Penolakan atas Kaedah- kaidah sifat versi salaf Ibnu Taemiyah





Dalam bagian ini insya Allah, penulis yang lemah ini, dengan penuh rasa kelemahan diri, jesteru menyeru kepada semua pihak agar bersikap terbuka dalam menerima kebenaran yang dilihatnya, dari siapapun, apakah dari pihak kawan maupun lawan. Sesungguhnya, sifat keterbukaan itulah yang bakal memberi manfaat yang besar bagi seseorang yang mencintai kebenaran itu sendiri. Adapun budaya ta’asub, budaya tidak mau mengakui kesalahan merupakan faktor yang menyebabkan orang-orang Jahiliyyah ketika dahulu terus dengan kejahiliyyahan mereka, takkala mereka berkata: “Kami tidak akan merubah kepercayaan yang kami terima dari bapa-bapa kami terdahulu”.

Seseungguhnya, dalam membongkar sedikit kesamaran dan menjelaskan sedikit kekeliruan golongan sebagian pihak, bukan berarti penulis yang serba hina ini  merendahkan atau menghina golongan lain, tetapi sekedar mengikut manhaj qur’ani yang menyeru kepada: “saling memberi wasiat dan nasihat kepada kebenaran...”. Hakikatnya memang tidak dapat dinafikan lagi, bahwasanya,  yang diperjelaskan di sini untuk kebaikan bersama, insya Allah.

Sebenarnya sebagian besar golongan mutasallif yang tidak menguasai Bahasa Arab dengan baik, pasti terjebak dengan kekeliruan ini, khususnya dalam berinteraksi dengan ayat-ayat mutasyabihat. karena, mereka telah terpengaruh dengan golongan yang terdahullu dalam masalah aqidah ini, yang mana golongan tersebut juga telah melalui jalan yang salah dalam memahami nas-nas mutasyabihat tersebut. Jadi, sedikit banyak di sini, kami mencuba membongkar kembali, pintu yang dibuka oleh Sheikh Ibn Taimiyah, yang menjerumuskan para pengikutnya (yang lebih dikenali dengan Salafi Wahhabi), ke lembah faham tajsim dan tasybih.

Sesungguhnya, kebenaran itu milik Allah s.w.t., daripadaNya dan hanya Dialah yang layak memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya, dan semoga Allah s.w.t. memberi petujuk kepada seluruh umat Islam, amin...

Konsep Tanzih (Menyucikan Allah s.w.t.) Dalam Aqidah Islam

Sesungguhnya, di samping keimanan kita terhadap wujudnya Allah s.w.t., kita juga wajib beriman bahwa Allah s.w.t. itu Maha Sempurna, dan tidak layak bagiNya bersifat dengan sifat-sifat kekurangan.

Adapun tanzih (menyucikan) ialah: menafikan sifat-sifat kekurangan daripada menisbahkannya kepada Allah s.w.t., dalam keimanan kita terhadap Allah s.w.t.. Kita meyakini secara jelas bahwasanya Allah s.w.t. bersifat dengan Sifat-sifat yang Maha Sempurna dan Maha Suci Allah s.w.t. dari sifat-sifat kelemahan.

Adapun di antara sifat-sifat kelemahan adalah seperti, sifat-sifat yang ada pada makhluk, yang baru, seperti bergerak, bertempat, mempunyai ukuran, mempunyai had dan keterbatasan dan sebagainya (yaitu tasybih).

Adapun aliran-aliran yang mencemarkan konsep tanzih dalam Islam adalah seperti aliran-aliran golongan Mu’tazilah dan golongan Muyabbihah danMujassimah.

Adapun golongan mu’tazilah, menafikan secara mutlak segala sifat-sifat Allah s.w.t.. Dalam arti kata menurut mereka, Allah s.w.t. itu tidak bersifat dengan sifat-sifat apapun. Ini merupakan satu konsep ta’thil (menafikan) sifat-sifat yang layak bagi Allah s.w.t. secara mutlak. Bahkan, hal ini tertolak dari sudut akal yang bersih karena, mustahil satu zat yang wujud, tidak mempunyai sifat apapun, dan sekurang-kurangnya sifat hidup pasti ada pada zat yang hidup tersebut. Golongan ini terlalu ghulluw dalam tanzih sehingga menolak sifat-sifat kesempurnaan Allah s.w.t., dengan alasan untuk menyucikan Allah s.w.t. daripada kekurangan.

Golongan kedua yang ghulluw (melampau) dalam berinteraksi dengan sifat-sifat Allah adalah golongan musyabbihah dan mujassimah. Mereka menisbahkan kepada Allah s.w.t., segala sifat-sifat kelemahan seperti, Tuhan itu berjisim, bertempat, mempunyai ruang lingkup, ukuran, had dan sebagainya. Hal ini karena, mereka cuba memahami nas-nas mutasyabihat dengan maknanya dari sudut bahasa, dan bersikap jumud takkala menolak konsep majaz dalam ilmu Bahasa Arab itu sendiri dari manhaj Qur’ani.

Golongan ini ghulluw dengan alasan untuk beriman dengan semua yang disifatkan oleh Allah s.w.t. terhadap diriNya, termasuk sifat-sifat yang dhahirnya membawa kepada tajsim, karena mereka terlupa (atau sengaja melupakan) akan ketinggian Bahasa Al-Qur’an itu sendiri, di samping melupakan konsep kiasan dalam Bahasa Arab itu sendiri. Golongan ini memaksa Al-Qur’an mengikuti mereka, karena tidak mahu memberi ruang bagi bahasa Al-Qur’an, untuk terlibat dengan kaedah kesusasteraan Bahasa Arab yang tinggi, terutamanya dalam konsep kiasan (majaz).

Seburuk-buruk golongan tasybih (yang menyerupakan sifat-sifat Allah s.w.t. dengan sifat-sifat makhluk yang lemah) adalah golongan tamsil, yaitu, golongan yang menyamakan secara mutlak (total) sifat-sifat Allah s.w.t. dengan sifat-sifat makhluk seperti golongan Hindu yang menggambarkan bentuk tuhan seperti manusia.

Adapun golongan selanjutnya, walaupun tidak terlibat dengan tamsil, tetapi mereka masih menyamakan Allah s.w.t. dengan makhluk dari satu sisi yang lebih kecil yaitu sisi kejisiman. karena, mereka menisbahkan sifat-sifat jisim, yaitu: bertempat, ada bagian-bagian anggota/organ, mempunyai had dan ruang lingkup, mempunyai ukuran dan sebagainya, yang mana kesemua sifat-sifat jisim tersebut merupakan sifat yang lemah kepada Allah s.w.t. sedangkan Maha Suci Allah s.w.t. daripada sifat-sifat kelemahan tersebut, yang hanya ada pada makhluk. Inilah golongan tajsim yang juga merupakan di antara pengikut fahama tasybih dalam satu sudut yang lebih khusus dan kecil skopnya, di banding faham tamsil.

Hakikatnya, aliran tajsim (tasybih) ini telah dihidupkan kembali oleh sebagian golongan yang mengakui mengikuti manhaj salafus soleh, padahal golongan salafus soleh berlepas tangan daripada apa yang mereka katakan. Mereka adalah golongan yang telah terjerumus dalam lembah fitnah tasybih, takkala memahami nas-nas mutasyabihat melalui kaca mata Ibn Taimiyah. memang  Ibn Taimiyah tidak secara jelas mengatakan tentang kejisiman Allah s.w.t., namun beberapa kaedah yang telah digubah oleh beliau, bisa membawa kepada faham tajsim tersebut.

Para Salafus Soleh dan Tanzih

Golongan para salafus soleh yang benar-benar memahami ketulenan aqidah Islam, amat menitik beratkan konsep tanzih ini, karena itu merupakan  intipati tauhid itu sendiri, takkala kita menyucikan Allah s.w.t. dari penyekutuan (syirik).

Bahkan, para salafus soleh juga seperti memberi isyarat awal, dalam menolak faham tajsim dan tasybih ini, dengan ungkapan-ungkapan mereka yang menafikan sifat-sifat yang tidak layak bagi Allah s.w.t., dari dinisbahkan kepada Allah s.w.t., seperti sifat berpindah  bertempat, ada had dan ruang lingkup, ada ukuran dan sebagainya.

Al-Imam Saidina Ali k.r.w.j. pernah berkata: “Sesungguhnya Allah s.w.t. itu tidak bertempat. Dia sekarang dalam keadaan seperti Dia sebelum ini (yaitu tetap qadim dan abadi tanpa bertempat)”. (Al-firaq bainal Firaq karangan Abu Mansur: 333)

Saidina Ali k.r.w.j. berkata lagi: “Sesungguhnya Allah s.w.t. menciptakan Arasy, sebagai tanda kekuasaanNya, bukan sebagai tempat untuk Dia duduki” (Al-firaq bainal firaq: 333)

Saidina Ali k.r.w.j. berkata lagi: “Siapa yang beranggapan bahwa, Tuhan kita mahdud (ada ruang lingkup tertentu atau ada had-had tertentu), bererti dia jahil tentang Tuhan Maha Pencipta lagi Tuhan yang disembah” (hilyatul Auliya’: 1/73)

Imam Ali Zainal Abidin bin Al-Husein r.a. berkata: “Sesungguhnya, Engkaulah Allah, yang tidak bertempat” (Ittihaf Saadah Al-Muttaqin: 4/380)
Imam Abu Hanifah r.a. berkata: “...Tidaklah ada jarak antara Allah s.w.t. dengan makhlukNya” (syarh Fiqh Akbar karangan Ali Al-Qari: 136-137)

Beliau r.a. berkata lagi: “Pertemuan Allah s.w.t. dengan ahli syurga tanpa kaif, tanpa tasybih dan tanpa jihhah (sudut, sisi ataupun tempat).” (ibid: 138)

Beliau juga berkata: “Allah s.w.t. itu wujud tanpa bertempat sejak sebelum Dia menciptakan tempat (sejak azali)....”

Imam As-Syafi’e r.a. berkata: “Allah s.w.t. wujud tidak bertempat. Dia menciptakan tempat, sedangkan Dia tetap dengan sifat-sifat keabadianNya, seperti sebelum Dia menciptakan makhluk. Tidak layak Allah s.w.t. berubah sifatNya atau zatNya.” (ittihaf saadah Al-Muttaqin: 2/24).

Imam Al-Bukhari r.a. menyucikan Allah s.w.t. dari tempat dan bentuk dalam Sahih Al-Bukhari itu sendiri, takkala disyarahkan oleh para pensyarahnya.

Imam At-Tohawi (321H) berkata juga: “Maha Tinggi dan Suci Allah s.w.t. daripada  had, sepadan, anggota, dan alat. Dia tidak takluk dalam sudut yang enam (tidak bertempat).” (As-Siqaat: 1/1)

Imam Ibn Hibban r.a. juga berkata: “Sesungguhnya Allah s.w.t. tidak bertempat dan masa” (Al-Ihsan fi tartib sahih Ibn Hibban: 4/8)

Masih terlalu banyak ungkapan-ungkapan para ulama’ salafus soleh, dan para ulama’ setelah mereka, dalam menafikan sifat jismiyyah(kejisiman) Allah s.w.t.. Lantaran itu, fahamlah kita bahwa, mereka tidak pernah memahami nas-nas mutasyabihat dengan maknanya dari sudut bahasa, seperti yang didakwa oleh Ibn Taimiyah, yang dikembangkan lagi oleh para pendokong beliau dari kalangan golongan mutasallifah.

Adapun para ulama’ salafus soleh terlalu berwaspada daripada menisbahkan sifat-sifat kejisiman kepada Allah s.w.t. karena mereka mengerti bahwa,tajsim itu juga termasuk dalam faham tasybih yang bertentangan dengan seruan ayat Al-Qur’an berbunyi: “Tidak bagiNya ada sesuatupun yang menyerupaiNya”.

Celaan Allah s.w.t. dan RasulNya s.a.w. terhadap Golongan Tasybih

Allah s.w.t. berfirman: “...Adapun orang-orang yang dalam hati mereka kecenderungan ke arah kesesatan, maka mereka selalu menuruti apa yang samar-samar (mutasyabihat) dari Al-Qur’an untuk mencari fitnah dan mencari-cari ta;wil (memutarkan maksudnya menurut yang disukainya)...” (Ali Imran: 7)

Saidatina Aisyah r.a. berkata, bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: “Apabila kalian melihat orang-orang yang mengikuti yang samar-samar daripada Al-Qur’an, maka mereka adalah yang dinamakan oleh Allah (di dalam Al-Qur’an sebagai orang sesat), maka hindarilah mereka.” (Sahih Al-Bukhari, Muslim, Ahmad dan Ibn Kathir)

Adapun maksud: “...orang-orang yang mengikuti  yang samar-samar (mutasyabihat)...” itu merujuk kepada golongan yang memahami nas-nas mutasyabihat dengan maknanya dari sudut bahasa. Kerana itulah, Allah s.w.t. menyebut mereka sebagai “mengikut apa yang samar...” karena mereka terlalu jumud dalam memahami nas-nas tersebut dan menutup ruang majaz dalam ayat itu, serta memaksa ayat itu bermaksud dengan maksud dari sudut bahasa.

Golongan inilah yang dimaksudkan oleh Allah s.w.t. sebagai golongan yang membuat fitnah, dan golongan ini merupakan golongan musyabbihah dan mujassimah yang mengisbatkan makna-maknanya dari sudut bahasa (dhahir), berkenaan dengan nas-nas mutasyabihat.

Lalu, mereka mengisbatkan sifat tangan yang merupakan satu bagian anggota jisim kepada Allah s.w.t. serta mengisbatkan tempat bagi Allah s.w.t. karena terlalu skema dalam berinteraksi dengan nas-nas mutasyabihat.

Kalau saja nas-nas mutasyabihat tersebut perlu diimani dengan maknanya dari sudut bahasa, maka tidak ada beda antara mutasyabihat dengan yang tidak mutasyabihat, sedangkan Allah s.w.t. membedakan antara kedua-duanya (mutasyabihat dengan yang bukan mutasyabihat/muhkamat).

Dari ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi s.a.w. yang mensyarahkan ayat tersebut, jelaslah Allah s.w.t. mencela golongan tasybih dan tajsim yang menisbahkan sifat-sifat jisim dan sifat-sifat makhluk yang lain kepada Allah s.w.t..

Jesteru, kami dengan rasa prihatin, menyeru mereka yang terlibat dengan manhaj isbat ma’na lughowi (menetapkan makna dhahir) terhadap nas-nas mutasyabihat ini, supaya kembali kepada manhaj Al-Qur’an dan As-Sunnah serta aqidah salafus soleh, dan aqidah golongan majoritas umat Islam dari kalangan Al-Maturidiyah dan Al-Asya’irah.

Sesungguhnya, sebaik-baik Kalam ialah Kitabullah, sebaik-baik hidayah ialah dari Sunnah Rasulullah s.a.w., serta sebaik-baik kurun adalah kurun salafus soleh, dan sebaik-baik yang mengikut para salafus soleh adalah golongan majoritas umat Islam dari kalangan Al-Asya’irah dan Al-Maturidiyah.Kembalilah bersama Al-Qur’an, As-Sunnah serta sawadul A’zhom (majoriti) umat Islam. Tidak ada selain kebenaran itu, melainkan kesesatan.

Pintu yang Dibuka oleh Sheikh Ibn Taimiyah: Mengkaji Kaedah-kaedah Beliau

Penulis yang serba hina ini lebih cenderung kepada manhaj Dr. Al-Qaradhawi yang tidak  sampai menuduh Ibn Taimiyah berfaham tajsim dan tasybih, walaupun kebanyakkan ulama’ dalam bidang aqidah sudah mengatakan demikian.

Walau Pun begitu, kaedah-kaedah yang digariskan oleh Ibn Taimiyah dalam permasalahan tentang ayat-ayat mutasyabihat ini (dengan mengkaji kepada buku-buku beliau seperti risalah tadmuriyyah dan fatawa) merupakan pintu kepada munculnya faham tajsim dan tasybih di zaman moden ini, dengan dikembangkan oleh golongan mutasallifah atau lebih dikenali dengan golongan Wahhabi. Boleh jadi ada dari kalangan golongan salafi moden yang tidak terjebak dengan faham ini, namun yang kita  fokuskan dari pembahasan kita, adalah kepada mereka yang terjebak saja, dengan faham ini, di samping mendoakan agar yang tidak terjebak, terus diselamatkan oleh Allah s.w.t. daripada terjebak ke dalam faham ini.





Inilah Kaidah-Kaidah sifat mutasyabihat Menurut Ibnu Taemiyah


Kaedah Pertama Ibn Taimiyah: “Ayat-ayat Mutasyabihat Diketahui Maknanya”

Sheikh Ibn Taimiyah berkata dalam fatwa beliau (5/41-42): “Seseorang tidak perlu menafikan pengetahun takyiif (bentuk keadaan), kalau dia tidak mengetahui makna lafad tersebut.maka Sesungguhnya, mereka yang menafikan pengetahuan tentang kaifiyat sesuatu,itu terjadi jika dia menetapkan sifat tersebut dengan mengetahui maknanya.”

Sheikh Ibn Taimiyah mencuba menjelaskan bahawasanya, takkala salafus soleh menafikan takyiif, berarti mereka tahu makna yang dimaksudkan oleh nas-nas mutasyabihat tersebut, dengan makna dari sudut bahasa, mereka hanya menafikan pengetahuan tentang keadaan sifat tersebut.

Contohnya, menurut Ibn Taimiyah, salafus soleh memahami bahwa yang dimaksudkan dengan yadd Allah s.w.t. ialah tangan Allah s.w.t. yang merupakan sebagian daripada anggota/organ zat Allah s.w.t., tetapi keadaan tanganNya tersebut tidak diketahui.

Ini satu fitnah dan klaim yang amat besar krna golongan salafus soleh ), hanya sekadar menetapkan “lafaz” sifat mutasyabihat, tanpa memahaminya dengan maknanya dari sudut bahasa. Mereka tidak pernah menyatakan yadd sebagai satu organ bagi zat Allah s.w.t. seperti yang difahami dari makna bahasa.

Bahkan, mereka (salafus soleh) sendiri menafikan maksud dari kandungan bahasa terhadap perkataan-perkataan mutasyabihat tersebut. Mereka juga menafikan bahwa maksud makna ayat-ayat mutasyabihat tersebut adalah kejisiman seperti yang difahami dari sudut bahasa.

Imam Abu Al-Fadhl At-Tamimi meriwayatkan: “Imam Ahmad bin Hanbal mengingkari mereka yang menyifatkan Tuhan dengan kejisiman. Beliau (Imam Ahmad) berkata: Sesungguhnya, nama-nama Allah diambil daripada syariat dan bahasa. Adapun ahli bahasa meletakkan nama Allah tersebut dengan makna yang membawa kepada maksud jisim- yakni, sesuatu yang ada ukuran ketinggian, ukuran lebar, tersusun dengan beberapa anggota, mempunyai bentuk dan sebagainya, sedangkan Maha Suci Allah s.w.t. daripada sifat kejisiman tersebut (Maha Suci Allah s.w.t. daripada makna-makna lafaz mutasyabihat tersebut dari sudut bahasa)” (Manaqib Imam Ahmad karangan Imam Al-Baihaqi)

Jadi, Sheikh Ibn Taimiyah memberi satu pemahaman yang salah, takkala mencuba menetapkan bahwa, golongan salafus soleh memahami nas-nasmutasyabihat tersebut dari sudut lugot/bahasa, sehingga ia memahaminya dengan makna jisim.

Semua ini kembali kepada kesalah fahaman Ibn Taimiyah terhadap perkataan salafus soleh: “tanpa takyiif”.

Ketika para salafus soleh menafikan kaif atau takyiif, maksud mereka adalah menafikan asal kaif (keadaan) itu sendiri, bukan menafikan pengetahuan tentang keadaan ,seperti yang difahami oleh Ibn Taimiyah.

PERBEDAAN antara nafi aslul kaif dengan nafi ilmul kaif:
Menafikan aslul kaif brarti, mencegah orang dari menggambarkan lafaz-lafaz mutasyabihat tersebut dengan maknanya dari sudut bahasa, krna sebagian orang, ketika sebatas mendengar saja tentang perkara-perkara mutasyabihat, mereka terus menggambarkan sifat-sifat tersebut dengan maknanya dari sudut bahasa, yang membawa kepada faham tajsim atau menjisimkan Allah s.w.t..

Kaif itu sendiri dari sudut bahasanya ialah: meletakkan sesuatu yang dinisbahkan kepada sesuatu yang lain, atau menggambarkan sesuatu dinisbahkan kepada anggota yang lain. Maksudnya bahwa kaif itu sendiri ialah, jika seseorang menggambarkan keadaan sesuatu itu dengan susunan bentuknya dan sebagainya, seperti ketika orang membayangkan kaif Zaid, dia akan menggambarkan susunan bentuk tubuh Zaid dari muka sampai ke kaki. Jadi inilah yang dilarang oleh salafus soleh, yakni larangan daripada menggambarkan bahwa Tuhan itu berjisim. Ini adalah menafikan Asal Kaif itu sendiri.

Adapun Ibn Taimiyah menyangka bahwa para salafus soleh itu menafikan ilmul kaif yakni menafikan pengetahuan mengenai hakikat keadaan sesuatu itu, padahal, golongan salaf menafikan akan adanya keadaan kaif itu sendiri yang di nisbat kan pada zat Allah s.w.t..

Oleh kerana itulah, Ibn Taimiyah menegaskan bahwa, golongan salafus soleh tidak akan berkata: “tanpa kaif” jika mereka tidak memahami makna lafad mutasyabihat dengan maknanya dari sudut bahasa (makna dhahir). krna, Ibn Taimiyah memahami bahwa, seseorang hanya menafikan ilmu kaif setelah dia mengetahui makna lafadnya , sedangkan golongan salafus soleh tidak menafikan ilmu kaif, tetapi menafikan aslul kaif (asal keadaan itu sendiri).

Contohnya, para salafus soleh tidak memahami yang di maksud oleh Allah s.w.t. dengan lafad yadd Allah, dan kemudian mereka melarang orang lain menggambarkan kaif sifat yadd tersebut secara maknanya dari sudut bahasa (anggota tangan). Ini adalah menafikan aslu kaif sifat tersebut.

Adapun Ibn Taimiyah yang memahami nas-nas mutasyabihat dengan makna lughowi, menjelaskan bahwa, golongan salafus soleh sekadar menafikan ilmul kaif (pengetahuan tentang hakikat keadaan perkara tersebut), bukan menafikan kaif itu sendiri krna, bagi Ibn Taimiyah, Allah s.w.t. itu memiliki kaif atau kaifiyat (bentuk keadaan zatNya), cuma tidak diketahui mengenai kaifnya tersebut, sedangkan salafus soelh menafikan secara mutlak adanya kaifiat bagi Allah s.w.t. itu sendiri, krna menurut salafus soleh, sifat Allah s.w.t. itu tiada kaifNya.

Penulis menyeru pada para pembela Ibn Taimiyah dalam kaedah yang beliau gariskan ini, agar mencari dalil dalil dari perkataan para salafus soleh yang menjelaskan bahwa mereka memahami ayat-ayat mutasyabihat dengan makna dari sudut bahasa seperti yang di klaim Ibn Taimiyah,ada atau tidak........????? 


Kaedah Kedua Ibn Taimiyah: “Golongan Salafus Soleh Isbat, Bukan Tafwidh”
Dalam fatwa beliau (5/19) beliau menyentuh tentang sifat bahwa: “Para Salafus Soleh mengisbatkan semua sifat-sifat mutasyabihat (termasuk yang dhahirnya membawa tajsim). Mereka tidak akan mengisbatkannya dhahir sifat-sifat (khususnya mutasyabihat) tersebut, jika bertentangan antara (makna sebenarnya) dengan dhahirnya”.

“...(Para salafus soleh tetap mengisbatkan sifat-sifat tersebut dengan makna dhahirnya) walaupun dhahirnya bermakna tasybih (tajsim)”

Ibn Taimiyah sendiri dalam perkataannya di atas menegaskan dan mengakui bahwa, ada nas-nas yang bersifat mutasyabihat, yang mana dhahir lafad2 tersebut membawa makna tajsim. Namun, beliau tetap menegaskan bahwa, golongan salafus soleh tidak pernah menafikan makna kejisiman nas-nas mutasyabihat yang mana dhahirnya bermakna tajsim tersebut.

Sheikh Ibn Taimiyah terpaksa membuat ulasan untuk berkilah bahwa, golongan salafus soleh bukanlah bermanhaj tafwidh (menyerahkan maknanya bulat-bulat kepada Allah s.w.t.), tetapi mereka bermanhaj isbat ma’na lughowi. Beliau terpaksa menafikan tafwidh daripada manhaj salafus soleh krna menyadari hakikat bahwasanya tafwidh itu juga merupakan sebagian daripada ta’wil yakni takwil ijmali

Namun, hakikat yang tidak boleh dilupakan oleh Sheikh Ibn Taimiyah dan para pengikutnya ialah, dalam Bahasa Arab itu sendiri ada konsep majazi (kiasan). Jadi, Allah s.w.t. yang menurunkan Al-Qur’an dengan kesusasteraan Arab yang tertinggi, tidak mustahil menggunakan kaedah majaz di dalamnya, sehingga Ibn Taimiyah dan para pengikutnya musti memaksa diri mereka untuk memahami nas-nas mutasyabihat dengan makna dhahirnya yang membawa kepada makna tajsim.

Hakikat jisim itu sendiri mustahil bagi Allah s.w.t. yang Maha Sempurna krna sesuatu yang ada dan berjisim, berarti ia akan mengambil ruang dan tempat, sedangkan Allah s.w.t. yang menciptakan langit dan bumi, tidak ada dengan bertempat, karena Dia telah wujud sebelum segala tempat diciptakanNya. Inilah aqidah salafus soleh .

Jadi, menisbahkan anggota-anggota [organ] atau sifat-sifat jismiyyah merupakan itu suatu perlanggaran terhadap konsep tanzih (menyucikan Allah s.w.t. daripada sifat tercela dalam aqidah kita) yang diajarkan oleh Islam itu sendiri.

Jadi, seseorang yang memang mau menisbahkan tempat, ruang dan had bagi Allah s.w.t., pasti dia akan terlebih dahulu menetapkan sifat-sifat jisim bagi zat Allah s.w.t., dan ini merupakan satu muqoddimah (permulaan) menuju kepada fahaman tasybih yang lebih besar.

Hakikatnya, banyak ungkapan-ungkapan para salafus soleh dalam membuktikan bahwasanya mereka bermanhaj tafwidh dalam masalah nas-nas mutasyabihat ini, bukan bermanhaj isbat ma’na lughowi seperti yang di klaim oleh Ibn Taimiyah. Bahkan, Imam Ahmad sendiri menolak manhaj isbat ma’na lughowi tersebut seperti yang dinukilkan sebelum ini. Jadi, mereka menyerahkan bulat-bulat makna perkataan-perkataan mutasyabihat tersebut kepada Allah s.w.t. semata-mata, tanpa memahaminya dari sudut dhahir atau dari sudut bahasa, sedangkan Ibn Taimiyah berfaham sebaliknya

Kaedah Ketiga Ibn Taimiyah: “dhahir ayat Al-Qur’an Tidak bisa berupa makna yang Tidak layak bagi Allah s.w.t..”
  
Perkataan Ibn Taimiyah ini bisa dilihat dengan jelas dalam buku risalah tadmuriyyah beliau. Beliau berkata (risalah tadmuriyyah: 69):

“Jika seseorang percaya bahwa, dhahirnya (nas-nas mutasyabihat tersebut) merupakan tamsil (suatu penyerupaan ) dengan sifat-sifat makhluk, maka jelaslah itu bukan (makna yang menyerupai makhluk) yang dimaksudkan (olah nas-nas tersebut).

“ golongan salaf tidak menamakan lafad2 itu (makna-makna yang menyerupai makhluk tersebut) sebagai dhahir, dan mereka sama sekali tidak mere\idhai bahwa dhahir Al-Qur’an dan Hadis itu memilik makna kebatilan dan kekufuran (tamsil)”
=============================================================
Sebelum mengkaji dasar yang digariskan oleh Sheikh Ibn Taimiyah ini, wajarlah kita memahami terlebih dahulu, hal yang dimaksudkan dari perkataan Ibn Taimiyah tersebut.

Beliau berkata: “Jika seseorang percaya bahwa, dhahirnya (nas-nas mutasyabihat tersebut) merupakan tamsil (suatu penyerupaan sepenuhnya) dengan sifat-sifat makhluk, maka jelaslah bukanlah itu (makna yang menyerupai makhluk) yang dimaksudkan (olah nas-nas tersebut).”

Maksudnya, beliau menegaskan bahwa, yang dimaksudkan dengan dhahir ayat bukan sesuatu yang dapat difahami sebagai tamsil. yakni, jika Al-Qur’an mengatakan bahwa, yadd Allah s.w.t.,maka makna dhahirnya bukanlah yadd yang berupa suatu tangan yang menyerupai makhluk.

Memang benar, dari satu sudut, beliau menegaskan bahawa, dengan mengisbatkan ma’na lughowi perkataan tersebut, tidak semestinya membawa kepada menyerupakan Allah s.w.t. dengan makhluk. Karena itulah, bila Allah s.w.t. berfirman: “Yadd Allah...”, berarti, Allah s.w.t. mempunyai anggota tangan pada zatNya, tetapi tanganNya tidak sama seperti makhluk. Inilah yang dimaksudkan oleh Ibn Taimiyah, padahal, golongan salafus soleh secara jelas menolak bahwa yadd itu merupakan suatu anggota/organ tangan bagi zat Allah s.w.t.. Menurut mereka, yadd itu satu sifat yang hanya diketahui oleh Allah s.w.t., tetapi bukanlah satu juz atau bagian daripada zat Allah s.w.t..

Beliau berkata lagi: “Tetapi, golongan salaf tidak menamakan lafad2 dengan (makna-makna yang menyerupai makhluk tersebut) sebagai dhahir...”

Sheikh Ibn Taimiyah memberi satu ulasan lain berkaitan dengan dhahir perkataan nas-nas mutasyabihat tersebut. Menurut beliau, golongan salafus soleh tidak menamakan sesuatu itu dhahir bagi Al-Qur’an, jika itu merupakan satu tasybih (menyerupakan Allah s.w.t.).

Jadi, menisbahkan tangan kepada Allah s.w.t. dengan maknanya dari sudut dhahir tidak sama sekali membawa kepada tasybih, menurut Ibn Taimiyah.

Kita lihat terlebih dahulu, takrif salafus soleh tentang perkataan dhahir itu sendiri terlebih dahulu.

dhahir Sesuatu Ayat: Sesuatu yang dapat difahami daripada ayat dengan maknanya dari sudut bahasa, atau sesuatu yang dapat difahami daripada ayat tersebut yang mungkin saja ayat tersebut memiliki makna yang lain. (rujuk Ar-Risalah karangan Imam As-Syafi’e).

Contohnya: Singa memandu kereta dengan kencang. Ayat ini dhahirnya (yaitu singa) tidak semestinya di maksud singa benaran, karena bisa jadi sekadar kiasan.

Jadi, tidak dapat dinafikan bahwa, dhahir sesuatu ayat itu bisa diartikan dengan: sesuatu ayat dapat difahami dengan makna yang lain. Maksudnya, golongan salafus soleh memahami bahwa, ayat-ayat mutasyabihat memiliki makna dhahir yang membawa kepada tasybih dan tajsim, dan karana itulah, mereka menyerahkan makna perkataan-perkataan tersebut kepada Allah s.w.t. secara bulat tanpa memahaminya dengan makna dhahirnya, yang membawa kepada tasybih dan tajsim.

Namun, Ibn Taimiyah tidak mahu menerima hakikat bahwa , dalam kaedah Bahasa Arab sendiri, ada yang dinamakan konsep kiasan, di mana, ayat itu mengandung perkataan yang dhahirnya tidak di maksud oleh yang berkata, seperti orang berkata: “bulan masuk ke kedai”, bukan dhahirnya itu yang dimaksudkan oleh yang berkata (iaitu bulan hakiki), tetapi sekadar kiasan.

Ibn Taimiyah juga menegaskan bahwa, dhahir ayat Al-Qur’an tidak mungkin memiliki maksud yang tidak layak bagi Allah s.w.t., yang memerlukan kepada tafwidh dan ta’wil. Ini suatu sangkaan Ibn Taimiyah semata .
Kita boleh kembali merujuk ucapan-ucapan para salafus soleh sebelum ini, yang menafikan makna jisim bagi nas-nas mutasyabihat tersebut, sedangkan dhahir nas-nas mutasyabihat tersebut itu memiliki maksud jisim. Sheikh Ibn Taimiyah memahami bahwa, tangan, mata, wajah dan semua lafaz-lafaz yang dhahirnya membawa kepada tajsim, itu tidak membawa kepada faham tamsil (menyamakan Allah s.w.t. dengan makhluk), padahal, takkala menisbahkan ma’na lughowi (dari sudut bahasa) terhadap nas-nas mutasyabihat tersebut, secara tidak langsung itu mengundang kepada menjisimkan Allah s.w.t., yang mana merupakan salah satu jenis tasybih (menyerupakan Allah s.w.t. dengan sifat-sifat makhluk).

Bukankah Al-Qur’an sendiri menceritakan bahwa, di dalam uslub Al-Qur’an sendiri, ada yang mutasyabihat, atau kesamaran [QS AL IMRON 7]. Jadi, tidak mustahillah kalau dhahir sesuatu ayat menimbulkan kesamaran sehingga membawa kepada seseorang memahaminya dengan maksud yang tidak selayaknya bagi Allah s.w.t., padahal yang dimaksudkan bukanlah yang DHahir, kerana ia sekadar suatu kiasan.

Hakikatnya, di dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis, memang ADA uslub-uslub kiasan, yang mana DHahir ayat-ayat tersebut mustahil bagi Allah s.w.t., yang mana, pada hakikatnya, maksud ayat-ayat tersebut bukanlah dhahir daripada ayat-ayat tersebut. Ini satu hakikat yang ingin ditolak oleh Ibn Taimiyah krna ia telah bertekad untuk menetapkan lafaz-lafaz yang dhahirnya tajsim kepada Allah s.w.t..

Selanjutnya, kami akan nukilkan beberapa hadis yang menunjukkan kepada kita, bahwa kadang-kala, dalam uslub wahyu juga, Allah s.w.t. menggunakan satu konsep kiasan yang dhahirnya tidak layak bagi Allah s.w.t., yang memerlukan kepada ta’wil, seterusnya yang membela manhaj ta’wil yang digunakan oleh golongan salafus soleh dan Al-Asya’irah itu sendiri, di samping membatalkan fahaman Ibn Taimiyah.

Hadis Qudsi: Allah s.w.t. berfirman: “Wahai HambaKu. Aku lapar, mengapa kau tidak memberi makan kepadaKu?” (hadis riwayat Muslim).

Hadis ini dari sudut dhahirnya jelas menisbahkan sifat yang tidak layak bagi Allah s.w.t., iaitu lapar. Mustahil Allah s.w.t. bersifat dengan lapar, padahal Dia tidak memerlukan makanan bahkan Dialah yang menciptakan makanan dan memberi makan kepada para hambaNya.

Jadi, wahai Sheikh Ibn Taimiyah dan para pengikut beliau. Bukankah dhahir hadis ini membawa maksud yang tidak layak bagi Allah s.w.t.? Bukankah, hadis ini perlukan ta’wilan utk memalingkannya daripada maknanya dari sudut dhahir yang bertentangan dengan sifat kesempurnaan Allah s.w.t., kepada makna yang sesuai dengan kesempurnaan Allah s.w.t.?

Bahkan, dalam hadis yang sama, setelah itu, Allah s.w.t. sendiri mengajar kepada umat Islam, takkala menghadapi nas-nas yang mutasyabihat yang dhahirnya membawa kepada sifat yang tidak layak bagi Allah s.w.t., supaya menyucikan Allah s.w.t. daripada sifat tersebut, dengan konsep ta’wil(memalingkan maknanya daripada maknanya yang zahir), apakah secara tafsili (mencari makna lain yang sesuai dengan kaedah Bahasa Arab dan sesuai dengan sifat Allah s.w.t. yang Maha Sempurna) maupun secara ijmali (ringkas dan menyeluruh) dengan tafwidh (menyerahkan secara bulat makna tersebut kepada Allah s.w.t. tanpa memahaminya dari sudut dhahir).

Dalam hadis ini sendiri, menunjukkan bahwa, ada kesamaran daripada firman Allah s.w.t. tersebut, yang mana dhahirnya tidak layak bagi Allah s.w.t., yang membatalkan dakwaan Ibn Taimiyah (bahawa dhahir nas tidaklah memberi makna yang tidak layak bagi Allah s.w.t.), takkala hamba tersebut turut bertanya: “Wahai Tuhan. Bagaimana aku memberi makan kepadaMu sedangkan Engkau Tuhan sekalian alam?”

Mengapakah hamba tersebut bertanya kepada Allah s.w.t. demikian, melainkanlah, krna dia mengetahui dengan aqidah yang benar, bahwa Allah s.w.t. yang bersifat dengan Maha Sempurna, tidak pernah lapar, dan lapar merupakan satu sifat yang mustahil bagi Allah s.w.t..

Jadi, pertanyaan hamba tersebut menjadi bukti bahwa adanya nas-nas yang mana dhahirnya membawa kepada sifat yang tidak layak bagi Allah s.w.t., sedangkan, bukanlah dhahir ayat itu yang dimaksudkan oleh Allah s.w.t., tetapi sekedar kiasan. Ini membatalkan pendapat Ibn Taimiyah sebelum ini.

Nah, lihatlah apa jawapan Allah s.w.t. kepada hamba yang bertanya tersebut:

“Tidakkah Engkau tahu (ingat), bahwa ada hambaKu yang pernah meminta makanan daripadamu, sedangkan kamu tidak memberinya makanan? Tidakkah kamu tahu, kalau kamu memberinya makanan, kamu akan dapatinya bersama-samaKu?”.

Allah s.w.t. sendiri mena’wilkan lafaz lapar sebelum ini iaitu: yang dimaksudkan lapar bukanlah diriNya, tetapi seorang hambaNya yang lain, yang pernah meminta makanan kepada si hamba yang sedang dipersoalkan oleh Allah s.w.t. tersebut. Seolah-olah Allah s.w.t. menjadi wakil kepada hambaNya yang meminta dari si hamba tersebut akan makanan namun tidak diberikannya.

Dalam hadis sahih riwayat Muslim ini, setidaknya membatalkan dua klaim Ibn Taimiyah iaitu:

Pertama: Adanya nas-nas yang dhahirnya memiliki makna yang tidak layak bagi Allah s.w.t., yang perlu diserahkan maknanya secara bulat kepada Allah s.w.t., atau menta’wilkannya dengan kaedah Bahasa Arab dan kesesuaian petunjuk ayat tersebut, berdasarkan kaedah majazi(kiasan). Ini menolak dakwaan Ibn Taimiyah bahwa dhahir nas sesuatu ayat tidak pernah memiliki makna yang tidak layak bagi Allah s.w.t..

Kedua: Manhaj ta’wil dibenarkan oleh Allah s.w.t. sendiri (bahkan diajarkan oleh Allah s.w.t.) ketika berinteraksi dengan nas-nas yang dhahirnya membawa maksud mutaysabihat (kesamaran), apatah lagi membawa maksud yang tidak layak bagi Allah s.w.t., dengan kaedah-kaedah Bahasa Arab, kaedah kiasan dan manhaj Aqidah Islam yang benar.

Begitu juga dengan banyak hadis-hadis dan ayat Al-Qur’an yang mana, dhahirnya membawa kepada makna yang tidak sesuai bagi Allah s.w.t., namun itu sekedar kiasan, krna dhzahirnya bukanyang dimaksudkan.

Contohnya juga seperti dalam hadis riwayat Al-Bukhari, di mana Allah s.w.t. berfirman dalam hadis qudsi: “...Jika Aku telah mencintai hambaKu. Maka Aku akan jadi matanya yang mana dia melihat dengannya. Aku akan menjadi telinganya yang mana dia mendengar dengannya...”. Al-Hadis.

Hadis ini dhahirnya membawa makna hulul atau bergabungnya Allah s.w.t. dengan makhluk, padahal itu mustahil bagi Allah s.w.t.. Oleh karena itu , sekali lagi menunjukkan kepada kita,bahwa ada nas-nas yang mana dhahirnya bukanlah yang dimaksudkan oleh Allah s.w.t., krna zahirnya membawa maksud yang tidak sesuai bagi Allah s.w.t..

Oleh karena itu , sebagian ulama’ menta’wil nya dengan maksud, Allah s.w.t. memelihara mata hambanya, telinganya, tangannya dan kakinya daripada perkara-perkara haram dan kecelakaan berdasarkan kaedah Bahasa Arab. Ada juga yang mendiamkan diri dan menyerahkan maknanya kepada Allah s.w.t.. Namun, seseorang tidak boleh memahaminya dengan maknanya yang dhahir atau dari sudut bahasa (manhaj isbat ma’na lughowiyang dipoluparkan oleh Ibn Taimiyah), krna ia merupakan satu faham yang salah dan bertentangan dengan aqidah Islam.

Kesimpulan daripada penjelasan mengenai kaedah ini ialah, bahwa ada nas-nas mutasyabihat yang dhahirnya tidak sesuai bagi Allah s.w.t., namun (dhahir tersebut) bukanlah maksud daripada ayat itu sendiri, karena iatu sekedar kiasan. Namun, Ibn Taimiyah mencoba mengingkari konsep kiasan dalam masalah ini, yang juga merupakan di antara kaedah yang menjadi pintu kepada faham tasybih dan tajsim.

Kaedah Keempat Ibn Taimiyah: “Berkata Tentang Sifat itu Sama Seperti Tentang Zat”

Sheikh Ibn Taimiyah berkata dalam buku beliau Risalah Tadmuriyyah halaman 109: “Adapun berkata (membincangkan) mengenai sifat-sifat (Allah s.w.t.) itu sama saja seperti membicarakan mengenai Zat (Allah s.w.t.).”

Kaedah ini sebenarnya membuka ruang menularnya faham tasybih dan tajsim.karena, apabila seseorang berbicara mengenai sifat, dianggap oleh Ibn Taimiyah, tidak berbeda dengan  membahas mengenai zat, maka secara tidak langsung, dapatlah difahami bahwa, beliau mencuba mengisbatkan nas-nas mutasyabihat yang maknanya “keanggotaan/organ” atau bagian tubuh, dengan maknanya dari sudut bahasa kepada zat Allah s.w.t..

Jadi, kaedah ini dibuat supaya orang tidak menyadari bahwa, beliau telah melakukan kesalahan, takkala menisbahkan makna jisim kepada Allah s.w.t., dengan nas-nas mutasyabihat tersebut, karena beliau telah memberitahu terlebih dulu bahwasanya, membicarakan mengenai zat Allah s.w.t. tidak berbeda dengan membahas mengenai sifatNya.

Kita katakan bahwa, jelas berbeda antara yang membicarakan mengenai sifat-sifat Allah s.w.t. dengan yang membicarakan tentang zat Allah s.w.t..

Terlebih dahulu, hendaklah difahami akan dua istilah utama dalam perbahasan ini yaitu:

Zat: yaitu, sesuatu yang terhimpun atau memiliki sifat-sifat.

Sifat: Sesuatu yang menetap pada zat, yang tidak akan ada tanpa zat tersebut.

Contohnya, zat Zaid ialah tubuh Zaid tersebut, adapun sifatnya ialah, misal kurus, gemuk, hitam, putih, tinggi, rendah dan sebagainya.

Adapun bagi zat makhluk, ada bagian-bagian anggota yang berbeda-beda dan berjuz-juz, yang dikenal sebagai anggota tubuh badan (dalam Bahasa Arab a’yaan). di Antara bagian-bagian tubuh adalah seperti tangan, kaki, kepala, telinga dan mata, yang merupakan bagian-bagian yang saling berbeda antara satu dengan yang lain. Adapun jika ia dikumpulkan, maka membentuk satu jisim atau tubuh.

Tangan, kaki, kepala muka dan sebagainya merupakan bagian-bagian (juz-juz) daripada zat seseorang itu sendiri, dan bukanlah sifat-sifat seperti tinggi, rendah, putih, hitam dan sebagainya.

Jadi, hendaklah difahami di sini bahwasanya, apabila Ibn Taimiyah meletakkan garis panduan dengan mengatakan bahwa, berkata mengenai zat sama saja seperti membicarakan mengenai sifat, berarti beliau berusaha untuk meyakinkan pembaca, bahwasanya, tidak ada bedanya mengisbatkan sifat-sifat Allah s.w.t. yang ma’nawi, seperti Maha Berkuasa, Maha Mengetahui dan sebagainya, dengan mengisbatkan bagian-bagian anggota/orrgan bagi zat Allah s.w.t. seperti tangan, mata, muka dan sebagainya.

Kaedah ini jelas menunjukkan bahwa:

Pertama: Beliau memahami nas-nas mutasyabihat yang bermakna jisim dari sudut Bahasa Arab, dengan maknanya dari sudut bahasa tersebut, seperti memahami yadd dengan arti anggota tangan.

Kedua: Beliau mengisbatkan lafaz-lafaz anggota tersebut kepada zat Allah s.w.t., karena baginya, tidak berbeda antara mengisbatkan sifat-sifat ma’nawi dengan mengisbatkan bagian anggota kepada zat Allah s.w.t., karena keduanya disebut oleh Allah s.w.t..

Lihatlah sendiri ucapan Sheikh Ibn Taimiyah berkaitan masalah ini: “Sesungguhnya, pada sifat kita, ada sifat a’yaan atau ajsaam (jisim atau anggota tubuh) yang merupakan tubuh bagi kita, seperti muka, tangan dan sebagainya. Dan, pada sifat kita juga, ada sifat ma’nawi seperti mendengar, melihat, mengetahui dan berkuasa...

“Telahpun diketahui bahwasanya, Allah s.w.t. menyifati diriNya dengan sifat Maha Hidup, Maha Mengetahui dan Maha Berkuasa. Tidak seorang pun dari kalangan muslim yang mengatakan bahwa, dhahirnya bukanlah yang dimaksudkan, karena mafhum sifat-sifat tersebut, jika dinisbahkan kepada Allah s.w.t., sama saja mafhum sifat-sifat tersebut ketika dinisbahkan kepada makhluk. Begitu juga, takkala Allah s.w.t. menyifati diriNya bahwa Dia menciptakan Adam a.s. dengan tangan-tanganNya, maka tidak perlu kita katakan bahwa, dhahirnya (perkataan tangan-tangan tersebut) bukanlah yang dimaksudkan, karana mafhumnya (tangan-tangan tersebut) jika dinisbahkan kepada Allah s.w.t., sama seperti mafhumnya (mafhum tangan-tangan) jika dinisbahkan kepada makhluk”. (risalah tadmuriyyah: 77-78)

Maksud dari perkataan beliau: “...maka tidak perlu kita katakan bahwa, dhahirnya (perkataan tangan-tangan tersebut) bukanlah yang dimaksudkan” secara jelas menunjukkan pendirian beliau, bahwa kita perlu memahami nas-nas mutasyabihat dengan makna dhahirnya dari sudut bahasa, hatta lafaz-lafaz yang dhahirnya membawa kepada tasybih dan tajsim. Inilah hakikat isbat ma’na lughowi yang ditolak oleh salafus soleh seperti yang dibahas sebelumnya.

Seterusnya, lihat perkataan beliau: “mafhum sifat-sifat tersebut, jika dinisbahkan kepada Allah s.w.t., sama dengan mafhum sifat-sifat tersebut jika dinisbahkan kepada makhluk.” Dan perkataan beliau lagi: “krna mafhumnya (tangan-tangan tersebut) jika dinisbahkan kepada Allah s.w.t., sama seperti mafhumnya (mafhum tangan-tangan) jika dinisbahkan kepada makhluk”.

Beliau secara jelas menyamakan mafhum antara sifat-sifat Allah s.w.t. dengan sifat-sifat makhluk. Apa itu mafhum????

Dalam Bahasa Arab, mafhum berarti, makna atau femahaman terhadap suatu lafaz. Jika menurut Ibn Taimiyah, maksud sifat Mendengar jika dinisbahkan kepada Allah s.w.t., sama seperti maksud sifat mendengar jika dinisbahkan kepada makhluk, maka dalam hal ini bukanlah suatu perkara yang perlu dibahas, karena sifat-sifat ma’nawi  memang layak bagi Allah s.w.t., dalam bentuk yang sempurna. Ini karena, hakikat sifat Mendengar Allah s.w.t. yang Maha Sempurna tidak sama dengan hakikat mendengar makhluk yang serba lemah.

Namun, Ibn Taimiyah mencoba menggunakan qias (perbandingan) yang rusak bengan menqiaskan sifat-sifat ma’nawi seperti mendengar dan melihat, dengan anggota-anggota jisim seperti wajah dan tangan.

Bahkan, jumlah ucapan Ibn Taimiyah sebelumnya, yang maksudnya : bagiNya, seperti makhluk juga, yang ada sifat ma’nawi seperti mendengar dan sifat a’yaan(bagian anggota jasad), begitu juga Allah s.w.t. yang mempunyai sifat ma’ani seperti medengar dan sifat a’yaan seperti mata, kArana menerima nas-nas mutasyabihat dengan makna DHahirnya.

Bahkan, nampaklah bahwasanya, beliau sendiri membeDakan antara sifat-sifat ma’nawi dan sifat-sifat a’yaan (keanggotaan) kArana tahu perbeDaan antara kedua-dua jenis sifat tersebut.

Beliau juga tahu, apabila berBICARA tentang sifat a’yaan ini, berarti secara tidak langsung, berbicara tentang bentuk dan keadaan zat Allah s.w.t.. Oleh karna itu, beliau meletakkan kaedah bahwasanya: “berkata tentang sifat, seperti berkata tentang Zat”, untuk membuat keliru para pembaca, dari melihat bahwa beliau sebenarnya telah membahas berkaitan zat Allah s.w.t., yang mana Allah s.w.t. sendiri melarang manusia daripada membahas tentang zat Allah s.w.t. kArana itu bisa membawa kepada khayalan dan gambaran.

Sebenarnya, berbicara tentang sifat tidak sama dengan berbicara tentang zat. Seseorang bisa berbincang2 tentang Zaid dengan hanya menceritakan sifat-sifatnya seperti, pemurah, baik, peramah dan sebagainya, tanpa perlu membayangkan tubuh atau zat si Zaid.

Adapun apabila berbicara tentang zat atau tubuh Zaid, maka secara tidak langung membawa kepada khalayan dan gambaran yang terbentuk dalam angan seseorang berkaitan dengan Zaid. Bila membicarakan tentang anggota tubuh Zaid seperti mata, muka dan sebagainya, maka tidak terlepas daripada menggambarkan zat dan tubuh Zaid itu sendiri, berbeda dengan sekedar membicarakan tentang sifat Zaid.

Begitu juga, apabila ulama’ Al-Asya’irah dan salafus soleh membicarakankan tentang sifat-sifat Allah s.w.t., mereka sekadar mengisbatkan (menetapkan) sifat-sifat yang Sempurna kepada Allah s.w.t. dan menafikan sifat-sifat kekurangan daripada Allah s.w.t. (yang mana, semuanya sekadar sifat-sifat berbentuk ma’nawi yang tiada bentuk), namun tidak pernah masuk kepada membicarakan hakikat sifat-sifat tersebut, apatah lagi menjangkau kepada membicarakan tentang hakikat zat Allah s.w.t..

Adapun Ibn Taimiyah takkala mencoba mengisbatkan sifat-sifat a’yaan atau yang lebih tepat, menisbahkan aggota-anggota jisim kepada Allah s.w.t., maka beliau terpaksa memberitahu terlebih dahulu, bahwa berkata tentang sifat sama seperti berkata tentang zat, agar orang yang mau mengkritik beliau tatkala berbicara tentang anggota-anggota zat Allah s.w.t., keliru karena beliau sudah katakan bahwa, berbicara tentang sifat juga sama seperti berbicara tentang zat, walhal tidak sama, pada hakikatnya.

Inilah pintu yang paling besar yang dibuka oleh Ibn Taimiyah,  yang membawa sebagian golongan yang mengikut beliau, mengembangkan faham tajsim yang merupakan sebagian daripada faham tasybih.

Jawapan para ulama’ salafus soleh terhadap klaim beliau ini ialah: tidak sama antara yang mengisbatkan sifat-sifat maknawi kepada Allah s.w.t. dengan mereka yang mengisbatkan keanggotaan dan bagian-bagian/ jisim kepada Allah s.w.t..

Bedanya cukup jelas yaitu:

Mengisbatkan sifat-sifat ma’nawi seperti melihat, mendengar, berkuasa dan sebagainya tidak membawa kepada menjisimkan Allah s.w.t. sedangkan mengisbatkan sifat-sifat a’yaan atau bagian-bagian anggota/organ kepada Allah s.w.t. membawa kepada menjisimkan Allah s.w.t. dan meletakkan bentuk bagi Allah s.w.t., dan ini satu faham tasybih (menyerupakan Allah s.w.t. dengan sifat-sifat makhluk).

Sifat-sifat ma’ani atau ma’nawi tidak menimbulkan Tuhan itu berbentuk, sedangkan takkala seseorang menisbahkan anggota-anggota kepada Allah s.w.t. berarti telah menisbahkan bagi Allah s.w.t. itu, ada bentuknya. Ini satu kesalahan dalam Aqidah Islam karena Allah s.w.t. itu tidak ada bentuk, batas, posisi, sudut, ukuran, dan sebagainya, yang merupakan di antara sifat-sifat yang hadis (atau baru) yang ada pada makhluk yang serba kekurangan.

Alasan yang dijadikan oleh Ibn Taimiyah untuk menisbahkan bagian-bagian dari kejisiman, kepada Allah s.w.t., hanya di karena bahwa lafad2 itu disebutkan oleh Allah s.w.t.pendapatnya ini tidak kuat bahkan terlalu rapuh, karena Al-Qur’an diturunkan dalam Bahasa Arab dan mengandung sastera Arab yang tertinggi, yang mana tidak terlepas daripada konsep kiasan atau majazi. Jadi, mengapa memaksa nas-nas tersebut wajib di maksud dengan maksud yang dhahir, sedangkan dalam Bahasa Arab sendiri, ada kaedah majazi, bahkan, lafaz dhahir tersebut sendiri tidak layak bagi Allah s.w.t. (lafaz yang membawa maksud jisim).

Lihatlah, perkataan Imam Ibn Jauzi sendiri dalam menolak fahaman tajsim dengan perkataanya: “ khilaf yang terjadi (dengan golongan musyabbihah yang menyerupakan Allah s.w.t. dengan makhluk) bukanlah pada (perkataan) yadd, tetapi pada maknanya dari sudut anggota/organ (yaitu, golongan musyabbihah memahaminya dengan makna anggota sedangkan kami ahlus sunnah tidak). Bukannya khilaf itu pada perkataan wajah, tetapi khilaf (dengan golongan tasybih) pada gambaran dan kejisiman (di mana mereka mempercayainya dengan makna jisim sedangkan kami tidak).” (Majalis Ibn Jauzi fil Mutasyabihat: 5

Kaedah Kelima Ibn Taimiyah: “Ta’wil Al-Asya’irah adalah Ta’thil (maenafikan Sifat Allah s.w.t.)

Sheikh Ibn Taimiyah menegaskan bahwa, golongan Al-Asya’irah khususnya, yang terlibat dengan ta’wil ayat-ayat mutasyabihat, merupakan golongan yang menafikan secara mutlak, akan sifat-sifat Allah s.w.t..

Padahal, dari kaedah Bahasa Arab sendiri, bukanlah semua ta’wil membawa kepada ta’thil (menafikan sesuatu ). Hanya ta’wil yang ba’id (yang jauh dari lafaz dhahir berdasarkan kaedah Bahasa Arab) saja yang dianggap sebagai ta’thil menurut ulama’ bahasa dan aqidah. Adapun ta’wil Al-Asya’irah tidak bersifat demikian, bahkan amat selaras dengan kaedah Bahasa Arab dan kesesuaian manhaj tanzih aqidah Islam.

Bukankah kita sudah bahas hal ini di bagian sebelumnya, dan sekali lagi memberi dalil jelas bahwa, ada nas-nas yang perlu kepada ta’wil, karena dhahirnya tidak layak bagi Allah s.w.t., berdasarkan manhaj aqidah yang selamat, bahkan Allah s.w.t. sendiri mengajarkan konsep ta’wil tersebut.

Adapun barang siapa yang merasa tidak mengetahui ta’wilnya, maka perlu menyerahkan makna tersebut kepada Allah s.w.t. (tafwidh) dan inilah jalan yang paling selamat, tetapi, bukan memahaminya dari sudut bahasa seperti manhaj Ibn Taimiyah.

Penutup Hiwar Bagi Yang Tidak Mau Penawar

Kepada mereka yang masih ingin mengikuti manhaj tajsim ini, maka nasihat kami (majoritias umat Islam) agar kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Janganlah memberi sifat-sifat yang serba kekurangan kepada Allah s.w.t. dengan mengikuti apa yang samar-samar dari Al-Qur’an karena sebelum ini, telah kita jelaskan bahwa, ada hadis Nabi s.a.w. mencela perbuatan tersebut.

Tidak ada dalil yang menunjukkan agar kita menetapkan jisim, batas, tempat, bentuk, dan anggota-anggota jisim kepada Allah s.w.t., bahkan terlalu banyak dalil yang mencela perbuatan tersebut dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan perkataan salafus soleh.

Allah s.w.t. Maha Suci daripada berjisim, bertempat, mempunyai ukuran tertentu dan sebagainya, yang merupakan sifat-sifat kekurangan.

Sheikh Ibn Taimiyah tidak memiliki sandaran kuat takkala menggariskan  dasar dasar kaidah yang menjadi pintu kepada faham tasybih dan tajsim yang dinukilkan sebelum ini.

Di manakah dalil beliau yang mengatakan bahwa: “Tidak ada majazi di dalam Al-Qur’an” sedangkan Allah s.w.t. menjelaskan adanya majaz di dalam Al-Qur’an kerana adanya mutasyabihat”?

Dimanakah dalil kaidah beliau yang mengatakan bahwa: “tidak ada nas yang dahirnya tidak layak bagi Allah s.w.t.”, sedangkan banyak nas yang telah disebutkan dan yang masih belum disebutkan di sini, yang membuktikan dhahir ayat membawa makna yang tidak layak bagi Allah s.w.t. yang hanya sekedar kiasan”?

Dimanakah dalil kaidah beliau yang mengatakan bahwa: “golongan salafus soleh tidak tafwidh dan tidak ta’wil” sedangkan begitu banyak contoh tafwidh dan ta’wil salafus soleh yang telah dinukilkan dalam  banyak pembahasan?

Di manakah dalil beliau takkala mengatakan bahwa: “Allah s.w.t. memiliki sifat-sifat a’yaan (keanggotaan tubuh)” takkala banyak ayat menafikan jisim bagi Allah s.w.t. yang mana ia merupakan sifat makhluk seperti yang dinukilkan sebelum ini?

Kesimpulan Pembahasan

Demikianlah, sedikit banyak, dapat kita fahami bahwa, Sheikh Ibn Taimiyah telah membuat beberapa garis panduan dan kaidah yang pada asalnya ingin mengkritik golongan Al-Asya’irah dengan alasan bahwa, golongan Al-Asya’irah tidak mengikut manhaj salafus soleh, lalu mengetengahkan satu versi salaf yang bertentangan dengan golongan Al-Asya’irah tersebut. Apabila dikaji kembali, versi salaf yang diketengahkan oleh Ibn Taimiyah, yang nampak bertentangan dengan Al-Asya’irah nampaknya bertentangan dengan manhaj asal salafus soleh juga, terutamanya dalam masalah yang kita bicarakan di sini.

Sekali lagi penulis yang faqir mengingatkan, bahwasanya bukan tujuan penulis untuk mencari kesalahan para ulama’, bahkan ulama’ besar seperti Sheikh Ibn Taimiyah, tetapi sekadar menjalankan amanah ilmiah, untuk membedakan yang betul daripada yang salah, agar mereka yang awam terselamat daripada fitnah, faham tasybih dan mujasssimah, yang telah menjisimkan Allah s.w.t..

Sebenarnya, pembahasan ini terlalu rumit untuk dibahaskan khususnya dalam Bahasa Melayu, karena berkaitan erat dengan Bahasa Arab itu sendiri. Namun, sedikit upaya dari Ilahi s.w.t., memberi ruang untuk penulis yang faqir ini berbagi hujah ilmiah, dalam memberi femahaman mereka yang mau faham akan yang betul dan yang mana yang salah, dalam pembahasan mutasyabihat dalam aqidah, agar mendapat manfaat sehingga bertemu Allah s.w.t. diDaar As-Sa’adah, dengan izin Allah s.w.t..

Sheikh Ibn Taimiyah suatu permata umat Islam yang berharga, yang mempunyai jasa, pada umat dan agamanya. Namun, manusia tetap manusia, yang tidak terlepas dari salah dan alpa. Kita membicarakan hal ini, jesteru untuk membantu beliau, dalam menyelamatkan mereka yang terfitnah daripada pintu yang dibuka oleh beliau. Sesungguhnya, “Sheikh Ibn Taimiyah laksana sahabatku, tetapi kebenaran itu lebih berhak untuk disahabati”.

Inilah satu permulaan buat penulis, dalam membicarakan masalah tasybih dan tajsim ini, kepada mereka yang layak untuk memahami perbincangan ini, dengan ilmu yang mencukupi. Ini pembahasan ilmiah, yang mampu difahami, hanya dengan kekuatan akal dan persediaan ilmu yang cukup. Jadi, jika seseorang tidak memahami pembahasan ini, maka tidak perlu khuatir karena, memang pembahasan ini agak tinggi, yang mana penting khususnya buat ahbab dan para sahabat serta penuntut ilmu yang lain.

Adapun nasihat penulis untuk yang awam, agar terus bersama sawadu a’zhom, yaitu majoritas umat Islam, karena merekalah goloangan yang selamat daripada kesesatan dan zholam (kegelapan). Mereka adalah golongan Al-Asya’irah dan Al-Maturidiyah dalam bidang aqidah dan Mazhab Imam yang Empat (Hanafi, Maliki, Syafi’e dan Hanbali) dalam masalah fiqh. Merekalah golongan ahlus sunnah wal jamaah. Janganlah percaya klaim yang menyatakan, golongan-golongan tersebut bukan Ahlus Sunnah wal Jamaah, padahal golongan-golongan tersebut berada dalam kesatuan sawadul a’zhom minal Ummah (majoritias umat Islam) yang dijamin oleh Rasulullah s.a.w. sebagai golongan yang selamat daripada kesesatan. Janganlah sudah awam, tidak faham ujung pangkal perbincangan, tiba-tiba menuduh penulis fitnah si fulan dan si fulan. Ini munaqosyah ilmiah, dengan nas-nas dan rujukannya. Hasya Lillah, untuk memfitnah para ulama’. Semoga Allah s.w.t. menyelamatkan kita daripada sikap tersebut. Jangan karena ta’asub, sanggup menuduh orang lain fitnah, walaupun tidak faham apa yang dibincangkan. Semoga Allah s.w.t. memahamkan kita, amin...

Sebenarnya, pertentangan antara Sheikh Ibn Taimiyah dan para pendukongnya adalah dengan golongan majoritas umat Islam itu sendiri, dan sebenarnya, penulis yang faqir ini pun tidak khuatir atas ancaman dan serangan mereka, terhadap majoritas umat Islam para , tetapi sekadar menjalankan tugas agama, untuk menyebarkan ilmu yang telah dipelajari kepada semua, dan menyekat fitnah dari golongan awam dari kalangan manusia.

yang penting, setiap pihak perlu terbuka, untuk mengakui kehilapan jika salah, dan menerima kebenaran walaupun ia datang dari mulut insan yang kerdil lagi hina, karena kebenaran itu, biar dari mana ia datang, ia pada hakikatnya tetap dari Allah s.w.t. untuk menyeru kita kembali kepadaNya dalam kebenaran. Siapa yang bersikap ego dan ujub, dan tidak mau mengakui kesalahan, maka ia akan terus jauh dari kebenaran,yang seterusnya jauh dari Tuhan s.w.t.. Semoga Allah s.w.t. mengampuni kesalahan penulis, amin.
Apa yang baik itu hanyalah dari Allah s.w.t., dan segala puji hanya bagiNya,

oleh Al-Faqir Al-Haqir ila Rabbihi Al-Qawiy Al-Jalil Al-Munazzah 'ani Tasybih wa Tajsim
Raja Ahmad Mukhlis bin Raja Jamaludin

Dan apa yang buruk itu dari kelemahan diri dan semoga Allah

Mengampuni dosa hambaNya yang penuh kefakiran ini

Di samping menerima segala amalan dan usahanya

Dalam menyebarkan amanah ilmu dan agama

Kepada seluruh umat Islam, seterusnya

Meridhai guru-guru penulis yang

Mulia, dengan keberkatan

Al-Mustofa Habibuna

Sidina Muhammad

Amin ya Rabb

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jenazah Tidak Wajib dimandikan Jika Bisa Mandi Sendiri

Hukum Menggunakan Jalan Umum untuk Hajatan Pernikahan

Pelaku Bom Bunuh Diri Bukan Mati Syahid