Haram Memakai Kain Di bawah Mata Kaki (Isbal) Dengan Niat Sombong dan Makruh Jika Tidak Sombong
Ngaji.web.id - Isbal adalah menurunkan ujung kain ke bawah mata kaki. Hukumnya adalah makruh jika tidak dengan maksud sombong dan haram jika dengan maksud sombong. Berikut pendapat ulama mengenai hukum isbal, yaitu antara lain :
1. Berkata Qalyubi :
“Disunatkan pada lengan baju memanjangnya sampai kepada pergelangan tangan dan pada ujung kain sampai kepada separuh betis. Makruh melebihi atas mata kaki dan haram dengan niat sombong”.[1]
2. Berkata An-Nawawi :
“Dhahir hadits yang membatasi menurun kain dengan adanya sifat sombong, menunjukkan bahwa hukum haram itu khusus dengan adanya sifat sombong”. [2]
3. Berkata an-Nawawi dalam Raudhah al-Thalibin :
“Haram memanjang pakaian melewati dua mata kaki dengan kesombongan dan makruh dengan tanpa kesombongan. Tidak beda yang demikian pada shalat atau lainnya. Celana dan kain sarung pada hukum pakaian.”[3]
Berdasarkan keterangan di atas, menurunkan ujung kain kepada bawah mata kaki (isbal), hukumnya adalah makruh apabila tidak dengan sombong dan haram apabila dengan sikap sombong. Dalil kesimpulan ini adalah sebagai berikut :
1. firman Allah :
Artinya : Wahai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kalian pakaian untuk menutupi aurat kalian dan pakaian indah itu perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda kebesaran Allah. Mudah-mudahan mereka selalu ingat. (QS Al A'raf -26)
2. firman Allah :
Artinya : Dan janganlah engkau berjalan diatas muka bumi ini dengan sombong, karna sesungguhnya Allah SWT tidak suka kepada setiap orang yang sombong lagi angkuh.(Q.S. Luqman: 18 )
3. sabda Nabi SAW :
Artinya : Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah SWT tidak akan melihatnya di hari kiamat. ( HR Bukhari)[4]
4. sabda Nabi SAW :
Artinya : Allah tidak akan melihat pada hari kiamat nanti orang-orang yang menurunkan kain sarungnya karena sombong (H.R. Bukhari).[5]
5. sabda Nabi SAW : :
Artinya : Apa saja yang berada di bawah mata kaki berupa sarung, maka tempatnya di neraka.(H.R. Bukhari) [6]
Setelah menyebut beberapa hadits yang senada dengan di atas, Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“ Ithlaq ini dimaknai sesuai dengan hadits-hadits yang datang yang membatasi dengan sifat sombong”[7]
6. Rasullullah SِAW bersabda :
Artinya : Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah SWT di hari kiamat, yaitu: pengungkit pemberian yang tidak memberi sesuatu kecuali mengungkit-ungkitnya, orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu dan seseorang yang melakukan isbal (menurunkan) kain sarungnya (H.R. Muslim) [8]
Imam Nawawi dalam mensyarah hadits di atas, mengatakan :
“ Adapun sabda Nabi SAW almusbil izaarahu, maknanya adalah yang menurun ujung sarungnya karena sombong sebagaimana datang tafsirannya pada hadits lain, yaitu :
Artinya : Allah tidak akan melihat kepada orang yang menurunkan kainnya karena sombong
Khuyala’ adalah sombong. Menurunkan kain yang dihubungkan dengan sikap sombong ini mengkhususkan keumuman perkataan musbil izarahu dan menunjukkan bahwa orang yang dimaksudkan dengan ancaman itu adalah orang-orang yang menurunkan ujung kain sarungnya dengan sikap sombong”.[9]
7. Sabda Rasulullah SAW :
Artinya : Barang siapa yang menurunkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat. Lalu berkara Abu Bakar : “Wahai Rasulullah, sarungku sering melorot (lepas ke bawah) kecuali aku benar-benar menjaganya. Maka beliau bersabda :"Engkau tidak melakukannya karena sombong”.(H.R. bukhari) [10]
Menurut hemat kami, kemakruhan isbal dengan sikap tidak sombong adalah karena dengan isbal dikuatirkan sulit terpelihara dari bersentuhan dengan najis atau adanya isbal dikuatirkan terjadi sikap sombong.
Apakah memakai kain di bawah mata kaki (isbal) membatalkan shalat
Untuk menetapkan bahwa sesuatu itu membatalkan shalat, tentu diperlukan dalil-dalil agama yang menerangkannya. Sejauh ini kita belum menemukan dalil, baik al-Qur’an maupun hadits, ataupun keterangan ulama yang menjelaskan bahwa memakai kain di bawah mata kaki dapat membatalkan shalat. Sedangkan hukum menggunakan kain di bawah mata kaki (isbal), hukumnya adalah hanya makruh dan keharamannya hanya apabila dengan sikap sombong, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Kalaupun kita berpendapat bahwa isbal tersebut adalah haram (sekali lagi, ini seandainya), ini juga belum tentu menunjukkan bahwa isbal tersebut dapat membatalkan shalat. Banyak sekali kasus dalam fiqh Islam dimana perbuatan haram tidak membatalkan shalat seperti haram berwudhu’ dengan air rampasan, namun wudhu’nya sah.[11] dan shalat pada tempat yang dirampas.[12] Hal ini karena haram tidak identik dengan tidak sah. Bisa saja sesuatu perbuatan haram, tetapi ia sah. Karena itu, dalam ilmu ushul fiqh ada pembahasan khusus tentang apakah larangan (haram atau makruh) dapat menjadikan sesuatu fasid (tidak sah)? Jawabannya sebagai berikut :
Zakariya al-Anshari mengatakan dalam kitab ushul fiqh karya beliau, Ghayatul Wushul, sebuah kitab yang menjadi rujukan dalam bidang ilmu ushul fiqh bagi kalangan Mazhab Syafi’i di Indonesia dan dunia Islam umumnya, sebagai berikut :
Artinya : Menurut pendapat yang lebih shahih mutlaq Nahi (larangan) meskipun larangan tersebut makruh tanzih merupakan petunjuk kepada fasid (tidak sah) yang dilarang itu pada syara’, jika larangan itu kembali kepada dirinya ( ’ainnya), kembali kepada juzu’nya, atau kembali kepada lazimnya ataupun tidak diketahui tempat kembalinya.[13]
Penjelasannya sebagai berikut :
1. Larangan dapat menjadi petunjuk kepada tidak sah yang dilarang itu apabila memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut :
a. Larangan itu kembali kepada diri (’ain) yang dilarang, seperti larangan shalat dan puasa atas orang yang berhaid. Alasan pelarangannya ini adalah karena shalat dan puasa disyaratkan suci dari haid. Dengan demikian, alasan pelarangannya kembali kepada diri shalat dan puasa itu sendiri.
b. Larangan itu kembali kepada juzu’ yang dilarang, seperti seperti larangan menjual buah-buahan yang belum jadi buah, masih dalam bentuk bunga melekat di batangnya. Alasan larangan ini karena belum ada benda yang dijual (salah satu rukun jual beli, yakni juzu’ akad jual beli)
c. Larangan itu kembali kepada lazim dari yang dilarang (sesuatu dimana yang dilarang itu tidak dapat lepas darinya), seperti larangan menjual satu dirham dengan harga dua dirham. Alasan pelarangannya karena tambahan yang lazim dengan sebab disyaratkan pada akad. Dan seperti shalat pada waktu makruh, dimana larangannya adalah karena waktu fasid yang lazim bagi shalat dengan mengerjakannya dalam waktu tersebut. Ini berbeda dengan mengerjakan shalat pada tempat makruh seperti kamar mandi, maka tidak menjadikan shalatnya tidak sah, karena tempat makruh tidak lazim bagi shalat dengan sebab mengerjakannya pada tempat itu. Hal ini dikarenakan dimungkinkan kamar mandi itu dirobah menjadi bentuk lain seperti mesjid.
d. Apabila tidak diketahui tempat kembalinya, maka larangan ini juga dapat menyebabkan tidak sah yang dilarang itu.
Adapun larangan yang tidak termasuk dalam kriteria tersebut di atas, maka tidak dapat mengakibatkan batal yang dilarang itu, contohnya antara lain :
1. Wudhu’ dengan air rampasan, dimana larangannya karena menghilangkan harta orang lain dengan sengaja. Wudhu’nya tetap sah, karena larangannya dilihat dari hal diluar wudhu’ dan tidak lazim baginya.
2. Jual beli pada waktu azan Jum’at, jual beli tersebut haram, namun akadnya tetap sah. Hal ini karena alasan larangan jual beli tersebut adalah menghilangkan kesempatan shalat Jum’at. Sedangkan menghilangkan kesempatan shalat Jum’at dapat juga terjadi bukan karena jual beli sebagaimana jual beli dapat terjadi tanpa ada menghilangkan kesempatan shalat Jum’at.
Penjelasan di atas beserta contoh-contohnya merupakan rangkuman dari kitab Ghayatul Wushul [14] dan dalam Jam’ul Jawami’ karya al-Subki dan syarahnya karya Jalaluddin al-Mahalli[15] Jalaluddin al-Mahalli dalam kitab ushul fiqhnya, Syarah Warqaat menyebut kedua contoh di atas sebagai contoh larangan karena suatu sifat eksternal yang tidak lazim bagi yang dilarang. Sedikit sebelumnya beliau mengatakan :
”Apabila larangan itu karena suatu sifat eksternal yang tidak lazim bagi yang dilarang, maka larangan itu tidak menunjuki kepada fasid.”[16]
Nah sekarang bagaimana dengan masalah memakai kain yang menutup mata kaki (isbal), seandainya isbal tersebut dilarang, apakah larangan itu dapat mengakibatkan batal shalat apabila dipakai dalam shalat ?
Jawab :
Seandainya kita berpendapat dilarang shalat dengan memakai isbal, maka memakai isbal tersebut tidak mengakibatkan tidak sah shalat. Karena larangan shalat dengan memakai isbal adakalanya karena sombong, kuatir dapat jatuh dalam sombong atau kuatir kena najis. Ketiga-tiga alasan tersebut tidak termasuk dalam katagori ’ain shalat, bagian shalat atau sesuatu yang lazim dari shalat, ataupun sesuatu yang tidak diketahui tempat kembali larangannya, tetapi merupakan suatu sifat eksternal yang berada diluar shalat yang tidak lazim bagi shalat atau dalam istilah ushul disebut :
Disebut tidak lazim bagi shalat, karena sifat sombong, kuatir jatuh dalam sombong dan kuatir kena najis dapat berwujud tanpa shalat dan juga sebaliknya, shalat dapat berwujud tanpa ada sifat-sifat tersebut.
Dengan demikian, larangan shalat dengan isbal tidak mengakibatkan tidak sah shalat, sebagaimana tidak mengakibatkan tidak sah wudhu’ dengan air rampasan dengan sebab dilarangnya dan tidak mengakibatkan tidak sah jual beli pada waktu azan Jum’at dengan sebab dilarangnya.
Ada yang mengatakan, batal shalat apabila seseorang menggunakan kain yang dapat menutup mata kaki (isbal) dengan berargumentasi dengan hadits riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah, beliau berkata :
Artinya : Manakala seorang laki-laki melaksanakan shalat dalam keadaan ujung kain sarungnya menutup mata kakinya (isbal), pada ketika itu, Rasulullah SAW berkata : “Pergilah engkau berwudhu’”, maka dia pergi berwudhu’, kemudian dia datang kembali. Kemudian Rasulullah berkata lagi : “Pergilah engkau berwudhu’”, maka dia pergi berwudhu’, kemudian dia datang kembali lagi. Pada ketika itu, seorang sahabat berkata : “Ya Rasulullah, kenapa engkau memerintahnya berwudhu’ ? maka Rasulullah SAW bersabda : Laki-laki itu melaksanakan shalat, padahal ujung kain sarungnya menutup mata kaki, sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menerima shalat seseorang yang ujung kain sarungnya menutup mata kaki (isbal) (H.R. Abu Daud)[17]
Bantahan
1. Hadits ini dalam kitab Riyadhusshalihin berbunyi :
Artinya : Manakala seorang laki-laki melaksanakan shalat dalam keadaan ujung kain sarungnya menutup mata kakinya (isbal), pada ketika itu, Rasulullah SAW berkata : “Pergilah engkau berwudhu’”, maka dia pergi berwudhu’, kemudian dia datang kembali. Kemudian Rasulullah berkata lagi : “Pergilah engkau berwudhu’”, maka dia pergi berwudhu’, kemudian dia datang kembali lagi. Pada ketika itu, seorang sahabat berkata : “Ya Rasulullah, kenapa engkau memerintahnya berwudhu’, kemudian engkau diam?, maka Rasulullah SAW bersabda : Laki-laki itu melaksanakan shalat, padahal ujung kain sarungnya menutup mata kaki, sesungguhnya Allah tidak menerima shalat seseorang yang ujung kainnya menutup mata kaki (isbal) (H.R. Abu Daud[18]
Imam al-Nawawi mengatakan dalam Riyadhusshalihin, hadits ini diriwayat oleh Abu Daud atas syarat Muslim[19] Namun al-Manawi, setelah menyebut perkataan Imam al-Nawawi di atas, memengatakan :
”Tetapi al-Munziry telah menganggap cacat hadits ini. Beliau mengatakan, dalam sanadnya ada Abu Ja’far seorang penduduk Madinah yang tidak dikenal.”[20]
2. Seandainya kita mengatakan bahwa hadits ini merupakan hadits shahih, maka hadits ini harus dipahami dalam konteks sombong dan takabur sebagaimana sudah dijelaskan dalam pembahasan hukum isbal di atas berikut dalil-dalilnya, karena hadits ini datang dalam lafazh mutlaq. Karena itu, harus di pahami secara muqayyad sehingga tidak bertentangan dengan hadits-hadits muqayyad yang sudah disebut sebelum ini sebagaimana penjelasan para ulama yang telah disebutkan.
3. Berdasarkan hadits ini tidak dapat dipahami bahwa shalat bisa batal karena menggunakan isbal. Hal ini karena sebagai berikut :
a. Rasulullah SAW memerintah mengulangi berwudhu’ dalam hadits ini, bisa jadi untuk menghapuskan dosanya, karena dia telah melakukan isbal yang diharamkan yaitu isbal dengan sikap sombong, sesuai dengan hadits hasan secara marfu’, berbunyi :
Artinya : Seorang hamba tidak akan menyempurnakan wudu’nya kecuali diampunkan dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.
Rasulullah SAW tidak memerintah mengulangi shalat, karena shalatnya sah, tetapi tidak diterima sebagaimana lanjutan haditsnya : ” Sesungguhnya Allah tidak menerima shalat seseorang yang ujung kainnya menutup mata kaki (isbal).”
Dan bisa jadi Rasulullah SAW memerintah mengulangi berwudhu’ karena ada sebagian angota wudhu’ yang tidak sah wudhu’nya dan tidak memerintah mengulangi shalat, karena shalat itu adalah shalat sunnat. Penjelasan dengan dua kemungkinan ini telah dikemukakan oleh Ibnu ’Alan, seorang ahli hadits terkemuka dari kalangan Syafi’iyah dalam kitab beliau, Dalil al-Falihin li Thuruq Riyadhusshalihin.[21] Berdasarkan keterangan ini, maka dari hadits ini tidak dapat dipahami bahwa isbal dapat membatalkan shalat.
b. Adapun sabda Rasulullah SAW, tidak diterima shalat seseorang yang ujung kainnya menutup mata kaki (isbal), pengertiannya adalah tidak dapat pahala atas shalatnya, sebagaimana sudah dijelaskan oleh al-Manawi dalam kitabnya dalam mengomentari hadits ini, beliau mengatakan :
”Tidak dapat pahala seorang laki-laki atas shalatnya yang menurunkan ujung kain sarungnya menutup mata kakinya karena sombong.”[22]
Ibnu’Alan mengatakan :
”Maksud sabda Rasulullah SAW, ”la yaqbal” adalah tidak dapat menghapuskan dosanya dan tidak suci hatinya dari dosa, meskipun gugur tuntutan karenanya.”[23]
4. Tidak diterima shalat pada sabda Rasulullah SAW riwayat Abu Daud di atas, yaitu :
Artinya : Sesungguhnya Allah tidak menerima shalat seseorang yang ujung kainnya menutup mata kaki (isbal)
ini tidak berarti menunjukkan kepada batal shalat, bahkan ada sebagian ulama yang mengatakan tidak diterima ibadah menjadi pentunjuk kepada sah ibadah itu sendiri, karena suatu ibadah yang tidak sah, sama dengan tidak ada sama sekali, maka bagaimana dapat dikatakan ibadah itu diterima atau tidak diterima. Para ulama berbeda pendapat tentang perkataan, “nafi qabul” (tidak diterima), apakah itu membatalkan suatu ibadah atau tidak, tanpa ada tarjihnya. Sebagian ulama mengatakan nafi qabul sesuatu menjadi petunjuk kepada sah sesuatu, karena dhahir nafi kepada tidak ada pahala, bukan kepada tidak diperhitungkannya. Sedangkan sebagian ulama lain mengatakan menjadi petunjuk kepada fasid, dengan alasan dhahir nafi kepada tidak diperhitungkannya dan karena qabul dan sah saling melazimkan. Perbedaan pendapat ini telah disebut oleh Zakariya al-Anshari dalam kitab ushul fiqhnya, Ghayatul Wushul[24] dan al-Subki dalam Jam’ul Jawami’[25] tanpa ada tarjih salah satunya. Al-‘Alamah al-Barmawi mengatakan :
“Dua pendapat ini setara, tidak ada tarjih antara keduanya, karena pada satu kali, nafi qabul datang pada syara’ dengan makna nafi sah dan pada kali lain dengan makna nafi qabul serta wujud sah. Tidak ada tarjih ini juga dapat dipahami dari kalam Ibnu Daqiq al-‘Id.”[26]
Berikut ini tiga buah contoh nafi qabul bermakna tidak diterima serta sah yang disebut Syeikh Hasan al-‘Ithar dalam Hasyiah ‘ala Jam’ul Jawami’,[27] yaitu :
a. Sabda Nabi SAW :
Artinya : Barangsiapa yang mendatangi peramal dan menanyakan tentang sesuatu, maka tidak diterima shalatnya selama empat puluh malam.(H.R. Muslim)[28]
b. Sabda Nabi SAW :
Artinya : ِِِApabila seorang hamba sahaya lari dari tuannya, maka tidak diterima shalatnya sehingga dia kembali kembali kepada tuannya.(H.R. Muslim)[29]
c. Sabda Nabi SAW :
Artinya : Barangsiapa yang minum khamar dan dia mabuk karenanya, maka tidak diterima shalatnya selama empat puluh hari. (H.R. Ibnu Hibban dan al-Hakim)
Adapun contoh nafi qabul bermakna tidak sah antara lain yang disebut oleh Zakariya al-Anshari dalam Ghayatul Wushul, yakni :
Artinya : Tidak diterima oleh Allah shalat salah seorang kamu apabila berhadats sehingga dia berwudhu’(H.R. Bukhari dan Muslim)[30]
Berdasarkan uraian di atas, apabila ada nash syara’, baik al-Kitab maupun al-Sunnah yang mengandung nafi qabul (tidak diterima), maka tidak bisa secara serta merta dipahami sebagai tidak sah, tetapi untuk menentukan bahwa sesuatu itu tidak sah harus ada dalil lain yang menjelaskannya. Berdasarkan ini pula, maka dapat dipahami kenapa para ulama seperti al-Manawi dan Ibnu ‘Allan di atas menafsirkan nafi qabul shalat pada hadits tentang orang yang memakai isbal dengan makna tidak mendapat pahala dan tidak mengampuni dosanya, bukan dalam arti tidak sah.
Kesimpulan
1. Menjulurkan ujung kain yang dapat menutup mata kaki (isbal) dalam shalat tidak dapat membatalkan shalat sebagaimana dipahami oleh ulama bermazhab Syafi’i selama ini.
2. Nafi qabul shalat (tidak diterima shalat) tidak dapat secara serta merta menjadi petunjuk sebagai tidak sah shalat itu.
Oleh : Tgk. Alizar Utsman
[1] Qalyubi, Hasyiah Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 303
[2] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathulbarri, Darul Fikri, Beirut, Juz. X, Hal. 259
[3] An-Nawawi, Raudhah al-Thalibin, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 170
[4] Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 142, No. Hadits : 5791
[5] Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 141, No. Hadits : 5788
[6] Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 141, No. Hadits : 5787
[7] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathulbarri, Darul Fikri, Beirut, Juz. X, Hal. 257
[8] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz, I, Hal. 102, No. Hadits : 106
[9] Imam Muslim, Syarah Muslim, Dar Ihya at-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. II, Hal. 116
[10] Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. V, Hal. 6, No. Hadits : 3665
[11] Al-Bakri al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 43
[12] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 30
[13] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 68
[14] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 68
[15] Al-Subki dan al-Mahalli, Jam’ul Jawami’ dan Syarahnya, dicetak pada hasyiah al-Banany ‘ala Syarah Jam’ul Jawami’, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 393-395
[16] Jalaluddin al-Mahalli, Syarah Warqaat, Raja Murah, Pekalongan, Hal. 10-11
[17] Abu Daud, Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 243, No. Hadits : 638
[18] Al-Nawawi, Riyadhushshalihin, Darun Ibnu Jauzi, Saudi Arabiya, Hal. 323
[19] Al-Nawawi, Riyadhushshalihin, Darun Ibnu Jauzi, Saudi Arabiya, Hal. 323
[20] Al-Manawi, Faidh al-Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 348
[21] Ibnu ‘Alan, Dalil al-Falihin li Thuruq Riyadhusshalihin, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 84
[22] Al-Manawi, Faidh al-Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 348
[23] Ibnu ‘Alan, Dalil al-Falihin li Thuruq Riyadhusshalihin, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 85
[24] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 68
[25] Al-Subki dan al-Mahalli, Jam’ul Jawami’ dan Syarahnya, dicetak pada hasyiah al-Banany ‘ala Syarah Jam’ul Jawami’, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 398
[26] Syeikh Hasan al-‘Ithar, Hasyiah al-‘Ithar ‘ala Syarah Jam’ul Jawami’, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 505
[27] Syeikh Hasan al-‘Ithar, Hasyiah al-‘Ithar ‘ala Syarah Jam’ul Jawami’, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 504-505
[28] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 37, No. Hadits : 5957
[29] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 59, No. Hadits : 239
[30] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 69
1. Berkata Qalyubi :
“Disunatkan pada lengan baju memanjangnya sampai kepada pergelangan tangan dan pada ujung kain sampai kepada separuh betis. Makruh melebihi atas mata kaki dan haram dengan niat sombong”.[1]
2. Berkata An-Nawawi :
“Dhahir hadits yang membatasi menurun kain dengan adanya sifat sombong, menunjukkan bahwa hukum haram itu khusus dengan adanya sifat sombong”. [2]
3. Berkata an-Nawawi dalam Raudhah al-Thalibin :
“Haram memanjang pakaian melewati dua mata kaki dengan kesombongan dan makruh dengan tanpa kesombongan. Tidak beda yang demikian pada shalat atau lainnya. Celana dan kain sarung pada hukum pakaian.”[3]
Berdasarkan keterangan di atas, menurunkan ujung kain kepada bawah mata kaki (isbal), hukumnya adalah makruh apabila tidak dengan sombong dan haram apabila dengan sikap sombong. Dalil kesimpulan ini adalah sebagai berikut :
1. firman Allah :
يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ
Artinya : Wahai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kalian pakaian untuk menutupi aurat kalian dan pakaian indah itu perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda kebesaran Allah. Mudah-mudahan mereka selalu ingat. (QS Al A'raf -26)
2. firman Allah :
وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
Artinya : Dan janganlah engkau berjalan diatas muka bumi ini dengan sombong, karna sesungguhnya Allah SWT tidak suka kepada setiap orang yang sombong lagi angkuh.(Q.S. Luqman: 18 )
3. sabda Nabi SAW :
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ مَخِيلَةً لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Artinya : Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah SWT tidak akan melihatnya di hari kiamat. ( HR Bukhari)[4]
4. sabda Nabi SAW :
لَا يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا
Artinya : Allah tidak akan melihat pada hari kiamat nanti orang-orang yang menurunkan kain sarungnya karena sombong (H.R. Bukhari).[5]
5. sabda Nabi SAW : :
مَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ مِنْ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ
Artinya : Apa saja yang berada di bawah mata kaki berupa sarung, maka tempatnya di neraka.(H.R. Bukhari) [6]
Setelah menyebut beberapa hadits yang senada dengan di atas, Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“ Ithlaq ini dimaknai sesuai dengan hadits-hadits yang datang yang membatasi dengan sifat sombong”[7]
6. Rasullullah SِAW bersabda :
ثلاث لايكلمهم الله يوم القيامة المنان الذي لا يعطى شيأ إلا منه والمنفق سلعته بالحلف الفاجر والمسبل إزاره
Artinya : Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah SWT di hari kiamat, yaitu: pengungkit pemberian yang tidak memberi sesuatu kecuali mengungkit-ungkitnya, orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu dan seseorang yang melakukan isbal (menurunkan) kain sarungnya (H.R. Muslim) [8]
Imam Nawawi dalam mensyarah hadits di atas, mengatakan :
“ Adapun sabda Nabi SAW almusbil izaarahu, maknanya adalah yang menurun ujung sarungnya karena sombong sebagaimana datang tafsirannya pada hadits lain, yaitu :
لا ينظر الله إلى من يجر ثوبه خيلاء
Artinya : Allah tidak akan melihat kepada orang yang menurunkan kainnya karena sombong
Khuyala’ adalah sombong. Menurunkan kain yang dihubungkan dengan sikap sombong ini mengkhususkan keumuman perkataan musbil izarahu dan menunjukkan bahwa orang yang dimaksudkan dengan ancaman itu adalah orang-orang yang menurunkan ujung kain sarungnya dengan sikap sombong”.[9]
7. Sabda Rasulullah SAW :
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ
Artinya : Barang siapa yang menurunkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat. Lalu berkara Abu Bakar : “Wahai Rasulullah, sarungku sering melorot (lepas ke bawah) kecuali aku benar-benar menjaganya. Maka beliau bersabda :"Engkau tidak melakukannya karena sombong”.(H.R. bukhari) [10]
Menurut hemat kami, kemakruhan isbal dengan sikap tidak sombong adalah karena dengan isbal dikuatirkan sulit terpelihara dari bersentuhan dengan najis atau adanya isbal dikuatirkan terjadi sikap sombong.
Apakah memakai kain di bawah mata kaki (isbal) membatalkan shalat
Untuk menetapkan bahwa sesuatu itu membatalkan shalat, tentu diperlukan dalil-dalil agama yang menerangkannya. Sejauh ini kita belum menemukan dalil, baik al-Qur’an maupun hadits, ataupun keterangan ulama yang menjelaskan bahwa memakai kain di bawah mata kaki dapat membatalkan shalat. Sedangkan hukum menggunakan kain di bawah mata kaki (isbal), hukumnya adalah hanya makruh dan keharamannya hanya apabila dengan sikap sombong, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Kalaupun kita berpendapat bahwa isbal tersebut adalah haram (sekali lagi, ini seandainya), ini juga belum tentu menunjukkan bahwa isbal tersebut dapat membatalkan shalat. Banyak sekali kasus dalam fiqh Islam dimana perbuatan haram tidak membatalkan shalat seperti haram berwudhu’ dengan air rampasan, namun wudhu’nya sah.[11] dan shalat pada tempat yang dirampas.[12] Hal ini karena haram tidak identik dengan tidak sah. Bisa saja sesuatu perbuatan haram, tetapi ia sah. Karena itu, dalam ilmu ushul fiqh ada pembahasan khusus tentang apakah larangan (haram atau makruh) dapat menjadikan sesuatu fasid (tidak sah)? Jawabannya sebagai berikut :
Zakariya al-Anshari mengatakan dalam kitab ushul fiqh karya beliau, Ghayatul Wushul, sebuah kitab yang menjadi rujukan dalam bidang ilmu ushul fiqh bagi kalangan Mazhab Syafi’i di Indonesia dan dunia Islam umumnya, sebagai berikut :
والأصح ان مطلق النهى ولو تنزيها للفساد شرعا فى المنهى عنه ان رجع النهى فيما ذكر اليه أو الى جزئه أو الى لازمه أوجهل مرجعه
Artinya : Menurut pendapat yang lebih shahih mutlaq Nahi (larangan) meskipun larangan tersebut makruh tanzih merupakan petunjuk kepada fasid (tidak sah) yang dilarang itu pada syara’, jika larangan itu kembali kepada dirinya ( ’ainnya), kembali kepada juzu’nya, atau kembali kepada lazimnya ataupun tidak diketahui tempat kembalinya.[13]
Penjelasannya sebagai berikut :
1. Larangan dapat menjadi petunjuk kepada tidak sah yang dilarang itu apabila memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut :
a. Larangan itu kembali kepada diri (’ain) yang dilarang, seperti larangan shalat dan puasa atas orang yang berhaid. Alasan pelarangannya ini adalah karena shalat dan puasa disyaratkan suci dari haid. Dengan demikian, alasan pelarangannya kembali kepada diri shalat dan puasa itu sendiri.
b. Larangan itu kembali kepada juzu’ yang dilarang, seperti seperti larangan menjual buah-buahan yang belum jadi buah, masih dalam bentuk bunga melekat di batangnya. Alasan larangan ini karena belum ada benda yang dijual (salah satu rukun jual beli, yakni juzu’ akad jual beli)
c. Larangan itu kembali kepada lazim dari yang dilarang (sesuatu dimana yang dilarang itu tidak dapat lepas darinya), seperti larangan menjual satu dirham dengan harga dua dirham. Alasan pelarangannya karena tambahan yang lazim dengan sebab disyaratkan pada akad. Dan seperti shalat pada waktu makruh, dimana larangannya adalah karena waktu fasid yang lazim bagi shalat dengan mengerjakannya dalam waktu tersebut. Ini berbeda dengan mengerjakan shalat pada tempat makruh seperti kamar mandi, maka tidak menjadikan shalatnya tidak sah, karena tempat makruh tidak lazim bagi shalat dengan sebab mengerjakannya pada tempat itu. Hal ini dikarenakan dimungkinkan kamar mandi itu dirobah menjadi bentuk lain seperti mesjid.
d. Apabila tidak diketahui tempat kembalinya, maka larangan ini juga dapat menyebabkan tidak sah yang dilarang itu.
Adapun larangan yang tidak termasuk dalam kriteria tersebut di atas, maka tidak dapat mengakibatkan batal yang dilarang itu, contohnya antara lain :
1. Wudhu’ dengan air rampasan, dimana larangannya karena menghilangkan harta orang lain dengan sengaja. Wudhu’nya tetap sah, karena larangannya dilihat dari hal diluar wudhu’ dan tidak lazim baginya.
2. Jual beli pada waktu azan Jum’at, jual beli tersebut haram, namun akadnya tetap sah. Hal ini karena alasan larangan jual beli tersebut adalah menghilangkan kesempatan shalat Jum’at. Sedangkan menghilangkan kesempatan shalat Jum’at dapat juga terjadi bukan karena jual beli sebagaimana jual beli dapat terjadi tanpa ada menghilangkan kesempatan shalat Jum’at.
Penjelasan di atas beserta contoh-contohnya merupakan rangkuman dari kitab Ghayatul Wushul [14] dan dalam Jam’ul Jawami’ karya al-Subki dan syarahnya karya Jalaluddin al-Mahalli[15] Jalaluddin al-Mahalli dalam kitab ushul fiqhnya, Syarah Warqaat menyebut kedua contoh di atas sebagai contoh larangan karena suatu sifat eksternal yang tidak lazim bagi yang dilarang. Sedikit sebelumnya beliau mengatakan :
”Apabila larangan itu karena suatu sifat eksternal yang tidak lazim bagi yang dilarang, maka larangan itu tidak menunjuki kepada fasid.”[16]
Nah sekarang bagaimana dengan masalah memakai kain yang menutup mata kaki (isbal), seandainya isbal tersebut dilarang, apakah larangan itu dapat mengakibatkan batal shalat apabila dipakai dalam shalat ?
Jawab :
Seandainya kita berpendapat dilarang shalat dengan memakai isbal, maka memakai isbal tersebut tidak mengakibatkan tidak sah shalat. Karena larangan shalat dengan memakai isbal adakalanya karena sombong, kuatir dapat jatuh dalam sombong atau kuatir kena najis. Ketiga-tiga alasan tersebut tidak termasuk dalam katagori ’ain shalat, bagian shalat atau sesuatu yang lazim dari shalat, ataupun sesuatu yang tidak diketahui tempat kembali larangannya, tetapi merupakan suatu sifat eksternal yang berada diluar shalat yang tidak lazim bagi shalat atau dalam istilah ushul disebut :
لآمر خارج غير لازم له
Disebut tidak lazim bagi shalat, karena sifat sombong, kuatir jatuh dalam sombong dan kuatir kena najis dapat berwujud tanpa shalat dan juga sebaliknya, shalat dapat berwujud tanpa ada sifat-sifat tersebut.
Dengan demikian, larangan shalat dengan isbal tidak mengakibatkan tidak sah shalat, sebagaimana tidak mengakibatkan tidak sah wudhu’ dengan air rampasan dengan sebab dilarangnya dan tidak mengakibatkan tidak sah jual beli pada waktu azan Jum’at dengan sebab dilarangnya.
Ada yang mengatakan, batal shalat apabila seseorang menggunakan kain yang dapat menutup mata kaki (isbal) dengan berargumentasi dengan hadits riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah, beliau berkata :
بَيْنَمَا رَجُلٌ يُصَلِّى مُسْبِلاً إِزَارَهُ إِذْ قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- اذْهَبْ فَتَوَضَّأْ. فَذَهَبَ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ ثُمَّ قَالَ اذْهَبْ فَتَوَضَّأْ. فَذَهَبَ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لَكَ أَمَرْتَهُ أَنَّ يَتَوَضَّأَ فَقَالَ إِنَّهُ كَانَ يُصَلِّى وَهُوَ مُسْبِلٌ إِزَارَهُ وَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لاَ يَقْبَلُ صَلاَةَ رَجُلٍ مُسْبِلٍ إِزَارَهُ
Artinya : Manakala seorang laki-laki melaksanakan shalat dalam keadaan ujung kain sarungnya menutup mata kakinya (isbal), pada ketika itu, Rasulullah SAW berkata : “Pergilah engkau berwudhu’”, maka dia pergi berwudhu’, kemudian dia datang kembali. Kemudian Rasulullah berkata lagi : “Pergilah engkau berwudhu’”, maka dia pergi berwudhu’, kemudian dia datang kembali lagi. Pada ketika itu, seorang sahabat berkata : “Ya Rasulullah, kenapa engkau memerintahnya berwudhu’ ? maka Rasulullah SAW bersabda : Laki-laki itu melaksanakan shalat, padahal ujung kain sarungnya menutup mata kaki, sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menerima shalat seseorang yang ujung kain sarungnya menutup mata kaki (isbal) (H.R. Abu Daud)[17]
Bantahan
1. Hadits ini dalam kitab Riyadhusshalihin berbunyi :
بَيْنَمَا رَجُلٌ يُصَلِّى مُسْبِلاً إِزَارَهُ إِذْ قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- اذْهَبْ فَتَوَضَّأْ. فَذَهَبَ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ ثُمَّ قَالَ اذْهَبْ فَتَوَضَّأْ. فَذَهَبَ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لَكَ أَمَرْتَهُ أَنَّ يَتَوَضَّأَ ثم سكت عنه ؟ َقَالَ إِنَّهُ كَانَ يُصَلِّى وَهُوَ مُسْبِلٌ إِزَارَهُ وَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبَلُ صَلاَةَ رَجُلٍ مُسْبِلٍ
Artinya : Manakala seorang laki-laki melaksanakan shalat dalam keadaan ujung kain sarungnya menutup mata kakinya (isbal), pada ketika itu, Rasulullah SAW berkata : “Pergilah engkau berwudhu’”, maka dia pergi berwudhu’, kemudian dia datang kembali. Kemudian Rasulullah berkata lagi : “Pergilah engkau berwudhu’”, maka dia pergi berwudhu’, kemudian dia datang kembali lagi. Pada ketika itu, seorang sahabat berkata : “Ya Rasulullah, kenapa engkau memerintahnya berwudhu’, kemudian engkau diam?, maka Rasulullah SAW bersabda : Laki-laki itu melaksanakan shalat, padahal ujung kain sarungnya menutup mata kaki, sesungguhnya Allah tidak menerima shalat seseorang yang ujung kainnya menutup mata kaki (isbal) (H.R. Abu Daud[18]
Imam al-Nawawi mengatakan dalam Riyadhusshalihin, hadits ini diriwayat oleh Abu Daud atas syarat Muslim[19] Namun al-Manawi, setelah menyebut perkataan Imam al-Nawawi di atas, memengatakan :
”Tetapi al-Munziry telah menganggap cacat hadits ini. Beliau mengatakan, dalam sanadnya ada Abu Ja’far seorang penduduk Madinah yang tidak dikenal.”[20]
2. Seandainya kita mengatakan bahwa hadits ini merupakan hadits shahih, maka hadits ini harus dipahami dalam konteks sombong dan takabur sebagaimana sudah dijelaskan dalam pembahasan hukum isbal di atas berikut dalil-dalilnya, karena hadits ini datang dalam lafazh mutlaq. Karena itu, harus di pahami secara muqayyad sehingga tidak bertentangan dengan hadits-hadits muqayyad yang sudah disebut sebelum ini sebagaimana penjelasan para ulama yang telah disebutkan.
3. Berdasarkan hadits ini tidak dapat dipahami bahwa shalat bisa batal karena menggunakan isbal. Hal ini karena sebagai berikut :
a. Rasulullah SAW memerintah mengulangi berwudhu’ dalam hadits ini, bisa jadi untuk menghapuskan dosanya, karena dia telah melakukan isbal yang diharamkan yaitu isbal dengan sikap sombong, sesuai dengan hadits hasan secara marfu’, berbunyi :
لا يسبغ عبد الوضوء إلا غفر له ما تقدم من ذنبه وما تأخر
Artinya : Seorang hamba tidak akan menyempurnakan wudu’nya kecuali diampunkan dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.
Rasulullah SAW tidak memerintah mengulangi shalat, karena shalatnya sah, tetapi tidak diterima sebagaimana lanjutan haditsnya : ” Sesungguhnya Allah tidak menerima shalat seseorang yang ujung kainnya menutup mata kaki (isbal).”
Dan bisa jadi Rasulullah SAW memerintah mengulangi berwudhu’ karena ada sebagian angota wudhu’ yang tidak sah wudhu’nya dan tidak memerintah mengulangi shalat, karena shalat itu adalah shalat sunnat. Penjelasan dengan dua kemungkinan ini telah dikemukakan oleh Ibnu ’Alan, seorang ahli hadits terkemuka dari kalangan Syafi’iyah dalam kitab beliau, Dalil al-Falihin li Thuruq Riyadhusshalihin.[21] Berdasarkan keterangan ini, maka dari hadits ini tidak dapat dipahami bahwa isbal dapat membatalkan shalat.
b. Adapun sabda Rasulullah SAW, tidak diterima shalat seseorang yang ujung kainnya menutup mata kaki (isbal), pengertiannya adalah tidak dapat pahala atas shalatnya, sebagaimana sudah dijelaskan oleh al-Manawi dalam kitabnya dalam mengomentari hadits ini, beliau mengatakan :
”Tidak dapat pahala seorang laki-laki atas shalatnya yang menurunkan ujung kain sarungnya menutup mata kakinya karena sombong.”[22]
Ibnu’Alan mengatakan :
”Maksud sabda Rasulullah SAW, ”la yaqbal” adalah tidak dapat menghapuskan dosanya dan tidak suci hatinya dari dosa, meskipun gugur tuntutan karenanya.”[23]
4. Tidak diterima shalat pada sabda Rasulullah SAW riwayat Abu Daud di atas, yaitu :
وَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبَلُ صَلاَةَ رَجُلٍ مُسْبِلٍ
Artinya : Sesungguhnya Allah tidak menerima shalat seseorang yang ujung kainnya menutup mata kaki (isbal)
ini tidak berarti menunjukkan kepada batal shalat, bahkan ada sebagian ulama yang mengatakan tidak diterima ibadah menjadi pentunjuk kepada sah ibadah itu sendiri, karena suatu ibadah yang tidak sah, sama dengan tidak ada sama sekali, maka bagaimana dapat dikatakan ibadah itu diterima atau tidak diterima. Para ulama berbeda pendapat tentang perkataan, “nafi qabul” (tidak diterima), apakah itu membatalkan suatu ibadah atau tidak, tanpa ada tarjihnya. Sebagian ulama mengatakan nafi qabul sesuatu menjadi petunjuk kepada sah sesuatu, karena dhahir nafi kepada tidak ada pahala, bukan kepada tidak diperhitungkannya. Sedangkan sebagian ulama lain mengatakan menjadi petunjuk kepada fasid, dengan alasan dhahir nafi kepada tidak diperhitungkannya dan karena qabul dan sah saling melazimkan. Perbedaan pendapat ini telah disebut oleh Zakariya al-Anshari dalam kitab ushul fiqhnya, Ghayatul Wushul[24] dan al-Subki dalam Jam’ul Jawami’[25] tanpa ada tarjih salah satunya. Al-‘Alamah al-Barmawi mengatakan :
“Dua pendapat ini setara, tidak ada tarjih antara keduanya, karena pada satu kali, nafi qabul datang pada syara’ dengan makna nafi sah dan pada kali lain dengan makna nafi qabul serta wujud sah. Tidak ada tarjih ini juga dapat dipahami dari kalam Ibnu Daqiq al-‘Id.”[26]
Berikut ini tiga buah contoh nafi qabul bermakna tidak diterima serta sah yang disebut Syeikh Hasan al-‘Ithar dalam Hasyiah ‘ala Jam’ul Jawami’,[27] yaitu :
a. Sabda Nabi SAW :
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ فصدقه لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ يوما
Artinya : Barangsiapa yang mendatangi peramal dan menanyakan tentang sesuatu, maka tidak diterima shalatnya selama empat puluh malam.(H.R. Muslim)[28]
b. Sabda Nabi SAW :
إِذَا أَبَقَ الْعَبْدُ من مواليه لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ حتى يرجع اليهم
Artinya : ِِِApabila seorang hamba sahaya lari dari tuannya, maka tidak diterima shalatnya sehingga dia kembali kembali kepada tuannya.(H.R. Muslim)[29]
c. Sabda Nabi SAW :
من شرب خمرا فسكر لم تقبل له صلاة أربعين صباحا
Artinya : Barangsiapa yang minum khamar dan dia mabuk karenanya, maka tidak diterima shalatnya selama empat puluh hari. (H.R. Ibnu Hibban dan al-Hakim)
Adapun contoh nafi qabul bermakna tidak sah antara lain yang disebut oleh Zakariya al-Anshari dalam Ghayatul Wushul, yakni :
لايقبل الله صلاة احدكم اذا احدث حتى يتوضأ
Artinya : Tidak diterima oleh Allah shalat salah seorang kamu apabila berhadats sehingga dia berwudhu’(H.R. Bukhari dan Muslim)[30]
Berdasarkan uraian di atas, apabila ada nash syara’, baik al-Kitab maupun al-Sunnah yang mengandung nafi qabul (tidak diterima), maka tidak bisa secara serta merta dipahami sebagai tidak sah, tetapi untuk menentukan bahwa sesuatu itu tidak sah harus ada dalil lain yang menjelaskannya. Berdasarkan ini pula, maka dapat dipahami kenapa para ulama seperti al-Manawi dan Ibnu ‘Allan di atas menafsirkan nafi qabul shalat pada hadits tentang orang yang memakai isbal dengan makna tidak mendapat pahala dan tidak mengampuni dosanya, bukan dalam arti tidak sah.
Kesimpulan
1. Menjulurkan ujung kain yang dapat menutup mata kaki (isbal) dalam shalat tidak dapat membatalkan shalat sebagaimana dipahami oleh ulama bermazhab Syafi’i selama ini.
2. Nafi qabul shalat (tidak diterima shalat) tidak dapat secara serta merta menjadi petunjuk sebagai tidak sah shalat itu.
Oleh : Tgk. Alizar Utsman
[1] Qalyubi, Hasyiah Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 303
[2] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathulbarri, Darul Fikri, Beirut, Juz. X, Hal. 259
[3] An-Nawawi, Raudhah al-Thalibin, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 170
[4] Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 142, No. Hadits : 5791
[5] Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 141, No. Hadits : 5788
[6] Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 141, No. Hadits : 5787
[7] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathulbarri, Darul Fikri, Beirut, Juz. X, Hal. 257
[8] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz, I, Hal. 102, No. Hadits : 106
[9] Imam Muslim, Syarah Muslim, Dar Ihya at-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. II, Hal. 116
[10] Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. V, Hal. 6, No. Hadits : 3665
[11] Al-Bakri al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 43
[12] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 30
[13] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 68
[14] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 68
[15] Al-Subki dan al-Mahalli, Jam’ul Jawami’ dan Syarahnya, dicetak pada hasyiah al-Banany ‘ala Syarah Jam’ul Jawami’, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 393-395
[16] Jalaluddin al-Mahalli, Syarah Warqaat, Raja Murah, Pekalongan, Hal. 10-11
[17] Abu Daud, Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 243, No. Hadits : 638
[18] Al-Nawawi, Riyadhushshalihin, Darun Ibnu Jauzi, Saudi Arabiya, Hal. 323
[19] Al-Nawawi, Riyadhushshalihin, Darun Ibnu Jauzi, Saudi Arabiya, Hal. 323
[20] Al-Manawi, Faidh al-Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 348
[21] Ibnu ‘Alan, Dalil al-Falihin li Thuruq Riyadhusshalihin, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 84
[22] Al-Manawi, Faidh al-Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 348
[23] Ibnu ‘Alan, Dalil al-Falihin li Thuruq Riyadhusshalihin, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 85
[24] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 68
[25] Al-Subki dan al-Mahalli, Jam’ul Jawami’ dan Syarahnya, dicetak pada hasyiah al-Banany ‘ala Syarah Jam’ul Jawami’, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 398
[26] Syeikh Hasan al-‘Ithar, Hasyiah al-‘Ithar ‘ala Syarah Jam’ul Jawami’, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 505
[27] Syeikh Hasan al-‘Ithar, Hasyiah al-‘Ithar ‘ala Syarah Jam’ul Jawami’, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 504-505
[28] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 37, No. Hadits : 5957
[29] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 59, No. Hadits : 239
[30] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 69
Komentar
Posting Komentar