para ulama’ yang mempunyai Sanad keilmuan atau sandaran keilmuan yang jelas yang berbentuk catatan proses pembelajaran mereka dan susunan guru dari para ulama’ yang telah bersahabat dengan mereka untuk mengambil ilmu. Kita tidak boleh mempelajari ilmu-ilmu agama daripada orang yang tidak mempunyai Sanad keilmuan yang jelas walaupun orang itu terkenal karena banyaknya pengikut dari kalangan orang-orang jahil bukanlah ukuran keilmuan seseorang guru yang mengajar, tetapi Sanad keilmuannyalah yang menjadi ukuran terutamanya dari sudut Dirayah.

Imam Ibn Abi Hatim Al-Razi meriwayatkan dengan sanadnya kepada Abdullah bin 'Aun bahwasanya beliau berkata:

لا يؤخذ هذا العلم إلا عمن شهد له بالطلب

Maksudnya:”Tidak boleh diambil ilmu ini (ilmu hadith dan ilmu agama) melainkan daripada orang yang telah diakui pernah menuntut sebelum itu (pernah meriwayatkan ilmu dari gurunya secara bersanad juga)”. [Al-Jarh Wa At-Ta'dil 1/ 28]

Maka, ilmu-ilmu agama dikembangkan melalui para ulama’ (Ar-Rijal) bukan melalui lembaran-lembaran tanpa mempelajarinya daripada para ulama’ yang mempunyai sanad keilmuan yang jelas. Kita lihat para ulama’ mempunyai sanad-sanad keilmuan dari sudut Dirayah dalam pelbagai lapangan dan bidang ilmu-ilmu agama.

Kita ambil satu contoh Sanad Keilmuan atau sanad Talaqqi dalam bidang ilmu fiqh (secara Dirayah) khususnya melalui Sanad keilmuan Fiqh Syafi’e Imam An-Nawawi r.a.. Imam An-Nawawi r.a. menyebut dalam kitab Tahzib Al-Asma’ wa As-Shifat [1/18]  

“Maka saya mengambil ilmu fiqh secara bacaan (murid membaca sesuatu kitab di hadapan guru yang mendengar), tashihan (pembetulan atau penelitian semula), secara mendengar (guru membaca dan murid mendengar), secara syarah (guru menyampaikan manhaj At-Tafahhum As-Sahih) dan secara catatan (jenis mengajar manhaj At-Tafahhum As-Sahih juga) daripada banyak kelompok ulama’ iaitu:

•Sheikhi (guruku) Imam Abu Ibrahim Ishaq bin Ahmad bin Uthman Al-Maghribi r.a.•Sheikhna (guru kami) Imam Abu Abdil Rahman bin Nuh bin Muhammad Al-Maqdisi Ad-Dimasyqi r.a. (mufti Dimasyq)•Sheikhna Abu Hafsh Umar bin As’ad bin Abi Thalib Al-Rab’ie Al-Arbili r.a.
Mereka semua berguru daripada Imam Abu ‘Amr Ibn As-Sholah yang mana beliau bertafaqquh daripada ayahnda beliau iaitu Imam As-Sholah r.a.. Imam As-Sholah r.a. meriwayatkan fiqh daripad dua jalan (Sanad Ulama’ Iraq dan sanad Ulama’ Khurasan):-

- Adapun jalan ulama’ Iraq adalah:

Imam As-Sholah meriwayatkan daripada Imam Abu Sa’id Abdullah bin Muhammad bin Hibbatullah Al-Musawi. Beliau (Abu Sa’id) belajar ilmu fiqh daripada Al-Qadhi Imam Abu Ali Al-Faruqi daripada Imam Abu Ishaq As-Syirazi r.a. daripada Al-Qadhi Imam Abu At-ThayyibThahir bin Abdillah At-Thabari r.a. daripada Imam Abu Al-Hasan Muhammad bin Ali bin Sahl bin Mushlih r.a. Al-Masarjasi daripada Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Ahmad Al-Maruzi r.a. daripada Imam Abu Al-‘Abbas Ahmad bin Umar bin Suraij daripada Imam Abu Al-Qashim Uthman bin Basyir Al-Anmathi r.a. daripada Imam Abu Ibrahim Isma’il bin Yahya Al-Muzani r.a. daripada Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’e r.a..

Adapun Imam As-Syafi’e r.a. (sebagaimana disebutkan di fasal awal tadi) berguru dengan beberapa ulama’ antaranya:

•Imam Malik bin Anas r.a.•Imam Sufiyan bin ‘Uyainah r.a.•Imam Abu Khalid Muslim bin Khalid Al-Zanji r.a.
Adapun Imam Malik r.a. mempelajari ilmu agama daripada:-

•Imam Rabi’ah Ar-Ra’y daripada Saidina Anas r.a.•Imam Nafi’e r.a. daripada Imam Ibn Umar r.a.
Adapun Imam Sufiyan bin ‘Uyainah r.a. mempelajari ilmu agama daripada: Imam ‘Amr bin Dinar r.a. daripada Saidina Ibn Umar r.a. dan Saidina Ibn Abbas r.a.

Adapun Imam Abu Khalid Muslim bin Khalid Al-Zanji r.a. mempelajari ilmu agama daripada: Imam Abdul Malik bin Abdil Aziz Ibn Juraij daripada Imam ‘Atha’ bin Abi Rabah daripada Saidina Ibn Abbas r.a..

Saidina Ibn Abbas r.a. mempelajari ilmu agama daripada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan daripada ramai para sahabat r.a. antaranya Saidina Umar r.a., Saidina Ali r.a., Saidina Zaid bin Thabit r.a. dan sebagainya yang mana mereka semua mempelajari ilmu agama daripada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-.

- Adapun jalan ulama’ Khurasan adalah: Imam As-Sholah mempelajari ilmu agama daripada Imam Abu Al-Qashim bin Al-Bazri Al-Jazari r.a. daripada Imam Ilkiya Al-Harrasi r.a. daripada Imamul Haramain Abu Al-Ma’ali Abdul Malik bin Abdillah Al-Juwaini r.a. daripada Ayahnda beliau Imam Abdullah bin Yusuf Al-Juwaini r.a. daripada Imam Al-Qaffal Al-Maruzi As-Shaghir daripada Imam Abu Zaid Muhammad bin Ahmad Al-Maruzi daripada Imam Abu Ishaq Al-Maruzi r.a. sebagaimana telah disebutkan sanad beliau dalam jalan ulama’ Iraq tadi”.

Begitu juga, Sanad keilmuan ilmu Aqidah khususnya mazhab Al-Asy’ari yang bersambung kepada Imam Al-Asy’ari terutamanya melalui riwayat Imam Fakhruddin Al-Razi r.a..

Imam Fakhruddin Al-Razi mendalami ilmu-ilmu agama termasuk ilmu aqidah daripada ayahnda beliau (Imam Dhiya’uddin) yang meriwayatkannya daripada Abi Al-Qasim Al-Isfarayini daripada Imam Abi Ishaq Al-Isfarayini daripada Abi Al-Hasan Al-Bahili daripada Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari r.a.

Ayahnda beliau Dhiya’uddin Al-Razi juga meriwayatkan mazhab Al-Asya’irah daripada Imam Al-Haramain daripada ayahnda beliau daripada Imam Abu Thayyib An-Naisaburi daripada ayahnda beliau Imam Abu Sahl An-Naisaburi daripada Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari.

Imam Al-Asy’ari pula mempelajari ilmu agama khususnya fiqh mazhab As-Syafi’e daripada Imam Abu Ishaq Al-Maruzi dan Imam Zakaria bin Yahya As-Saji (sezaman dengan Imam Al-Asy’ari) dan mendalami ilmu aqidah Ahlus-Sunnah daripada Sheikh Ibn Kullab As-Syafi’e. Adapun Imam Zakaria bin Yahya As-Saji mendalami ilmu agama daripada Imam Al-Muzani dan Imam Rabi’e sedangkan kedua-duanya pula mempelajari ilmu agama khususnya fiqh daripada Imam Al-Muzani dan Imam Ar-Rabi’e yang mana kedua-duanya berguru kepada Imam As-Syafi’e r.a..

Dalam bidang tafsir juga tidak terlepas daripada tradisi sandaran keilmuan atau sanad ini.

Imam Ibn Hajar Al-Asqollani r.a. menyebut sanad ilmu tafsir beliau khususnya Tafsir At-Tabari yang beliau riwayatkan, dengan berkata:

“Abu ‘Ali Muhammad bin Ahmad bin Abdil Aziz Al-Mahdawi telah mengkhabarkan kepada kami daripada Yunus bin Abi Ishaq daripada Abi Al-Hasan Ali bin Mahmud Ibn As-Shobuni dan Abi Al-Qasim Abdil Rahman bin Makki, mereka berkata bahawasanya Abu Thahir Ahmad bin Muhammad As-Silafi telah menyebut kepada kami secara ijazah musyafahah bahawasanya Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Ibrahim ibn Al-Katthab Al-Razi telah menyebut kepada kami daripada Abi Al-Fadhl Muhammad bin Ahmad As-Sa’di daripada Al-Khashib bin Abdillah bin Al-Khasib secara sama’an daripada Abi Muhammad Abdillah bin Muhammah Al-Fargani daripada Abu Ja’far At-Thabari r.a..” [rujuk Al-Munjam oleh Imam Ibn Hajar m/s: 108]

Imam Ibn Hajar r.a. juga menyebut sanad Tafsir beliau yang bersambung kepada Imam Sufiyan bin ‘Uyainah r.a.:-

“Abu Al-Abbas Ahmad bin Abi Bakr bin Abdil Hamid mengkhabarkan kepadaku secara ijazah bertulis yang mana saya membaca kebanyakannya daripada tafsir tersebut daripada Fathimah binti Muhammad Ibn Al-Manja yang mana kedua-duanya (Abu Al-Abbas dan Fathimah) meriwayatkan daripada Taqiyuddin Sulaiman bin Hamzah secara ijazah sebagaimana yang pertama berkata (Abu Al-Abbas) jika tidak mendengarnya secara Sama’an (guru membaca kepada murid), bahwa Al-Hafiz Abu Abdillah Muhammad bin Abdil Wahid Al-Maqdisi telah memberitahu kepada kami bahawa Abu Al-Majd Zhahir bin Abi Thohir Ahmad At-Thaqafi telah memberitahu kepada kami bahawa Al-Husein bin Abdil Malik Al-Khallal telah memberitahu kepada kami bahawa Abdul Rahman bin Ahmad bin Al-Hasan Al-Razi telah memberitahu kepada kami (Anba’ana) bahwa Ahmad bin Ibrahim bin Firras telah memberitahu kepada kami bahwa Abu Ja’far Muhammad bin Ibrahim Ad-Dibali telah memberitahu kepada kami bahawa Sa’id bin Abdil Rahman Al-Makhzumi telah memberitahu kepada kami daripada Imam Sufiyan bin ‘Uyainah r.a.” [ibid]

Adapun Imam Sufiyan bin ‘Uyainah r.a. mempelajari ilmu agama daripada: Imam ‘Amr bin Dinar r.a. daripada Saidina Ibn Umar r.a. dan Saidina Ibn Abbas r.a. yang mana kedua-dua sahabat tersebut mempelajari ilmu-ilmu agama termasuk tafsir daripada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-.

Begitulah dalam ilmu-ilmu yang lain yang tidak sempat disebutkan di sini termasuk ilmu Tasawwuf yang sangat mementingkan konsep sanad ini. Apapun, sebagaimana menurut Sheikhu Sheikhna Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam kitab beliau Al-Isnad min Ad-Din bahawa para ulama’ dahulu sangat teliti dalam mengambil ilmu-ilmu agama hatta satu kalimah pun mereka meriwayatkannya dengan sanad.

Konsep Sanad dalam Pewarisan Ilmu-ilmu Agama dari Sudut Riwayah

Sebagaimana pentingnya sanad dalam mengambil ilmu-ilmu agama secara Dirayah, begitu juga pentingnya Sanad dalam periwayatan ilmu-ilmu agama secara Riwayah (nas). Bahkan, pada dasarnya, penggunaan konsep Sanad ini digunakan secara meluas dalam ilmu agama dari sudut Riwayah ini, karena itu untuk mengukur keaslian atau ketulenan suatu nas tersebut.

Oleh sebab itulah, ilmu Qiraat yang membicarakan tentang Sanad bacaan Al-Qur’an dipelihara oleh para ulama’ Islam sejak zaman ke zaman. Begitu juga dengan ilmu Rijal atau ilmu Isnad dalam bidang hadith juga sangat dipelihara oleh para ulama’ hadith. Ini untuk  menjaga kedua sumber agama (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dari sudut ketulenan dan kesahihannya.

Dalam bidang riwayah hadith inilah berkembangnya penggunaan istilah Sanad sebagaimana disebut dalam kitab-kitab Mustolah Hadith.

Sebagai contoh:

Imam Ibn Hajar Al-Asqollani berkata:

(( الإسناد : حكاية طريق المتن))

“Al-Isnad: penceritaan tentang kedudukan jalan matan” (Nuzhatu An-Nazhor: 19)

Penggunaan istilah Isnad dan Sanad meluas dalam bidang hadith karena dalam bidang tersebut sangat memberi fokus terhadap sandaran suatu matan hadith dan jalan periwayatannya dalam rangka untuk menilai kesahihan suatu matan hadith berdasarkan jalan periwayatannya tersebut.

Asal bagi konsep Sanad ini adalah sebagaimana sabda Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- :

“Kamu (para sahabat) mendengar (hadith-hadithku), lalu akan didengar daripada kamu, dan orang yang mendengar daripada kamu pula akan didengarkannya…”

[Hadith riwayat Imam Ahmad, Khatib Al-Baghadi, Ramahramzi dan sebagainya]

Namun, Sanad dari sudut Riwayah ini semakin tidak amat ditekankan oleh para ulama’ muktakhir karena kitab-kitab hadith yang menghimpunkan matan-matan hadith serta sanad-sanadnya sudah siap di tangan para ulama’ hadith yang besar seperti Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, Imam At-Tirmizi, Imam An-Nasa’ie, Imam Abu Daud, Imam Ibn Majah, Imam Al-Hakim, Imam Ad-Darqutni, Imam Ibn Khuzaimah, Imam Ibn Abdil Bar, Imam Al-Baihaqi, Imam Abdul Razzak dan sebagainya.

Kitab-kitab yang telah mereka susun sudah dianggap lengkap oleh para ulama’ hadith selepas mereka, dalam menghimpunkan hadith-hadith dari sudut matan dan sanadnya yang mana penilaian-penilaian sanad hanya boleh dilihat daripada apa yang telah termuat dalam kitab-kitab tersebut. Maka, setelah pembukuan kitab-kitab hadith tersebut, sebagian pihak menilai kepentingan sanad dari sudut riwayah sudah tidak seperti dahulu.

Walaupun Pun begitu, kedudukan kitab-kitab hadith itu sendiri jika tidak diriwayatkan daripada para penulisnya secara riwayat sama’ie (guru membaca kepada murid), ‘ardhi (murid membaca di hadapan guru) atau secara ijazah, maka kedudukan kitab-kitab tersebut tetap dinilai sebagai Wijadah di sisi mereka yang membacanya tanpa sambungan sanad kepada para ulama’ yang menulis kitab-kitab tersebut.

Oleh sebab itulah, majoritas ulama’ hadith dan sebagainya masih meneruskan tradisi periwayatan kitab-kitab hadith secara bersanad karena mempertahankan tradisi riwayah bersanad yang termaktub dalam Ilmu Riwayah dalam Mustolah Hadith dan menjaga ketelitian dalam periwayatan kitab-kitab tersebut.

Maka, kita dapati para ulama’ membaca kitab Sahih Al-Bukhari misalnya, dari awal hingga khatam, daripada para ulama’ sebelum mereka yang mana pembacaan tersebut bersambung silsilahnya kepada Imam Al-Bukhari r.a.. Ini dikenali juga sebagai Sanad Talaqqi di mana setiap murid membaca kitab susunan para ulama’ daripada guru-guru yang juga telah membacanya daripada para ulama’ sebelum mereka sehingga bersambung Sanad Talaqqi tersebut kepada penulis kitab tersebut.

Kita bisa rujuk misalnya sanad talaqqi kitab Sahih Al-Bukhari oleh Sheikh Muhammad Ali bin Hasan Al-Maliki sebagaimana dalam Maslak Al-Jali:-

“Saya meriwayatkannya daripada Al-Allamah Sayyid Abu Bakr bin Muhammad Syatho Al-Makki yang dikenal sebagai As-Sayyid Al-Bakri telah mengkhabarkan kepada kami daripada Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan Al-Makki (mufti Syafi’iyyah di Makkah) daripada Sheikh Uthman bin Hassan Ad-Dimyathi daripada Al-Allamah Abdullah bin Hijazi As-Syarqowi (bekas Sheikhul Azhar) daripada Al-Allamah Sheikh Syamsuddin Muhammad bin Salim Al-Hanafi daripada Sheikh Abdul Aziz Az-Ziyadi daripada Sheikh Muhammad bin Al-‘Ala’ Al-Babili daripada Sheikh Salim As-Sanhuri daripada Sheikh Muhammad bin Ahmad Al-Ghaithi daripada Sheikhul Islam Zakaria Al-Anshari daripada Sheikh Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqollani daripada Sheikh Abi Ishaq Ibrahim bin Ahmad At-Tanukhi daripada Sheikh Abi Al-Abbas Ahmad bin Abi Thalib Al-Hajjar daripada Sheikh Al-Husein bin Al-Mubarak Az-Zabidi daripada Sheikh Abdul Awwal As-Sijzi daripada Sheikh Abdul Rahman Ad-Dawudi daripada Sheikh Muhammad bin Yusuf Al-Firabri daripada Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari r.a..” [Maslak Al-Jali susunan Sheikhu Sheikhna Muhammad Yasiin Al-Fadani]

Begitu juga sebagai contoh, Sanad Talaqqi kitab Sahih Muslim oleh Sheikhu Sheikhna Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki. Beliau meriwayatkannya daripada ayahnda beliau Sheikh Sayyid Alawi bin Sayyid Abbas Al-Maliki daripada ayahndanya Sheikh Sayyid Abbas bin Abdil Aziz Al-Maliki daripada Sheikh Muhammad Abid daripada Sheikh Ahmad Zaini Dahlan daripada Sheikh Uthman Ad-Dimyathi daripada Sheikh Al-Amir Al-Kabir daripada Sheikh Ali bin Muhammad As-Saqqat daripada Sheikh Ibrahim Al-Fayumi daripada Sheikh Ahmad Al-Farqawi Al-Maliki daripada Sheikh Ali Al-Ajhuri daripada Sheikh Ali bin Abi Bakr Al-Qarafi daripada Al-Hafiz As-Suyuti daripada Sheikh Al-Bulqini daripada Sheikh At-Tanukhi daripada Sulaiman bin Hamzah daripada Sheikh Ali bin Al-Husein Al-Hasyimi dan Sheikh As-Sullami daripada Sheikh Al-Hafiz Abi Al-Qashim Abdil Rahman bin Muhammad bin Ishaq daripada Al-Hafiz Abi Bakr Muhammad bin Abdillah As-Syaibani daripada Sheikh Makki bin Abdan An-Naisaburi dan Sheikh Abi Hamid As-Syarqi daripada Imam Muslim r.a.. [Al-Awa’il Az-Zamzamiyyah oleh Sheikhna Ahmad Fahmi Zamzam Al-Banjari An-Nadwi Al-Maliki]

Begitu pula dengan Sanad Talaqqi Al-Qur’an khususnya dengan qiraat Hafsh daripada Imam Al-Ashim r.a.. Sebagai contoh, sebagaimana sanad Sheikhu Sheikhna Hasan Al-Masyath r.a.. Beliau meriwayatkan qiraat Hafs daripada Al-Allamah Sheikh Muhammad Habibullah As-Syanqithi Al-Makki Al-Bashri daripada Al-Allamah Sheikh Muhammad Kamil bin Muhammad Al-Bahrawi daripada Sheikh Burhanuddin Ibrahim bin Ali As-Saqa daripada Al-Allamah Muhammad Al-Amir As-Shaghir daripada ayahndanya Al-Allamah Al-Amir Al-Kabir daripada Al-Allamah Abi Abdillah bin Al-Hasan As-Sammanudi daripada Sheikh Nuruddin Ar-Ramli daripada Sheikh Muhammad Al-Baqri Al-Kabir daripada Sheikh Abdil Rahim Al-Yamani daripada ayahndanya Sheikh Syahazah Al-Yamani daripada Sheikh Ahmad At-Tablawi daripada Sheikhul Islam Zakaria Al-Anshari daripada Sheikh Abi Al-Abbas Ahmad An-Nuwairi daripada Al-Hafiz Ima Al-Jazari daripada Sheikh Syamsuddin Muhammad bin Al-Kayyan daripada Sheikh Al-Labban daripada Sheikh Abi Al-Hasan Ali bin Syuja’ Al-Abbasi Al-Mishri daripada Imam Abi Muhammad Al-Qashim bin Fayyurah As-Syathibi daripada Al-Allamah Imam Ali bin Huzail daripada Sheikh Ahmad Daud Sulaiman Al-Qurtubi daripada Al-Hafiz Abi Amr Uthman bin Sa’id Ad-Dani daripada Abu Al-Hasan Thohir bin Glabun Al-Muqri’ dariadap Sheikh Abu Al-Hasan Ali bin Sholeh Al-Hasyimi Al-Muqri’ daripada Sheikh Abu Abbas Ahmad bin Sahl Al-Asynani daripada Imam Hafsh bin Sulaiman Al-Bazzar daripada Imam Ashim daripada Sheikh Abi Abdil Rahman Abdillah Habib As-Sulami daripada Saidina Abi Amru, Saidina Uthman bin Affan, Saidina Ali bin Abi Thalib, Saidina Ka’ab, Saidina Zaid bin Thabit dan Saidina Abdillah bin Mas’ud yang mana mereka meriwayatkan bacaan Al-Qur’an daripada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- daripada Al-Amin Jibril a.s. daripada Luh Mahfuz daripada Allah s.w.t..

Begitulah secara ringkas contoh di mana ilmu-ilmu agama diwarisi dari satu generasi ke generasi seterusnya secara bersanad, hasil daripada proses Talaqqi (bertemu dengan guru) dalam sistem pembelajaran ilmu agama yang asal.

Memang benar, kepentingan Sanad dari sudut Riwayah tidak sepenting dahulu untuk menilai kesahihan sesuatu nas, namun tidak menafikan kepentingan sandaran keilmuan dari sudut Dirayah. Malah, kemuliaan menyambung diri kepada sanad para ulama’ dari sudut Riwayah juga adalah suatu kemuliaan yang kekal sepanjang ia diamalkan.

Kemuliaan periwayatkan kitab-kitab secara bersanad (dari sudut Riwayah) terutama kitab-kitab hadith tetap tinggi nilainya walaupun setelah pembukuan kitab-kitab hadith tersebut kerana para ulama’ salaf sentiasa menggalakkan kita mencari Sanad yang ‘Ali antara kita (penuntut ilmu) dengan Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-.

Kemuliaan menyambungkan diri dalam Sanad para ulama’ dari sudut Riwayah tetap ada dalam tradisi ilmu-ilmu agama terutamanya dalam tradisi mencari sanad yang ‘ali (tinggi) yang sangat digalakkan oleh para ulama’ salaf, sebagai tradisi yang mempunyai kemuliaan tersendiri. Ia disebutkan oleh Imam Al-Khatib Al-Baghdadi pada banyak kitab beliau antaranya kitab “Al-Jami’e Li Akhlaq Ar-Rawi wa Adab As-Sami’e” pada jilid kedua.

Konsep Sanad Secara Menyeluruh (Dirayah dan Riwayah)

Sheikh Ibn Khaldun membuat kesimpulan tentang tradisi sanad yang meluas yang merangkum pelbagai bidang ilmu agama ketika membuat ulasan tentang Sheikh Abu Muhammad bin Abdil Muhaimin Al-Hadrami (w: 749 H):

“…Beliau mempunyai sebuah tempat simpanan kitab-kitab melebihi tiga ribu lembaran dalam bidang hadith, fiqh, bahasa Arab, Adab, ilmu-ilmu logik dan ilmu-ilmu yag lain yang tersusun semuanya secara teliti, yang mana tidak sunyi tulisan-tulisan tersebut daripada thabat dengan tulisan sebagian guru-gurunya yang terkenal pada sanadnya yang bersambung kepada penulis asalnya (sesuatu kitab tersebut) sehingga dalam ilmu fiqh, bahasa Arab dan sebagainya…”

[rujuk buku At-Ta’rif bi Ibn Khaldun wa Rihlatihi Syarqan wa Gharban m/s 20, diteliti oleh Muhammad bin Tawit Al-Tanji, Mesir, 1951]

Imam Ibn Sirin berkata:

إن هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم “

Maksudnya: “Ilmu itu adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu (ilmu agama tersebut)”.

Ibn Abdil Bar meriwayatkan daripada Imam Al-Auza'ie r.a. bahawasanya beliau berkata:

ما ذهاب العلم إلا ذهاب الإسناد

Maksudnya: “Tidaklah hilang ilmu (agama) melainkan dengan hilangnya sanad-sanad (ilmu agama tersebut)”. [At-Tamhid 1/314]

Mengapa ilmu akan lenyap jika tradisi sanad ini tidak dipelihara? di Antara sebabnya, akan muncul golongan yang tidak mempunyai latar belakang keilmuan dalam bidang agama yang sempurna, berdiri di hadapan masyarakat umum, lalu berbicara dalam urusan agama, tanpa kelayakan yang jelas. Mereka mendakwa, atas alasan semua orang berhak beragama, jadi semua orang berhak berbicara dalam urusan agama. Dasar liberal sepertiini jelas tertolak dalam ukuran keilmuan Islam yang menilai latar belakang keilmuan seseorang khususnya melalui tradisi sanad ini.

Oleh sebab itulah, dalam Muqoddimah Sahih Muslim [1/15], Imam Muslim meriwayatkan dari Imam Abdullah bin Mubarak r.a. yang berkata:

“Isnad itu sebagian dari agama, jika tidak kerana isnad, maka siapa pun akan berkata apa saja yang dikehendaki (dalam urusan agama tanpa ilmu mendalam tentangnya)”

Pembukuan Nama-nama Para Syuyukh

Berdasarkan kepentingan sanad keilmuan inilah, para ulama’ mengumpulkan Sanad-sanad keilmuan mereka tersebut yang merangkum ilmu-ilmu agama dari sudut Riwayah mahupun Dirayah, dari sudut Manqul mahupun Ma’qul dan sebagainya, dalam kitab-kitab mereka. Sebahagian para ulama’ menyusun latar belakang keilmuan mereka iaitulah Sanad keilmuan dalam bentuk Mu’jam As-Syuyukh yang menyusunkan riwayat hidup dan latar belakang keilmuan para guru mereka. Sebagian mereka menyusun kitab berbentuk Fihris dalam menyenaraikan guru-guru mereka serta sanad-sanad mereka yang diambil daripada para guru mereka. Begitu juga sebagian mereka menyusun kitab berbentuk Barnamij sebagaimana yang masyhur di sisi para ulama’ Andalus dan Maghribi. Sebagian menggunakan istilah Masyikhah atau dalam riwayat yang lain disebut sebagai Mashyakhah [rujuk Fihris Al-Faharis: 1/67-68]. Sebagian para ulama’ yang lain menyusun kitab berbentuk Thabat yang hampir sama maksudnya.

Sejarah penyusunan nama-nama guru atau sheikh bisa didapati pada kurun ketiga hijrah lagi, seperti Al-Mu’jam As-Shaghir oleh Imam At-Tabrani kemudian terus berkembang seperti Mu’jam Syuyukh Abi Ya’la Al-Mushili, Mashyakhah Ibn Al-Jauzi dan sebagainya. Pada kurun kelima, banyak berkembang bentuk-bentuk yang lain seperti Fihris, Baramij dan sebagainya.

Kemudian, sudah menjadi kebiasaan bagi amalan para ulama’ silam di mana kitab Mu’jam adalah kitab yang menghimpunkan nama-nama guru, kitab Fihris adalah kitab yang menghimpunkan nama-nama kitab (dengan sanad-sanadnya) dan Baramij adalah kitab yang membahagikan dua bahagian iaitu bahagian pertama yang menyenaraikan nama-nama guru dan bagian kedua yang menyusun nama-nama kitab yang telah ditalaqqi dari para ulama’. Kemudian, ia berkembang kepada Athbat yang menghimpunkan nama-nama guru dan kitab-kitab yang dibaca kepada mereka.

Antara kitab-kitab awal dalam bentuk ini yang masyhur adalah:

Kurun ke-6 Hijrah:

•Fihris Ibn Athiyyah Al-Andalusi (w: 541 H)•Al-Ghunyah Fihris Shuyukh Qadhi Iyadh (w: 544 H) •At-Tahbir fi Al-Mu’jam Al-Kabir oleh Abi Sa’ad As-Sam’ani (w: 562 H)•Fihrisah Ibn Khair Al-Isybili (w: 575 H) •Al-Wajiz fi Zikr Al-Mujaz wa Al-Mujiz oleh Sheikh Abi Thohir As-Silafi (w: 577 H)•Mashyakhah Ibn Al-Jauzi (w: 597 H) •Barnamij Ibn Basykawal oleh Imam Abu Al-Qasim Ibn Basykawal Al-Andalusi (w: 578 H) •Mu’jam As-Syuyukh oleh Imam Ibn Basykawal
Kurun ke-7 Hijrah:

•Mu’jam As-Syuyukh oleh Imam At-Tajibi (w: 610 H)•Taj Al-Ma’ajim oleh Imam Ismail ibn Hamid Al-Anshari Ad-Dimasyqi (w: 653 H)•Al-Mu’jam fi Ashaab Al-Qadhi Abi Ali As-Shadafi yang disusun oleh Ibn Al-Abar Al-Qadha’ie (w: 658 H)
Kurun ke-8 Hijrah:
•Barnamij At-Tajibi oleh Sheikh At-Tajibi (w: 730 H)•Mashyakhah Qadhi Al-Qudhah Ibn Jama’ah yang dikeluarkan oleh Al-Barzali (w: 739 H)•Mu’jam Al-Barzali oleh Imam Al-Barzali (w: 739 H)•Fihrisah Abu Al-Hayyan oleh Imam Abu Al-Hayyan (w: 745 H)•Mu’jam As-Syuyukh oleh Al-Hafiz Az-Zahabi (w: 748 H)•Barnamij Al-Wadi Asyi (w: 749 H)•Al-Mu’jam Al-Kabir bagi Imam Burhanuddin At-Tanukhi (w: 800H) yang disusun oleh murid beliau Imam Ibn Hajar Al-Asqollani r.a..
Kurun ke-9 Hijrah:

•Al-Majma' Al-Mu'asss oleh Imam Ibn Hajar (w: 852 H)•Al-Mu'jam Al-Fihris juga oleh Imam Ibn Hajar (w: 852 H) •Mu’jam Syuyukh Ibn Fahd Al-Makki (w: 885 H)
Kurun ke-10 Hijrah:

•Al-Juz' Al-Latif fi At-Tahkim As-Syarif oleh Al-Habib Abi Al-'Adni bin Abi Bakr Al-Aidarus (914 H)•At-Ta’allul bi Rusum Al-Isnad Ba’d Zhihab Ahl Al-Manzil wa Al-Nad oleh Imam Muhammad bin Ahmad Al-Uthmani Al-Maghribi Al-Fasi (w: 919 H)•Fihris Imam Abdul Wahab As-Sya’rani (w: 973 H)•Al-Fihris Al-Ausath oleh Sheikh Muhammad bin Ali bin Thulun (w: 953 H)•At-Thiraz Al-Mu'allim oleh Al-Habib Sheikh bin Abdillah Al-'Aidarus (w: 990 H)
Kurun ke-11 Hijrah:

•Fihrisah Ayyub Al-Khalwati oleh Sheikh Ayyub Al-Khalwati (w: 1071 H)•Muntakhob Al-Asanid oleh Al-Musnid Muhammad bin Alauddin Al-Bahili (w: 1077 H)•Al-Minah Al-Badiyyah fi Al-Asanid Al-'Aliyah oleh Al-Musnid Ibu Mahdi Isa nin Muhammad At-Tha'alabi (w: 1080 H)•Sillatu Al-Kholaf bi Mausul As-Salaf oleh Al-Muhaddith Sheikh Muhammad bin Sulaiman Al-Rudani (w: 1094 H)
Kurun ke-12 Hijrah:

•Al-Umam li Iqazh Al-Himam oleh Sheikh Abu Thohir Ibrahim bin Hasan Al-Kurani (w: 1101 H)•Kifayah Al-Muttholie' oleh Sheikh Hasani bin Ali Al-'Ujaimi Al-Makki (w: 1113 H)•Al-Imdad bi Ma'rifati 'Uluwi Al-Isnad oleh Imam Abdullah bin Salim Al-Bashri (w: 1134 H) Miftah Al-Asrar fi Tanazuli Al-Asrar wa Ijazah Al-Akhyar oleh Al-Habib Abdul Rahman bin Abdullah bin Ahmad Bal Faqih (w: 1164 H)•Al-Muqtathif min Ittihaf Al-Akabir bi Asanid Al-Mufti Abdil Qadir oleh Muhammad Hasyim As-Sindi (w:1174 H) •Al-Irsyad ila Muhimmat Ilm Al-Isnad oleh Sheikh Waliyullah Ad-Dihlawi (w: 1176 H)•Fihrisah As-Sindi As-Shaghir oleh Imam Abu Al-Hasan As-Sindi As-Shaghir (w: 1187 H)
Kurun ke-13 Hijrah:

•Qathf As-Samar fi Raf'ie Asanid Al-Musannafat fi Al-funun wa Al-Athar oleh Imam Al-Fullani (1218 H)•Fihris Ibn Ajibah oleh Imam Ibn Ajibah Al-Hasani (w: 1224 H)•Al-Jami’ Al-Hawi fi Marwiyaat Al-Syarqowy oleh Imam Abdullah As-Syarqowi ( w: 1227 H) Sadd Al-Arab min 'Ulum Al-Isnad wal Adab oleh Sheikh Muhammad Al-Amir Al-Kabir Al-Misri (1232 H) •Al-Durar Al-Saniyyah li ma 'Ala Min Al-Asanid As-Syanwaniyyah oleh Sheikh Muhammad bin Ali As-Syanwani (m: 1233 H)•Al-Nafas Al-Yamani oleh Sheikh Al-Habib Abdul Rahman bin Sulaiman Al-Ahdal (w:1250 H)•Syifa' As-Saqim bi Idhoh Al-Asnad oleh Al-Habib Abdullah bin Husein Bal Faqih (w: 1266 H)•Bazl Al-Nahlah oleh Al-Habib Abdullah bin Husein Bal Faqih •Al-Manhal Al-Rawi Ar-Ra'if fi Asanid Al-'Ulum wa Usul At-Thoro'if oleh Imam Muhammad Ali As-Sanusi (w: 1276 H)
Kurun ke-14 Hijrah:

•Ma’dan Al-La’ie fi Al-Asanid Al-‘Awali oleh Sheikh Abu Al-Mahasin Al-Qauquji (w: 1305 H)•Minhah Al-Fattah Al-Fathir fi Asanid As-Saadah Al-Akabir oleh Al-Habib 'Aidarus bin Umar Al-Habsyi (w: 1314 H)•'Uqud Al-Aal fi Asanid Ar-Rijal oleh Al-Habib Al-Musnid 'Aidarus bin Umar Al-Habsyi •'Aqd Al-Yawaqit Al-Jauhariyyah wa Samth Al-'Ain Az-Zahabiyyah oleh Al-Habib 'Aidarus bin Umar Al-Habsyi juga. •Husn Al-Wafa’ oleh Sheikh Abu Al-Yusr Falih Az-Zahiri (w: 1328 H)•Fath Al-Qawiy (thabat Al-Habib Abi Bakr bin Ahmad Al-Habsyi (w: 1330 H) •Thabat Al-Habib Uthman bin Abdillah bin Aqil bin Yahya (w: 1333H)•Tuhfah Al-Abrar fi Ta’rif bi As-Syuyukh wa As-Sadaat Al-Akhyar oleh Imam Abu Al-Abbas Ahmad bin Abdil Salam As-Safshafi (w: 1344 H)•Thabat Al-'Allamah Al-Habib Abdullah bin Hadi Al-Haddar •Thabat Al-Habib As-Sirri oleh Al-Habib Al-Musnid Muhammad bin Salim As-Sirri (w: 1346 H)•Hadi Al-Murid fi Thuruq Al-Asanid oleh Sheikh Yusuf An-Nabhani (w: 1350 H)•Tuhfah Al-Mustafid fi man 'akhoza 'anhum Muhammad bin Hasan 'Aidid oleh Al-Habib Muhammad bin Hasan 'Aidid (w: 1361 H) •Al-Is’ad bi Al-Isnad oleh Sheikh Muhammad Abdul Baqi Al-Anshari (w: 1364 H)•Al-Tahrir Al-Wajiz fima yabtaghihi Al-Mustajiz oleh Al-Muhaqqiq Sheikh Muhammad Zahid Al-Kauthari (w: 1371 H)•Mu’jam As-Syuyukh oleh Sheikh Abdul Hafiz Al-Fasi (w: 1383 H)•Minhah Al-Ilah fi Al-Ittisol bi ba'dhi Auliya' oleh Al-Habib Salim bin Hafiz Aal Sheikh Abi Bakr bin Salim (w: 1378 H)•Khulasoh Al-Syafiyah fi Al-Asanid Al-'Aliyyah oleh Al-Habib 'Alawi bin Thohir Al-Haddad (w:1382 H), bekas Mufti Negeri Johor•Mu'jam Al-Khulasoh Al-Kafiyyah oleh Al-Habib Salim bin Ahmad bin Jindan (w: 1389 H)•Ittihaf Al-Akabir bi Isnad Ad-Dafatir oleh Imam As-Syaukani•Kifayah Al-Mustafid oleh Sheikh Muhammad Mahfuz At-Tarmasi (w: 1338 H)•Fihris Al-Faharis oleh Sheikh Muhammad Abdul Hayy Al-Kattani (w: 1382 H) •Minah Al-Minnah fi Silsilah Ba'dhi Kutubi As-Sunnah oleh Sheikh Muhammad Abdul Hayy Al-Kattani•Al-Irsyad bi Zikr Ba’dhi ma li min Al-Ijazah wa Al-Isnad oleh Sheikhu Sheikhna Hasan Al-Masyath (w: 1399 H)
Kurun ke-15 Hijrah

•Maslakul Jali (thabat Sheikh Muhammad Ali Al-Maliki oleh Sheikh Yasiin Al-Fadani)•Al-Asanid Al-Makkiyah li Kutub Al-Hadith wa Siyar wa As-Syama'il Al-Muhammadiyah oleh Sheikh Yasiin Al-Fadani (w: 1410 H)•Ittihaf Al-Mustafid bi Gharrar Al-Asanid oleh Sheikh Muhammad Yasiin Al-Fadani (w: 1410 H)•Al-Faidh Al-Rahmani bi Ijazah Fadhilah As-Sheikh Muhammad Taqi Al-Uthmani oleh Sheikh Muhammad Yasiin Al-Fadani (w: 1410 H)•Ittihaf Al-Ikhwan (thabat Sheikh Umar Hamdan) oleh Sheikh Muhammad Yasiin Al-Fadani (w: 1410 H)•Al-Qaul Al-Jamil bi Ijazah Samahah As-Sayyid Ibrahim bin Umar Ba' Aqil oleh Sheikh Al-Fadani (w: 1410 H)•Al-'Ujalah oleh Sheikh Muhammad Yasiin Al-Fadani (w: 1410 H)•Imdad Al-Fattah bi Asanid wa Marwiyyat Abdul Fattah, sanad Sheikhu Sheikhna Al-Muhaqqiq Abdul Fattah Abu Ghuddah (w: 1417 H) yang disusun oleh Sheikh Muhammad bin Abdillah Aal Rasyid•At-Tholie As-Sa'id oleh Sheikh As-Sayyid Muhammad bin As-Sayyid Alawi Al-Maliki•Al-'Aqd Al-Farid oleh Sheikh As-Sayyid Muhammad bin As-Sayyid Alawi Al-Maliki (w: 1425 H)•Al-‘Uqud Al-Lu’lu’iyyah fi Al-Asanid Al-‘Alawiyyah, himpunan sanad-sanad Sheikh Sayyid Alawi Al-Maliki yang disusun oleh anakndanya Sheikh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki•Fathul Aziz fi Asanid As-Sayyid Abdul Aziz oleh Sheikh Mahmud Sa'id Mamduh•Mu’jam As-Syuyukh oleh Sheikhna Al-Ustaz Usamah Sayyid Al-Azhari•Subul As-Sa’adah Bi Asanid Sheikh Muhaqqiq Abdullah (Tuan Guru Abdullah Lubuk Tapah) oleh Sheikhna Al-Ustaz Muhammad Zaidi Abdullah•Al-Awa’il Az-Zamzamiyyah oleh Sheikhna Sayyidi Ahmad Fahmi Zamzam Al-Banjari An-Nadwi Al-Maliki•Al-Awa’il wa Al-Awakhir oleh Sheikh Nuruddin Al-Banjari Al-Makki
Dan sebagainya.

Maka, jelaslah bahwasanya, tradisi menyusun sanad-sanad keilmuan serta ijazah keilmuan secara umum atau secara khusus, ijazah riwayah atau keduanya (Dirayah dan Riwayah), Ijazah Tadris wa Nasyr (keizinan untuk mengajar dan sebagainya) atau sebagainya, adalah untuk menjaga tradisi amalan para ulama’ As-Salaf As-Sholeh terdahulu dan dalam masa yang sama menjelaskan latar belakang keilmuan mereka. Bahkan, tradisi tersebut adalah tradisi amalan para ulama’ muktabar yang tidak dapat dipertikaikan lagi kerana ianya terpelihara sejak zaman-berzaman.

Ukuran kelayakan keilmuan sebenarnya dalam neraca pembelajaran dan pengajaran ilmu-ilmu agama yang asal bukanlah pada ukuran akedemik modern seperti Sarjana atau Ijazah Kedoktoran yang merupakan acuan dan ukuran tradisi Barat, tetapi ukuran sebenar adalah pada sandaran keilmuan seseorang yang mengajar ilmu agama apakah berbentuk Sanad Ilmiy, Ijazah Tadris, Ijazah Ammah yang disertai Ijazah Tadris dan sebagainya yang menjadi asal rujukan.

Kesimpulan

Perbahasan mengenai ini perlu kepada ruang yang lebih luas. Namun, secara kesimpulannya, kita cuba menjelaskan kepada mereka yang kurang jelas, bahawa kedudukan konsep Sanad itu lebih luas daripada apa yang mereka sangka, iaitu sekadar mengambil berkat (Tabarruk) dan sebagai bahan sejarah semata-mata. Ia mencakupi ukuran kelayakan seseorang untuk berbicara dalam urusan agama di khayalak umum (At-Tasaddur li At-Tadris) dan menjelaskan kedudukan latar belakang keilmuan seseorang dalam bidang ilmu agama. Ia bukan sekadar berkaitan dengan periwayatan hadith, malah merangkumi seluruh tradisi pembelajaran ilmu-ilmu agama dari sudut Dirayah mahupun Riwayah sekaligus.

Ketika ilmu-ilmu agama bukan lagi dikembangkan secara tradisi asal oleh kebanyakan tempat, lalu mereka yang membawanya bukan lagi dinilai dengan ukuran tradisi dan manhaj As-Salaf, maka jadilah konsep Talaqqi bi As-Sanad ini sebagai tradisi yang kurang mendapat perhatian melainkan di sisi mereka yang masih memelihara kemurniannya, yang menyambung hubungan keilmuan mereka kepada para ulama’ generasi terdahulu.

Konsep Talaqqi bersanad ini bukan suatu konsep yang ganjil melainkan di sisi mereka yang ganjil dari tradisi asal para ulama’ yang agung. Konsep sanad keilmuan ini bukan sekadar catatan sejarah, tetapi ia  merangkum sudut ukuran “keahlian” dari sudut keilmuan dalam bidang agama lagi, yang justeru lebih agung daripada ukuran kesarjanaan modern yang dibentuk oleh barat. Di sinilah kita dapat fahami keagungan para ulama’ pondok khususnya, yang mempunyai sanad keilmuan khususnya bersambung kepada para ulama’ muktabadi banding dengan mereka yang lahir dari sistem pengajian modern yang tidak berteraskan kaedah talaqqi bersanad sama sekali, . Begitu juga di peringkat antarabangsa.

Para ulama’ yang masih mempertahankan dan mengembangkan tradisi ini masih ada dan masih mempunyai majlis ilmu yang meluas di seluruh dunia. Mereka ini biarpun terlindung oleh sistem pembelajaran versi modern, namun para penuntut ilmu yang menyadari nilai sebenarnya yang mereka wariskan terus berguru dengan para ulama’ ini. Ini karena, manhaj As-Salaf yang sebenar dikembangkan melalui tradisi talaqqi bersanad ini, bukan hanya pada slogan dan dakwaan sebagaimana dilakukan oleh sebagian pihak, namun terpinggir dari tradisi asal ini. Ilmu-ilmu agama ini adalah ilmu warisan Nabawi yang mempunyai manhajnya yang asli dan tersendiri. Sistem inilah sebenarnya yang terus menjaga ilmu-ilmu agama dari sudut Riwayah dan Dirayahhingga hari ini. Untunglah bagi para penuntut ilmu yang mengambil ilmu-ilmu agama daripada tradisi pembelajaran yg sebenarnya ini, dan rugilah mereka yang terpisah daripada tradisi ini sehingga bila ditanyakan kepada mereka tentang sanad keilmuan, maka mereka akan terpinga-pinga tanpa mengetahuinya.

Wallahu a’lam…

Disusun dengan bantuan Allah oleh:
Khadim Al-Ulama’ wa Thullab Al-Ilm, Al-Faqir Al-Haqir ila RabbiHi Al-Jalil,
Raja Ahmad Mukhlis bin Raja Jamaludin Al-Azhari

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jenazah Tidak Wajib dimandikan Jika Bisa Mandi Sendiri

Hukum Menggunakan Jalan Umum untuk Hajatan Pernikahan

Pelaku Bom Bunuh Diri Bukan Mati Syahid