Amaliah dhohir bukanlah bagian dari Iman





Wahabi berkata:
dalam masalah iman: Asyariyah berpendapat bahwa iman hanya sebatas pengakuan semata, sama dangannya pendapat Maturidiyah, walaupun sebagian Asyariyah menambahkan ucapan dengan lisan. Sedangkan Ahlus Sunnah berkata, Iman adalah keyakinan dalam hati, pengikraran dengan lisan dan pembuktian dengan amal perbuatan. 
Kita buktikan apakah benar ahlussunah mendefinisikan iman dengan keyakinan dalam hati, pengikraran dengan lisan dan pembuktian dengan amal perbuatan.dan benarkah asyariyah berpendapat bahwa iman hanya sebatas pengakuan semata, atau dengan iqrar sahadat juga?????????????

Kita simak:
Asy’ariyah berpendapat iman adalah Tasdiq yakni merupakan pengakuan dalam hati yang mengandung ma’rifah terhadap Allah (qaulun bi al-nafs ya tadhammanu a’rifatullah). Mengenai penuturan dengan lidah (iqrar bi al-lisan) merupakan syarat iman,itu hanya untuk berlaku hukum-hukum islam kepadanya, tetapi tidak termasuk hakikat iman yaitu tashdiq . argumentasi mereka istilah al-nahl, ayat 106.

من كفر بالله من بعد أيمانه الأمن أكره و قلبه مطمئن بالإيمان

: Seseorang yang menuturkan kekafirannya dengan lidah dalam keadaan terpaksa, sedangkan hatinya tetap membenarkan Tuhan dan rasul-Nya.

orang seperti ini tetap dipandang mukmin. Karena pernyataan lidah itu bukan iman tapi amal yang berada di luar juz ’iman. Seseorang yang berdosa besar tetap mukmin karena iman tetap berada dalam hatinya. Jika seseorang sudah tashdiq (membenarkan/meyakini) akan adanya Allah,dan mengakui apa yang di bawa oleh Rasul SAW maka ia sudah disebut beriman,walau pun karena malas ia tidak pernah melakukan iibadah-ibadah dhohir seperti shalat dll.

ADAPUN Konsep iMAN yang dianut oleh Mu’tazilah, Khawarij adalah tashdiq di dalam hati, ikrar dengan lisan, dan dibuktikan dengan perbuatan, konsep ketiga ini mengaitkan perbuatan manusia dengan iman,dan konsep inilah yang di pegang wahabi masa kini........Menurut mereka Jadi, orang yang membenarkan (tashdiq) tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban itu tidak dikatakan mukmin..alias orang itu kafir


Adalah sebagian dari iman untuk menyakini bahwa ibadah adalah suatu kewajiban. Meyakini dan melaksanakan adalah dua konsep berbeda yang seharusnya tidak diributkan/dibingungkan antara satu dengan lainnya. Siapapun dia meskipun dia telah meyakini tetapi karena dia malas lalu tidak mengamalkan apa yang telah dia yakini, maka ia tidak dihukumi kafir. Wahabi tidak dapat memahami hal ini, dia menganggap jutaan orang muslim adalah kafir ketika tidak melakukan ibadah dhohir. Meskipun seseorang yang memanggil seorang muslim sebagai kafir menjadi kafir juga, mereka yang memanggil dengan penggilan demikian dengan ta’wil tidak menjadi kafir.


Bait yang ke-45 dari buku terkenal ‘Qasidat al-Amali’ [Nuhbat al-la’ali, catatan penting berbahasa arab dari qasida ini diterbitkan di istambul pada tahun 1975] menyatakan bahwa dzatiyah (ibadah) bukanlah hakikat iman. Al-Imam Al-Azam Abu Hanifah menyatakan bahwa perbuatan bukanlah bagian dari iman. Iman berarti keyakinan. Tidak ada kesedikitan ataupun kelebihan dalam keyakinan.ibadah hanyalah penyempurna iman , Oleh karena itu, keyakinan berbeda dengan ibadah. Selain itu, ayat Al-Qur’an menyatakan: “mereka yang yakin dan mereka yang melakukan amal kebajikan,ini menunjukkan bahwa ibadah dan iman adalah berbeda. Ayat yang lain menyatakan, bahwa “mereka yang yakin melakukan amal kebajikan” menunjukkan dengan jelas bahwa perbuatan terpisah dari keyakinan. Karena ketetapan harus berbeda dari apa atau siapa yang ditetapkan; maka telah disepakati bahwa seseorang yang memiliki keyakinan atau iman lalu mati dan tidak sempat untyuk melakukan suatu amal ibadah satu pun tetaplah seoarang yang berkeyakinan[beriman]. 


Imam Ahmad, Imam Asy-Syafi’I, dan para Ahli Hadis menyatakan bahwa ibadah adalah sebagian dari iman dan iman akan meningkat dan menurun. Dan jika iman dan ibadah adalah 2 hal yang terpisah maka iman dari para nabi (alaihimus salawatu wa ‘t-taslima) dan para “pencetak” dosa adalah sama. Mereka mengatakan bahwa ayat : “iman mereka meningkat ketika mereka mendengar ayatKu”, dan hadist : “iman ketika meningkat akan membawa pemiliknya ke syurga dan akan membawa pemiliknya ke neraka ketika iman menurun’’,sehingga mereka mengartikan dari ayat dan hadis tersebut bahwa iman akan meningkat dan menurun. Lama sebelum, Al-Imam Al-A’zam (rahmat-allahi ta’ala ‘alaih) memberikan informasi bahwa maksud meningkatnya iman adalah berarti keawetan iman. Imam Malik ra. juga sependapat. Namun maksud Imam Ahmad,As syafii bahwa iman itu bisa bertambah dan bekurang itu bukan berati keyakinannya bertanbah atau berkurang karena percaya itu adalah kemantapan hati,jika kemantapan/iman berkurang,maka itu bukanlah iman tapi kaffir,misal kepercayaan pada allahnya berkurang,maka jelas itu kafir, berarti maksud meningkatnya iman menurut mereka adalah bertambahnya jumlah sesuatu yang dipercayai.karena Para Sahabat, misalnya pada awalnya hanya memiliki sedikit hal untuk dipercayai karena ayat2 allah turun tidak sekaligus, dan saat perintah-perintah baru dan hal baru yang gaib berdatangan, Iman merekapun meningkat. Meningkatnya iman berarti penambahan apa yang di imani. adapun ibadah itu cuma menujukan akan menurun dan naiknya iman .jadi kedua pendapat yang berbeda itu cuma beda lafad saja adapun maksudnya adalah sama yakni ibadah bukanlah bagian dari iman ,tetapi cuma sebatas penyempurna iman atau cuma menunjukan akan naik dan turunnya iman saja.Informasi lebih jelas dapat dibaca di kitab Sharh-I Mawaqif dan Hawharat Al-Tauhid.

Dan dikatakan : “seseorang sahabat tidak hentinya meminum anggur maka ia dihukum dengan hukuman cambuk yang disebut hadd”. Ketika beberapa sahabat mengutuknya, Rasulullah berkata : ‘janganlah mengutuknya ! Karena ia mencintai Allah dan Rasul-Nya’. Rasul SAW juga menyakinkan bahwa seorang muslim yang melakukan dosa tidak menjadi kafir. Hadist yang mulia ini membantah pernyataan kaum wahabi-salafi yang menyatakan bahwa muslim yang melakukan dosa besar atau yang tidak melaksanakan fardu akan menjadi kafir. Juga dibuktikan oleh hadist ash-sharif bahwa orang yang memiliki iman tidak melakukan zina (pemerkosaan). Ia tidak mencuri bukan dimaksudkan pada iman itu sendiri melainkan kedewasaannya.


Imam Ayni r.a dalam komentarnya terhadap kitab shahih Bukhari mengatakan bahwa Para Muhaqiqqin atau para ulama besar seperti Imam Abu Hasan al-Asy’ari, Imam Abu Ishaq Ibrahim al-Isfarani, Imam Husain ibn Fadl dan masih banyak lainnya mengatakan bahwa Iman adalah keyakinan yang diterima oleh hati dalam fakta-fakta yang diungkapkan dengan jelas. Bukanlah iman dengan mengatakannya dengan lidah atau melaksanakan ibadah.misal orang munafiq mereka bersahadat juga melakukan ibadah dhohir,tapi karena hatinya tidak tasdiq,maka mereka bukanlah orang mukmin. Imam Sad ad-din at-Taftazani r.a juga menulis dalam Syarh ‘Aqaidnya dan meriwayatkan bahwa ulama seperti Shams Al-Aimma dan Fakhr Al-Islam ‘Ali Al-Bazdawi r.a mengatakan bahwa adalah suatu keharusan untuk membenarkannya dengan lidah. Pengungkapan iman yang ada dalam hati adalah keharusan karena dapat membantu orang Islam saling mengenal satu sama lain juga untuk berlakunya hukum islam padanya. Seorang muslim yang tidak mengatakan sahadat, dirinya bukanlah orang yang tidak beriman,ia tetap seorang yang beriman pula. 

Sebagian besar ulama, seperti Al-Imam Abu Hanifah r.a mengatakan bahwa amal ibadah tidak termasuk iman. Meskipun Imam Ali r.a dan Imam Syafi’I rahimahullah mengatakan bahwa iman itu meyakini, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan perbuatan, toh faktanya maksud dari perkataan mereka [Imam Ali r.a dan Imam Syafi’I] maksudnya adalah menjelaskan kematangan dan kesempurnaan dalam iman. maka Merupakan suatu kesepakatan bahwa seorang yang berkata bahwa ia memiliki iman dalam hatinya adalah seorang mukmin. Imam Rukn as-din Abu Bakr Muhammad al-Kirmani mengatakan dalam komentarnya terhadap kitab Shahih Bukhari bahwa bila ibadah dianggap sebagai bagian dari iman, maka iman akan meningkat dan menurun, Keyakinan yang meningkat dan menurun itu sudah bukan iman tetapi keragu-raguan atau perasaan was-was. Imam Muhyiddin Yahya An-Nawawi r.a berkata bahwa iman setiap orang berbeda-beda. Pernyataan ini tertuju pada kekuatan atau kelemahan iman, dan bukan berarti bahwa iman itu meningkat atau menurun. Hal tersebut sama halnya dengan orang yang sakit dan orang yang sehat, mereka tidak sama kuatnya tetapi keduanya adalah manusia dan kemanusiaan mereka tidak meningkat atau menurun.

Al-Imam Abu Hanifah ra. menjelaskan tentang ayat-ayat dan hadits-hadits terkait dengan iman yang di jadikan hujah bahwa iman meningkat dan menurun,dan bahwa amal adalah bagian dari iman sebagai berikut: Para Sahabat ketika memeluk Islam meyakini segala sesuatunya sebagai kesatuan. Kemudian banyak hal baru menjadi wajib (fard) dalam kurun waktu tertentu. Mereka meyakini perintah-perintah tersebut satu persatu. Oleh karenanya, keyakinan mereka meningkat secara berangsur-angsur. Hanya hal inilah yang dibenarkan oleh para Shahabat yang mulia. 


– Keimanan Mereka tidak Sempurna


Imam ‘Abd al-Ghani an-Nablusi r.a mengatakan bahwa secara singkat yang turun itu bukanlah iman, melainkan kekuatan iman yang melemah dan menurun. Dengan kata lain, peningkatan dan penurunan iman berarti kesempurnaannya atau tingkatannya. Tetapi penulis Wahabi menyatakan bahwa seorang itu kafir atau menganut lebih dari 1 agama yang meyakini ibadah tetapi malas dan tidak melaksanakan ibadah.
Imam Muhammad Al-Hadimi r.a dalam kitab Bariqa-nya menulis: “Iman tidak termasuk pada ibadah”. Sebaliknya Imam Jalal ad-din ad-Dawani berkata bahwa Mu’tazilah menyatakan ibadah sebagai bagian dari iman (sebagaimana yang diklaim salafi-wahabi bahwa perbuatan adalah bagian dari Iman -pen) .
Al-Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Abu Bakr, Ahmad ar-Razi dan masih banyak lagi mujtahid lain menyatakan bahwa iman tidak meningkat karena amal ibadah dan tidak menurun karena berbuat dosa, karena iman berarti kepercayaan yang menyeluruh dan oleh karena itu iman berarti kepercayaan menyeluruh sehingga iman tidak menurun maupun meningkat,karena Meningkatnya iman dalam hati atau menurunnya,itu adalah rasa ingkar, lawan dari keyakinan, yang hal seperti ini tidaklah mungkin. Imam Syafi’I dan Abu Hasan al-Ansyari r.a menyatakan bahwa iman akan meningkat dan menurun, Tetapi dijelaskan dalam kitab Mawaqif bahwa yang di maksud dari perkataan As Syafii bahwa iman meningkat atau menurun itu adalah kekuatan iman, iman seorang nabi dan iman umatnya tidaklah sama. Iman dari seorang yang dengan niatnya dan pengetahuannya telah mempelajari dan meyakini apa yang dia dengar berbeda dengan iman dari seseorang yang baru saja meyakini apa yang dia dengar. Telah termaktub dalam Al-Qur’an bahwa Nabi Ibrahim menginginkan ketenangan dalam hatinya atau keyakinan. Dalam kitabnya Fiqh Al-Akbar Imam Abu Hanifah menulis : ”Iman seseorang disurga (malaikat) dan dibumi (manusia dan jin) tidak bertambah atau berkurang dalam meyakini fakta-fakta yang dipercayai (hal.4). iman semakin kuat atau menurun karena ketenangan atau keyakinan. Dengan kata lain, kekuatan iman meningkat atau menurun. Tetapi bukanlah DZATIYAH iman itu sendiri, maka oleh sebab itu ibadah bukan bagian iman tapi cuma penyempurna iman,dan tidak berpungsi jika tanpa keyakinan .

Al-Imam ar-Rabbani al-Faruqi as-Sirhindi r.a menulis disurat yang ke-266 dalam kitabnya Maktubat: “Karena iman adalah keyakinan dan dikuatkan dalam hati, iman tidak meningkat atau menurun. Keyakinan yang meningkat atau menurun tidak disebut iman melainkan prasangka. Iman menjadi bercahaya dan berkilauan ketika seseorang beribadah dan melaksanakan apa-apa yang disukai Allah ta’ala. Dan iman menjadi suram dan ternoda ketika seseorang berbuat dosa. Jadi, peningkatan atau penurunan Iman adalah perubahan cahaya dan kilauan karena perbuatan dan tidak ada penurunan atau peningkatan dalam iman itu sendiri’’. Beberapa orang yang mengatakan bahwa keyakinan akan meningkat atau menurun berpendapat bahwa kilauan sinar iman lebih dari iman yang suram dan menganggap iman yang suram bukanlah iman. Bahkan mereka menganggap iman yang bersinar. Pada sebagian orang inilah iman yang benar tapi iman yang demikian sedikit dimiliki orang. Iman seperti ini layaknya dua kaca dengan kilauan cahaya yang berbeda dan kaca yang memantul jelas dikarenakan cahayanya yang lebih bersinar dari pada yang bersinar redup. Beberapa orang lainnya berpendapat bahwa dua kaca tersebut sama tetapi cahayanya dan gambar-gambar yang dipantulkan berbeda. Mereka dengan perbandingan pertama hanya melihat pada sisi luarnya saja dan tidak melihat inti masalahnya.
Dalam buku Wahabi yang mengutip sebuah hadits,” Iman seseorang tidaklah lengkap kecuali ia mencintai-Ku lebih dari mencintai anak-anaknya, orang tuanya dan semua orang’’. Cinta ada dalam hati dan cinta adalah fungsi dari hati. Oleh karenanya, hadits ini menjelaskan bahwa amal dan ibadah adalah bagian dari iman . pADAHAL Cinta bukanlah suatu fungsi melainkan sifat hati. Meski kita menganggap bahwa cinta adalah fungsi hati, tidak bisa dikatakan bahwa kerja tubuh atau organ adalah kerja hati (hati disini arti sebenarnya adalah jantung atau hati?).

Seseorang yang melakukan dosa besar pasti dihukum, seseorang yang masih akan melakukannya atau berniat dalam hati akan berbuat keburukan tidak akan dihukum. Amal yang baik dari hati ialah meyakini dan amal buruk ialah tidak meyakini atau tidak memiliki keyakinan. Tidak berkeyakinan bukanlah amal perbuatan dari tubuh. Berbohong misalnya adalah perbuatan haram (dilarang) dan seseorang yang berbohong berarti berbuat buruk, tetapi bukan karena itu ia menjadi kafir. Seseorang yang suka berbohong atau tidak meyakini bahwa berbohong adalah haram itulah yang menjadikannya kafir.

Maka jelas perbedaan pendapat antara yang menyebutkan amal itu sebagian dari iman atau pun bukan dari iman itu inti maksudnya sama,yang berkata amal sebagian dari iman yakni penyempurna iman saja bukan dzatiyah iman,dan adapun yang berkata bukan bagian dari iman,karena iman tidak akan berkurang atau naik dengan ibadah toh iman jika berkurang,maka bukan iman lagi tapi ingkar atau prasangka...maka fahamilah.......adapun hadis atau ayat yang menunjukan iman naik atau berkurang,maksunya adalah bertambah jumlah yang di imani sebagaimana penjelasan di atas........

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hukum Menggunakan Jalan Umum untuk Hajatan Pernikahan

Jenazah Tidak Wajib dimandikan Jika Bisa Mandi Sendiri

Pelaku Bom Bunuh Diri Bukan Mati Syahid