Bagaimana kita tahu bahwa wali bisa mendengar panggilan kita?"




Seseorang bertanya:  Anda tidak akan memanggil/menyeru orang yang sudah meninggal untuk meminta bantuan, kecuali jika Anda memiliki kepercayaan bahwa panggilan itu akan disampaikan. Hal ini karena jika hal itu di lakukan hanya dengan asumsi bahwa panggilan anda akan sampai pada almarhum,maka ini sama saja dengan mengklaim pengetahuan terhadap hal yang gaib. Oleh karena itu, boleh boleh saja mengirim Salam kepada Nabi Sal Allahu alaihi Salam karena ada hadits yang menyebutkan para malaikat membawa dan menyampaikan Salam kepadanya, tapi bagaimana kita tahu bahwa Imam Nawawi atau Awliya terbesar seperti Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani mendengar panggilan atau salam anda?

Jawaban: klaim pertama anda "Anda tidak akan memanggil orang yang sudah meninggal untuk meminta bantuan, kecuali jika Anda memiliki kepercayaan bahwa panggilan itu akan disampaikan " ini tidak mencegah orang dari memanggil mereka untuk di minta bantuan, karena seorang wali  mungkin saja di bukakan hijab oleh Allah sehingga bisa mendengar panggilan kita. Klaim kedua anda " dengan asumsi bahwa panggilan anda akan sampai pada almarhum,maka ini sama saja dengan mengklaim memiliki pengetahuan terhadap hal yang gaib " ini hanya berlaku jika seseorang mengklaim bahwa panggilannya pasti disampaikan, dan sedangkan ia tidak memiliki bukti apapun. Jadi seseorang yang menyebut atau memanggil almarhum untuk membantu,itu hanyalah harapan agar panggilan itu akan disampaikan. maka dua klaim yang anda berikan tidak mencegah atas bolehnya hal tersebut.

Wahabi berkata: Saya tidak memahami hal ini. Bagaimana seseorang boleh memberi salam  kepada seseorang yang telah meninggal dunia tanpa ada dalil/bukti?? Sejauh yang saya tahu, dan saya pikir kita semua pasti setuju, menebak itu bukan bukti/dalil dalam syariah.
Jadi apakah bukti untuk memperkuat ide anda? 

Komentar: Tidak ada yang mengatakan itu adalah bukti/dalil. Ini adalah tentang harapan, sama seperti ketika Anda berharap seseorang akan mendengar suara panggilan Anda dari jauh ketika anda memanggilnya. apalagi banyak dalil2 juga intrepetasi lain dari para muhaddis tentang para auliya atau orang shaleh bisa mendengar panggilan/seruan kita.atau klik di sini: ibnu-al-qayyim-al-jawziyyah-memberi legalitas menyeru orang wafat dan sebagai bantahan atas hujah bahwa orang mati tidak bisa mendengar,baca selanjutnya:

Mayat bisa mendengar

Wahaby berdasar pada ayat annaml 80: Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar seruan, apabila mereka telah berpaling membelakang". Tapi wahaby hanya mengambil ayat “Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang mati mendengar” dan tidak meneruskan ayatnya, padahal poin yg membantah paham wahaby adalah ayat berikutnya yaitu ” dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar seruan, apabila mereka telah berpaling membelakang”. Apabila yang dimaksud “almauta / org2 yg mati itu orang yg mati secara jasad, maka mana bisa mereka berpaling?.. Inilah kepicikan wahaby, yang dengan sekehendak hatinya memotong ayat, padahal ayat itu turun kepada orang kafir yg mati, dlam arti mati hatinya, dan orang yang tuli, bukan tuli yg sesungguhnya, tapi tuli dari mendengar yang haq. Kalo itu dimaknai tuli yang sesungguhnya, ya betapa bodoh nabi kita, orang tuli kok dipanggil2?,. Inilah kedangkalan wahaby dalam memahami nash2 alquran.

Berkata Imam Qurtubi dalam tafsirnya makna ayat ini bahwa yang dimaksud orang yang telah mati adalah orang kafir yang telah mati hatinya dengan kekufuran, dan Imam Qurtubi menukil hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim bahwa Rasul saw berbicara dengan orang mati dari kafir Quraisy yang terbunuh di perang Badr. (Tafsir Qurtubi Juz 13 hal 232)

Berkata Imam Attabari rahimahullah dalam tafsirnya bahwa makna ayat itu : bahwa engkau wahai Muhammad tak akan bisa memberikan kefahaman kepada orang yang telah dikunci Allah untuk tak memahami (Tafsir Imam Attabari Juz 20 hal 12, Juz 21 hal 55, )

Berkata Imam Ibn katsir rahimahullah dalam tafsirnya : “walaupun ada perbedaan pendapat tentang makna ucapan Rasul saw pada mayat mayat orang kafir pada peristiwa Badr, namun yang paling shahih diantara pendapat para ulama adalah riwayat Abdullah bin Umar ra dari riwayat riwayat shahih yang masyhur dengan berbagai riwayat, diantaranya riwayat yang paling masyhur adalah riwayat Ibn Abdilbarr yang menshahihkan riwayat ini dari Ibn Abbas ra dengan riwayat Marfu’ bahwa : “tiadalah seseorang berziarah ke makam saudara muslimnya didunia, terkecuali Allah datangkan ruhnya hingga menjawab salamnya”, dan hal ini dikuatkan dengan dalil shahih (riwayat shahihain) bahwa Rasul saw memerintahkan mengucapkan salam pada ahlilkubur, dan salam hanyalah diucapkan pada yang hidup, dan salam hanya diucapkan pada yang hidup dan berakal dan mendengar, maka kalau bukan karena riwayat ini maka mereka (ahlil kubur) adalah sama dengan batu dan benda mati lainnya.

Dan para salaf bersatu dalam satu pendapat tanpa ikhtilaf akan hal 
ini, dan telah muncul riwayat yang mutawatir (riwayat yang sangat banyak) dari mereka, bahwa Mayyit bergembira dengan kedatangan orang yang hidup ke kuburnya”. Selesai ucapan Imam Ibn Katsir (Tafsir Imam Ibn Katsir Juz 3 hal 439).


ayat dengan keterangan yg sama terdepat di Surat Faathir ayat 14, yang artinya; Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui. (QS. 35:14)

dalam beberapa kitab tafsir, disana dijelaskan bahwa ayat itu tidak ada kaitannya dengan orang mati bisa mendengar atau tidak. Ayat ini, sebenarnya diarahkan kepada orang kafir yang tidak mendengarkan dakwah nabi, jadi bila penggunaan ayat ini dijadikan sebagai dalil bahwa orang mati tidak bisa mendengar, sangat bertentangan dengan maksud dari isi yang terkandung dalam ayat di atas.

Adapun ayat 22 dari surat Fathiir, yang artinya;….. dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar. (QS. 35:22) (ayatnya dipotong disini)

Justru ayat ini, jika di kaitkan dengan potongan ayat sebelumnya, yang berbunyi; ” Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberikan pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya…… “.Menjadi dalil kuat bahwa orang mati dapat mendengar,hanya saja mereka tidak bisa menjawab.. Dan yang membuat mereka bisa mendengar adalah Allah swt. Nabi atau siapapun tidak punya kekuasaan untuk itu.

Bukti orang mati bisa mendengar, Rasul saw berbicara kepada yang mati sebagaimana selepas perang Badr, Rasul saw mengunjungi mayat mayat orang kafir, lalu Rasulullah saw berkata : “wahai Abu Jahal bin Hisyam, wahai Umayyah bin Khalf, wahai ‘Utbah bin Rabi’, wahai syaibah bin rabi’ah, bukankah kalian telah dapatkan apa yang dijanjikan Allah pada kalian…?!, sungguh aku telah menemukan janji tuhanku benar..!”, maka berkatalah Umar bin Khattab ra : “wahai rasulullah.., kau berbicara pada bangkai, dan bagaimana mereka mendengar ucapanmu?”, Rasul saw menjawab : “Demi (Allah) Yang diriku dalam genggamannya, engkau tak lebih mendengar dari mereka (engkau dan mereka sama sama mendengarku), akan tetapi mereka tak mampu menjawab” (shahih Muslim hadits no.6498).

Rasulullah saw, beliau saw bersalam dan berdoa di Pekuburan Baqi’, dan berkali kali beliau saw melakukannya, demikian diriwayatkan dalam shahihain Bukhari dan Muslim, dan beliau saw bersabda : “Dulu aku pernah melarang kalian menziarahi kuburan, maka sekarang ziarahlah”. (Shahih Muslim hadits no.977 dan 1977).
Para nabi hidup dalam kubur mereka 

Para nabi, demikian pula orang-orang yang mati syahid, hidup dalam kubur mereka dengan kehidupan alam barzakh. Mereka mengetahui apa yang dikehendaki Allah untuk mereka ketahui, yang terkait dengan keadaan-keadaan alam ini, Al-Qur’an yang mulia menegaskan adanya kehidupan orang-orang yang mati syahid di alam barzakh mereka.

Allah SWT berfirmah, “Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah (mereka) telah mati. Sebenarnya (mereka) hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” – QS Al- Baqarah (2): 154.

Tidak diragukan bahwa kehidupan para nabi AS dan orang-orang pilihan yang mewarisi mereka lebih utuh dan lebih sempuma daripada kehidupan orang- orang yang mati syahid, karena mereka memiliki tingkatari yang lebih tinggi diban- ding orang-orang yang mati syahid.

Dalilnya adalah firman Allah SWT, “Maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberi nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” – QS An-Nisa’ (4): 69.

Apakah adanya kehidupan mereka juga dinyatakan dengan jelas dalam as-sunnah?

Ya, dalam hadjs-hadis sahih dinyata­kan bahwa mereka tetap dalam kondisi hidup dan bahwasanya bumi tidak memakan jasad mereka. Dari Anas RA, Nabi SAW bersabda, “Pada malam saat aku mengalami isra’, aku menemui Musa yang sedang berdiri di atas kubur- nya di bukit pasir merah.” – Disampaikan oleh Muslim (2385).

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya di antara hari-hari kalian yang paling utama adalah hari Jum’at. Maka, perbanyaklah shalawat kepadaku, karena sesungguhnya shalawat kalian di­sampaikan kepadaku.”

Para sahabat bertanya, “Bagaimana shalawat kami disampaikan kepadamu sedang engkau sudah menjadi tulang belulang?” Maksudnya, sudah usang.

Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan bagi bumi memakan ja­sad para nabi.” – Disampaikan oleh Abu Daud (1047), An-Nasa’i (1374), Ibnu Majah (1085), Ad-Darimi (1572), dan Ahmad (4: 8) dari hadits Aus bin Aus RA. Isnadnya shahih menurut Al-Allamah Arnauth dalam penjelasannya terhadap Al-Musnad.

Disebutkan pula dalam riwayat bah­wa mereka pun shalat dan berlaku seperti kehidupan mereka. Di antaranya adalah sabda Nabi SAW, “Para nabi hidup di kubur mereka, mereka shalat.” Disampaikan oleh Abu Ya’la dalam kitabnya, Al-Musnad (6:147), dari hadits Anas bin Malik RA. Pentahqiqnya mengatakan, “Isnadnya shahih.”

Ulama mengatakan, ini tidak bertentangan dengan ketentuan yang menyatakan bahwa akhirat bukan negeri taklif (pembebanan) kewajiban tidak pula amal. Namun demikian amal dapat terjadi tanpa ada pembebanan, tapi hanya untuk dinikmati.

Sebagaimana kehidupan para nabi AS yang telah dipaparkan di atas juga tidak bertentangan dengan sabda Nabi SAW, “Tidaklah ada seorang yang memberi salam kepadaku melainkan Allah merigembalikan ruhku kepadaku hingga aku dapat menjawab salamnya.” – Disam- paikan oleh Abu Daud (2041), Ahmad (2: 527), dan Baihaqi dalam Asy-Syu’ab (2: 215) dari hadits Abu Hurairah RA.

Makna pengembalian di sini adalah pengembalian makna ruh dari segi bah­wa Rasulullaji SAW merasakan adanya salam dari seorang di antara umat beliau yang memberi salam kepada beliau. Hadits ini mengungkapkan sebagian (dengan lingkup kalimat ruh), namun yang dimaksud adalah keseluruhan (diri Rasulullah SAW secara utuh). Dalam hadits ini terdapat kata yang dinisbahkan tapi tidak disebutkan, yaitu maksudnya: Allah mengembalikan makna ruh atau hal-hal yang berkaitan dengannya, se­perti bicara. Allah lebih mengetahui.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hukum Menggunakan Jalan Umum untuk Hajatan Pernikahan

Jenazah Tidak Wajib dimandikan Jika Bisa Mandi Sendiri

Pelaku Bom Bunuh Diri Bukan Mati Syahid