Perbedaan Dan Persatuan??





Sesungguhnya perbedaan dalam pendapat adalah hal yang menjadi karakter kahidupan,jika tidak ada perbedaan maka itu menyelisihi karakter dan fitrah manusia,dan tetapi janganlah perbedaan menjadi sebab perpecahan dan kesemrawutan dalam ummat, Dan yang menjadikan salaf tetap bersatu dan terjaga adalah karena perbedaan pada mereka di barengi pengetahuan bahwa tidak boleh mengingkari hal hal yang menjadi ijtihad dan tidak mengingkari hal yang menjadi perbedaan pendapat di antara para ulama 

Maka setiap pendapat ulama mesti di hargai dan setiap pendapat hasil ijtihad itu layak di perhitungkan selagi keadaan mujtahidnya tsiqoh dalam agama,amanat dan ilmu juga ketaqwaanya.

Saat ini kita hidup pada zaman penuh fitnah, di antaranya fitnah iftiraqul ummah (perpecahan umat). Di antara banyak penyebab perpecahan itu adalah perselisihan mereka dalam hal pemahahaman keagamaan. Hanya yang mendapat rahmat dari Allah Ta’alasemata, yang tidak menjadikan khilafiyah furu’iyah (perbedaan cabang) sebagai ajang perpecahan di antara mereka. Namun, yang seperti itu tidak banyak. Kebanyakan umat ini, termasuk didukung oleh sebagian ahli ilmu yang tergelincir dalam bersikap, mereka larut dalam keributan perselisihan fiqih yang berkepanjangan. Mereka tanpa sadar ‘dipermainkan’ oleh emosi dan hawa nafsu. Untuk itulah tulisan ini kami susun. Mudah-mudahan kita bisa meneladani para Imam kaum muslimin, mengetahui kedewasaan mereka, dan sikap bijak dan arif mereka dalam menyikapi perselisihan di antara mereka.

Perlu ditegaskan, yang dimaksud khilafiyah di sini adalah perselisihan fiqih yang termasuk kategori ikhtilaf tanawwu’ (perbedaan variatif), bukan perselisihan aqidah yang termasuk ikhtilaf tadhadh (perselisihan kontradiktif). Untuk perkara aqidah, hanya satu yang kita yakini sebagai ahlul haq dan firqah an najiyah yakni Ahlus Sunnah wal Jamaah. Tidak yang lainnya.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

“Dan seandainya Tuhanmu kehendaki, niscaya Dia jadikan manusia itu umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali yang dirahmati Tuhanmu, dan untuk itulah Dia menciptakan mereka” (QS. Hud: 118-119)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat ini, “Allah mengkabarkan bahwa Dia mampu menjadikan manusia seluruhnya satu umat, baik dalam keimanan atau kekufuran, sebagaimana firmanNya yang lain‘Seandainya Tuhanmu kehendaki, niscaya berimanlah semua manusia di bumi’. Lalu firmanNya ‘tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali yang dirahmati Tuhanmu’ artinya perbedaan akan senantiasa terjadi antara manusia, baik tentang agama, keyakinan, millah, madzhab, dan pendapat-pendapat mereka. Berkata Ikrimah,’Mereka berbeda dalam petunjuk’. Berkata Hasan al Bashri, ‘Mereka berbeda dalam hal jatah rezeki, saling memberikan upah satu sama lain’. Yang masyhur dan benar adalah pendapat pertama (pendapat Ikrimah). Dan firman selanjutnya ‘kecuali yang dirahmati Tuhanmu’ artinya kecuali orang-orang yang dirahmati yang mengikuti rasul-rasul dan berpegang teguh kepada perintah-perintah agama, dan seperti itulah kebiasaan mereka hingga masa penutup para nabi dan rasul, mereka mengikutinya, membenarkannya, dan menjadi pembelanya. Maka beruntunglah dengan kebahagiaan dunia dan akhirat karena mereka adalah Firqah an Najiyah (kelompok yang selamat) sebagaimana yang diisyaratkan dalam sebuah hadits musnad dan sunan dari banyak jalur yang saling menguatkan satu sama lain, ‘Sesungguhnya Yahudi berpecah menjadi 71 golongan, dan Nasrani menjadi 72 golongan, dan umat ini akan berpecah menjadi 73 golongan, semua keneraka kecuali satu golongan’, mereka bertanya ‘Siapa mereka ya Rasulullah?’, rasulullah menjawab, ‘Apa-apa yang aku dan sahabatku ada di atasnya’. Diriwayatkan Al Hakim dalam Mustadraknya dengan tambahan ini.” ( Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Juz 4, hal. 361-362. Cet. 2, 1999M/1240H. Dar At Thayyibah lin Nasyr wat Tauzi’. Al Maktabah Asy Syamilah)
 
Ayat di atas telah dijelaskan oleh para Imam kita bahwa perbedaan di antara manusia adalah hal yang niscaya, bahkan Imam Hasan al Bashri mengatakan untuk itulah mereka diciptakan. Hanya ahlul haq yakni Ahlus Sunnah wal jamaah yang tetap bersatu, perbedaan di antara mereka tidaklah membuat mereka berpecah hati dan bercerai berai barisan. Sedangkan yang mengaku-ngaku Ahlus Sunnah, namun senantiasa memusuhi saudaranya yang berbeda pemahaman fiqihnya, padahal itu hanyalah khilaf ijtihadiyah belaka, pada hakikatnya bukanlah Ahlus Sunnah.

Bercermin Kepada Para Imam Ahlus Sunnah

لقد كان الخلاف موجودًا في عصر الأئمة المتبوعين الكبار : أبي حنيفة ومالك والشافعي وأحمد والثوري والأوزاعي وغيرهم . ولم يحاول أحد منهم أن يحمل الآخرين على رأيه أو يتهمهم في علمهم أو دينهم من أجل مخالفتهم .

“Telah ada perselisihan sejak lama pada masa para imam besar panutan: Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Ats Tsauri, Al Auza’i, dan lainnya. Tak satu pun mereka memaksa yang lain untuk mengubah agar mengikuti pendapatnya, atau melemparkan tuduhan terhadap keilmuan mereka, atau terhadap agama mereka, lantaran perselisihan itu.” (Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Adab al Hiwar wal Qawaid al Ikhtilaf, hal. 32. Mauqi’ Al Islam. Al Maktabah Asy Syamilah)

Kita akan dapati, ternyata para Imam Ahlus Sunnah sangat bijak dalam menyikapi khilafiyah ijtihadiyah, khususnya dalam keragaman amal syariat. Kenyataan ini sangat berbeda dengan sebagian manusia yang sangat ingin mengikuti mereka, tetapi tidak mampu meneladani akhlak mereka. Mencela dan mensesat-sesatkan sesama muslim menjadi pekerjaan tetap mereka, cuma karena perbedaan furu’. Lucunya lagi adalah mereka bukan ulama, hanyalah thalibul ilmi (penuntut ilmu) yang baru duduk di satu majelis –tanpa mau bermajelis dengan yang lain- tetapi sayangnya berperilaku seakan ulama besar dan ahli fatwa. Sungguh, mereka baru di tepian pantai, tapi sayangnya berperilaku bagai penjelajah lautan. Mereka baru dipermukaan, tapi sayangnya bertingkah bagai penyelam ulung. Nasihat bagi mereka selalu ditolak, kecuali hanya dari kelompoknya saja. Sungguh, sebenarnya mereka sangat layak dikasihani ...

1. Al qosim bin muhammad pernah di tanya tentang bermakmum pada Imam yang tidak mengeraskan suara bacaan [fatihah]nya:

إن قرأت فلك في رجال من أصحاب محمد رسول الله صلى الله عليه وسلم أسوة، وإذا لم تقرأ فلك في رجال من أصحاب رسول الله أسوة

; Kalau engkau membaca[fatihah],maka engkau termasuk di antara lelaki dari sahabat Muhammad Rasululullah SAW,kalau engkau tidak membacanya,maka engkau pun termasuk lelaki dari sahabat muhammad SAW.[aT TAMHID 11/54]

para fuqoha menilai apa yang di katakan oleh qosim bin muhammad termasuk pada qaidah fiqh:

: الاجتهاد لا ينقض بالاجتهاد.

Hasil ijtihad Ijtihad yang pertama tidak bisa dibatalkan hukumnya dengan ijtihad yang lainnya [al asybah wan nadhoir karya ibnu najim 105] 



2. Dari sahabat Annas RA,beliau berkata:

: (إنا معشر أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم كنا نسافر، فمناالصائم ومنا المفطر، ومنا المتم ومنا المقصر، فلم يعب الصائم على المفطر،ولا المفطر على الصائم، ولا المقصر على المتم، ولا المتم على المقصر 

:Kami para shahabat Rasul SAW dalam keadaan Safar[di perjalanan] di antara kami ada yang terus berpuasa dan ada juga yang berbuka,di antara kami juga ada yang menyempurnakan shalat dan ada juga yang mengqosar shalatnya,maka yang berpuasa tidak mencela yang berbuka,dan tidak juga sebaliknya,dan yang menyempurnakan shalatnya tidak mencela yang mengqosar juga sebaliknya [Sunan al baihaqi 5225] 

3. Berkata Imam SHofyan
 
: إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي اختلف فيه وأنت ترى غيره فلاتنهه

“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.” (Imam Abu Nu’aim al Asbahany, Hilyatul Auliya’, Juz. 3, hal. 133. Al Maktabah Asy Syamilah) [ALFAQIH WAL MUTAFAQIH KARYA AL KHTIB ALBAGDADI 2/69] 

Dan diriwayatkan juga dari Imam Shufyan oleh alkhotib,sesungguhna beliau berkata: 

: ما اختلف فيه الفقهاء فلا أنهى أحداً عنهمن إخواني أن يأخذ به

Apa yang para ahli fiqih berselisih pada satu hal,maka saya tidak melarang saudara saya untuk mengambil pendapatnya [ALFAQIH WAL MUTAFAQIH KARYA AL KHTIB ALBAGDADI 2/69] 

4. dIriwayatkan oleh Ibnu muflih tentang perkataan Imam ahmad,beliau berkata:

: لا ينبغي للفقيه أن يحمل الناس علىمذهب ولا يشدد عليهم. 

tidak seharusnya seorang ahli fiqih membebani manusia untuk mengikuti madzhabnya dan tidak boleh bersikap keras kepada mereka.
Ibnu muflih berkata: 

: لا إنكار على من اجتهد فيما يسوغ منه خلاف في الفروع 

Tidak boleh mengingkari orang yang berijtihad dalam hal yang kemungkinan muncul perbedaan dalam furu[Al adab assyar iyah 1/186].

5. Berkata Imam Nawawi:

 : "ليس للمفتي ولا للقاضي أن يعترض على من خالفه إذا لم يخالف نصاً أو إجماعاً أو قياساً جلياً"

Tidak boleh bagi muftiy, dan tidak juga bagi qodhi menentang pendapat yang menyelisihnya jika tidak menyelisihi nash atau ijma’ atau qiyas jaliyyah [sYARAH SOHEH MUSLIM 2/24] 

Imam nawawi juga berkata dalam kitab Ar raudhoh: 

" ثم إن العلماء إنما ينكرون ما أجمع على إنكاره، أما المختلف فيه فلا إنكار فيه، لأن كل مجتهد مصيب، أو المصيب واحد ولا نعلمه، ولم يزل الخلاف بين الصحابة والتابعين في الفروع ولا ينكر أحد على غيره، وإنما ينكرون ما خالف نصاً أو إجماعاً أو قياساً جلياً 


; Kemudian para ulama sungguh mereka mengingkari dalam hal hal yang di ijmakan atas munkarnya,adapun hal khilafiyah [yang di perselisihkan] maka mereka tidak mengingkari dalam masalah ini,karena setiap mujtahid itu tepat atau yang tepat itu satu dan kami tidak mengetahui siapanya,dan tidak henti hentinaya perbedaan antara para sahabat dan tabiin dalam hal furu dan sebagian mereka tidak mengingkari yang lainnya,mereka hanya mengingkari sesuatu yang jelas jelas menyelisihi nas atau ijma atau menyelisihi qiyas yang jali [terang] 
6. iMAM GHAZAlI MENYEBUTKAN Rukun hisbah [menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran] dalam fasal amar makruf nahi munkar dalam kitab Ihyanya: 

(أن يكون المنكر المحتسب فيه منكرا معلوما بغير اجتهاد فكل ما هو محل الاجتهاد فلا حسبة فيه. 
ولا للشافعي أن ينكر على الحنفي نكاحه بغير ولي وشربه النبيذ الذي ليس بمسكر ونحو ذلك 

Di antaranya keadaan kemungkaran yang di anggap munkar itu sudah ma'lum [di ketahui] dengan bukan ijtihad,adapun setiap masalah yang menjadi ladang ijtihad,maka tidak ada hisbah di dalamnya,..maka tidak boleh bagi madhab syafii mengingkari pandangan madhab hanafi yang membolehkan nikah tanpa wali dan minum nabidz yang tidak memabokkan dan yang semisalnya [Ihya 2/324]
7. Berkata Ibnu taemiyah: 

: "مسائل الاجتهاد من عمل فيها بقول بعض العلماء لم ينكرعليه ولم يهجر، ومن عمل بأحد القولين لم ينكر عليه

;Masalh masalh ijtihadiyah dari pengamalan dengan pendapat sebagian ulama,maka tidak boleh mengingkarinya dan tidak boleh mengasingkannya ,dan siapapun mengamalkan salah satu dari dua pendapat,maka ridak boleh mengingkarinya
[Mjmu alfatawa 20/207]

Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah 
Dia adalah imam yang sangat keras terhadap bid’ah, khurafat, dan syirik. Namun, ia sangat bijak terhadap perselisihan fiqih. Beliau juga berkata:

وَكَذَلِكَ الْقُنُوتُ فِي الْفَجْرِ إنَّمَا النِّزَاعُ بَيْنَهُمْ فِي اسْتِحْبَابِهِ أَوْ كَرَاهِيَتِهِ وَسُجُودِ السَّهْوِ لِتَرْكِهِ أَوْ فِعْلِهِ وَإِلَّا فَعَامَّتُهُمْ مُتَّفِقُونَ عَلَى صِحَّةِ صَلَاةِ مَنْ تَرَكَ الْقُنُوتَ وَأَنَّهُ لَيْسَ بِوَاجِبِ وَكَذَلِكَ مَنْ فَعَلَهُ

“Demikian juga qunut subuh, sesungguhnya perselisihan di antara mereka hanyalah pada istihbab-nya (disukai) atau makruh (dibenci). Begitu pula sujud sahwi karena meninggalkannya atau melakukannya, jika pun tidak, maka kebanyakan mereka sepakat atas sahnya shalat yang meninggalkan qunut, karena itu bukanlah wajib. Demikian juga orang yang melakukannya (qunut, maka tetap sah shalatnya –pen).” (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ al Fatawa, Juz. 5, hal. 185. Mauqi’ al Islam. Al Maktabah Asy Syamilah)

Inilah bijaknya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, walau di akhir pembahasannya ia menguatkan pendapat TIDAK BERQUNUT, tetapi dia tidak mencap sesat atau marah-marah dengan yang melakukannya. Bahkan, beliau tidak mengatakannya bid’ah sebagaimana yang biasa dikira sebagian orang terhadapnya. Memang, kalangan hanafiyah membid’ahkannya. 
8. Berkata Ibnu Rojab: 

والمنكر الذي يجب إنكاره ما كان مجمعا عليه فأماالمختلف فيه فمن أصحابنا من قال: لا يجب إنكاره على من فعله مجتهدا فيه أومقلدا لمجتهد تقليدا سائغا واستثني القاضي في الإحكام السلطانية ما ضعف فيه الخلاف وكان ذريعة إلى محظور متفق عليه قال: كنكاح المتعة فإنه ذريعة إلى الزنى


:Hal munkar yang wajib di ingkari adalah kemungkaran yang di ijmakan atas munkarnya,adapun masalah yang masih di perselisihkan,maka sebagian sahabat kami berkata;tidak wajib inkar terhadap apa yang di amalkan oleh mujtahid di dalamnya,atau yang di amalkan oleh muqolid [yang taqlid] pada mujtahid secara umum,dan di kecualikan bagi qodi [hakim] dalam masalah hukum kepemerintahan yang dalilnya lemah dan di perselisihkan sedangkan masalah itu menjadi perantara pada hal yang haram dengan kesepakatan ulama,ia berkata seperti Nikah mutah itu adalah perantara pada zina.[Kitab jami al ulum wal hikam 2/252-255] 

9. Berkata Ibnu qudamah al maqdisi dalam muhtashor minhaj al qosidiin 113: 

ويشترط في إنكار المنكر أن يكون معلوماً كونه منكراً بغير اجتهاد
، فكل ما هو في محل الاجتهاد، فلا حسبة فيه". 

;Dan di saratkan dalam mengingkari hal munkar adalah keadaan munkar tersebut sudah di kenal bahwa itu munkar dengan bukan masalah ijtihad,maka setiap masalah dalam wadah ijtihad,maka tidak ada hisbah{nahi munkar]
 
10. Imam Malik ketika berkata kepada Abu Ja’far, tatkala Ia ingin memaksa semua orang berpegang pada Al Muwatha’ (himpunan hadits karya Imam Malik): “Ingatlah bahwa para sahabat Rasulullah telah berpencar-pencar di beberapa wilayah. Setiap kaum memiliki ahli ilmu. Maka apabila kamu memaksa mereka dengan satu pendapat, yang akan terjadi adalah fitnah sebagai akibatnya.” .(Al Imam Asy Syahid Hasan al Banna, Majmu’ah ar Rasail, Mu’tamar Khamis, hal. 187. Al Maktabah At Taufiqiyah) 

Dan di ceritakan ada seorang ulama mengarang kitab dalam masalah khilafiyah,maka Imam Ahmad berkata:janganlah menamai nya dengan kitab al ikhtilaf tetapi namailah dengan kitab as sunnah. oleh sebab itu ulama berkata: 

: إجماعهم حجة قاطعة، واختلافهم رحمة واسعة. 

Ijmanya mereka adalah hujah yang qot'i dan perbedaannya mereka adalah rohmat yang luas.

11. Umar bin Abdul Aziz memiliki pandangan brilian tentang hal ini.

عمر بن عبد العزيز يقول عن اختلاف الصحابة رضي الله عنهم : "ما يسرني أن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يختلفوا ، لأنهم لو لم يختلفوا لم يكن لنا رخصة" .

Umar bin Abdul Aziz berkata tentang perbedaan pendapat yang dialami para sahabat, “Tidaklah membahagiakanku kalau para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak berbeda pendapat, karena jika mereka tidak berbeda, maka bagi kita tidak ada rukhshah (keringanan/kemudahan).” (Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Ibid, ,hal. 38. Mauqi’ Al Islam. Al Maktabah Asy Syamilah) 

12. Imam Jalaluddin As Suyuthi Rahimahullah

Ketika membahas kaidah-kaidah syariat, Imam As Suyuthi berkata dalam kitab Al Asybah wa An Nazhair:

الْقَاعِدَةُ الْخَامِسَةُ وَالثَّلَاثُونَ " لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ ، وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ

Kaidah yang ke-35, “Tidak boleh ada pengingkaran terhadap masalah yang masih diperselisihkan. Seseungguhnya pengingkaran hanya berlaku pada pendapat yang bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) para ulama.” (Imam As Suyuthi, Al Asybah wa An Nazhair, Juz 1, hal. 285. Al Maktabah Asy Syamilah)
 
Kesimpulan

Berkata Dr. Umar bin Abdullah Kamil:

فالاجتهاد إذا كان وفقًا لأصول الاجتهاد ومناهج الاستنباط في علم أصول الفقه يجب عدم الإنكار عليه ، ولا ينكر مجتهد على مجتهد آخر ، ولا ينكر مقلد على مقلد آخر وإلا أدى ذلك إلى فتنة .

“Ijtihad itu, jika dilakukan sesuai dengan dasar-dasar ijtihad dan manhaj istimbat (konsep penarikan kesimpulan hukum) dalam kajian ushul fiqh (dasar-dasar fiqih), maka wajib menghilangkan sikap pengingkaran atas hal ini. Tidak boleh seorang mujtahid mengingkari mujtahid lainnya, dan tidak boleh seorang muqallid (pengekor) mengingkari muqallid lainnya, jika tidak demikian maka akan terjadi fitnah.” (Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Adab al Hiwar wal Qawaid al Ikhtilaf, hal. 43. Mauqi’ al Islam. Al Maktabah Asy Syamilah)

Ya, fitnah dan kekacauan sudah terjadi. Lantaran sikap tidak sopan para muqallidin terhadap adab khilafiyah, dengan cara menyerang pihak lain yang berbeda anutan hasil ijtihad. Padahal mereka hanya pengekor, bukan peneliti.

Tanya Jawab:
Pertanyaan: ada pernyataan yg belum jelas di ane sampai saat ini:

"bahwa setiap perbedaan pandangan imam dalam suatu hal harus dilihat atau diteliti kembali dan dicari mana yang paling shohih. dan yang paling shohih itulah yang diikuti. dengan dalih bahwa setiap ijtihaj bisa benar dan bisa salah, dan sbg muqollid tidak boleh mengikuti ijtihaj yang salah. jika muqollid mengikuti ijtihad yang salah tsb maka akan terkena dosa (jika sudah dijelaskan pendapat yang shohih). lain halnya dengan para mujtahid tsb yg mereka tetap mendapat pahala dlm ijtihad mereka"

jika hal ini benar maka tidak akan ada toleransi ikhtilaf walau dalam hal2 cabang karena setiap perbedaan pendapat mesti dicari mana yang plg shohih dan yg shohih itulah yg diikuti sedangkan yang lain tidak boleh diikuti.
 .
dan mohon disertakan dalil dari Al Qur'an dan Assunnah atau pendapat ulama yang menyatakan bahwa muqallid bebas memilih pendapat yang ada dan dia tidak akan di adzab jika pendapat yang dipilihnya itu salah. karena menurut ane itulah dasar dr pernyataan di atas...
 
Jawaban: ada dua hal yang mesti diperhatikan:

1. Kemestian mencari dalil yang shahih. Inilah adalah tuntutan jika terjadi perselisihan di antara ulama. Namun, siapakah yang mampu meneliti ? apakah orang awam? apakah semua orang diserahkan begitu saja untuk melakukan penelitian padahal mereka adalah bukan ahli ijtihad? oleh karena itu para ulama mengatakan bahwa orang awam tidaklah memiliki madzhab, madzhabnya orang awam adalah fatwa dari mufti yang memberikan jawaban terhadapnya. Fas'aluu ahladz dzikri inkuntum laa ta'lamun (bertanyalah kepada ahludz dzikri jika kalian tidak mengetahui). Lucunya, sama-sama awam dan sama-sama belum mampu berijtihad justru lebih keras 'pertempurannya' dibanding para ulama sendiri yang sebenarnya paling tahu sebab-sebab perselisihannya. Maka, untuk mengetahui mana yang lebih shahih, bukanlah pekerjaan mudah, namun mesti mengembalikan kepada ahlinya. Apakah selesai sampai di sini? tidak! pasti akan terjadi lagi perbedaan itu ..., walau demikian kita tetap harus memiliki sikap dan pilihan pendapat yang paling shahih di antara yang ada. Itu pun sesuai penilaian dan penelitian kita tentang mana yang lebih sohih ,dan mungkin saja beda dengan penilaian dan penelitian orang lain dan akhirnya tetap beda penndapat juga...

2. Setelah kita mengikuti pendapat yang shahih, maka ada hal lain yang mesti diperhatikan, yakni akhlak, etika, dan tata krama dengan orang yang berbeda, juga bersikeras dengan pendapatnya karena dia mengikuti ulama lain yang menurutnya adalah shahih. Inilah penekanannya. Kita tidak mengingkari mereka, tidak menuduhnya dengan tuduhan telah memainkan agama, tidak pula menudingnya pengikut hawa nafsu, dan lainnya, hanya karena dia berbeda pilihan pendapat dengan kita, karena menurut mereka pendapat kita adalah lemah.

Berkata Dr. Umar bin Abdullah Kamil:

فالاجتهاد إذا كان وفقًا لأصول الاجتهاد ومناهج الاستنباط في علم أصول الفقه يجب عدم الإنكار عليه ، ولا ينكر مجتهد على مجتهد آخر ، ولا ينكر مقلد على مقلد آخر وإلا أدى ذلك إلى فتنة .

“Ijtihad itu, jika dilakukan sesuai dengan dasar-dasar ijtihad dan manhaj istimbat (konsep penarikan kesimpulan hukum) dalam kajian ushul fiqh (dasar-dasar fiqih), maka wajib menghilangkan sikap pengingkaran atas hal ini. Tidak boleh seorang mujtahid mengingkari mujtahid lainnya, dan tidak boleh seorang muqallid (pengekor) mengingkari muqallid lainnya, jika tidak demikian maka akan terjadi fitnah.” (Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Adab al Hiwar wal Qawaid al Ikhtilaf, hal. 43. Mauqi’ al Islam)
Juga qaidah fiqh:

: الاجتهاد لا ينقض بالاجتهاد.

Hasil ijtihad Ijtihad yang pertama tidak bisa dibatalkan hukumnya dengan ijtihad yang lainnya [al asybah wan nadhoir karya ibnu najim 105]
 
Pada masa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, para sahabat pun berselisih di depan Rasulullah, karena berbeda tafsir terhadap perintah beliau. Contoh kasus tentang: "Jangan shalat ashar sebelum sampai di daerah bani Quraidhah." Ketika masuk waktu ashar namun belum sampai di Bani Quraidhah, para sahabat berselisih: ada yang shalat ashar karena waktu sudah masuk, sebagian lain tidak shalat ashar dulu karena belum sampai di Bani Quraidhah sesuai perintah nabi. Kedua kelompok ini diceritakan kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, dan beliau tidak mengingkari keduanya. sebab, dari sudut pandang masing-masing pihak, maka keduana benar. oleh karena itu, sebagian ulama mengatakan bisa jadi semua ijtihad adalah benar, dan ini adalah ungkapan yang masyhur

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jenazah Tidak Wajib dimandikan Jika Bisa Mandi Sendiri

Hukum Menggunakan Jalan Umum untuk Hajatan Pernikahan

Pelaku Bom Bunuh Diri Bukan Mati Syahid