Pembahasan-pembahasan INTI Berkenaan dengan Nas-nas Mutasyabihat [Bag: Dua]






Pembahasan Keempat: Adakah Nas-nas Mutasyabihat Tidak Diketahui maknanya?

Benar. Inilah pendirian salafus-soleh yaitu, nas-nas mutasyabihat seperti huruf-huruf di awal surah, lafaz-lafaz seperti yadd dan sebagainya, tidak diketahui maknanya kecuali oleh Allah s.w.t.. Bahkan, iti termasuk di antara bukti keagungan dan mukjizat Al-Qur’an yang tidak bisa dipertikaikan lagi. Nas-nas mutasyabihat yang tidak difahami maknanya tidak membawa kepada Al-Qur’an itu mengandungi lafad-lafad yang sia-sia tetapi itu menunjukkan keagungan Al-Qur’an itu sendiri yang mana Allah s.w.t. menunjukkan bahwasanya hanya Allah s.w.t. saja mengetahui seluruh makna Al-Qur’an.

Lihatlah perkataan para ulama’ yang menjelaskan bahwasanya, nas-nas mutasyabihat secara jelas tidak diketahui maknanya. Sebagian pendapat mengatakan, yang tidak diketahui daripada nas-nas mutasyabihat adalah kaifiyyatnya, sedangkan maknanya diketahui berdasarkan sudut bahasa, maka pertanyaannya : apa makna huruf-huruf di awal surah seperti Alif Laam Mim dan sebagainya yang secara jelas perlu diserahkan (tafwidh) makna kepada Allah s.w.t., bukan dengan sekadar tafwidh kaifiyyat saja ga bisa,karana Alif Laam Mim tidak punya kaifiyyat malah tidak diketahui maknanya itu sendiri.

Imam At-Tabari (310 H) yang merupakan ulama’ yang hidup di akhir zaman salaf berkata:

وقال آخرون: بل الـمـحكم من آي القرآن: ما عرف العلـماء تأويـله، وفهموا معناه وتفسيره؛ والـمتشابه: ما لـم يكن لأحد إلـى علـمه سبـيـل مـما استأثر الله بعلـمه دون خـلقه،

: “Sebagian ulama berkata: “Bahkan Muhkam dalam ayat ayat Al-Qur’an: adalah lafad yang diketahui ulama’ akan ta’wilnya, dan mereka faham makna dan tafsirannya. Adapun mutasyabih adalah apa yang tidak ada jalan bagi seseorang untuk mengetahui (makna)-nya yang mana itu termasuk yang disembunyikan oleh Allah s.w.t. dengan ilmuNya tanpa makhluk lain” [rujuk kitab tafsir At-Tabari]

Lihat menurut Imam At-Tabari, Muhkam itu diketahui makna dan tafsirnya sedangkan Mutasyabih berbeda dengan Muhkam iaitu tidak diketahui makna dan sifatnya. Itulah yang dimaksudkan oleh Imam At-Tabari.

Imam At-Tabrani (360 H) berkata:


وقال بعضُهم: الْمُحْكَمُ ما عرفَ العلماءُ تأويلَه وفهموا معانيه، وَالْمُتَشَابهُ ما ليسَ لأحدٍ إلى علمهِ سبيلٌ مما استأثرَ الله بعلمه


Sebagian ulama’ berkata: Al-Muhkam itu lafad yg diketahui oleh ulama’ akan ta’wilnya dan memahami maknanya. Al-Mutasyabih adalah apa yang tidak ada jalan bagi seseorang untuk mengetahuinya yang mana maknanya disembunyikan oleh Allah s.w.t. dalam ilmunya…”

Ini jelas menunjukkan di sisi Imam At-Tabari dan Imam At-Tabrani, beda antara Muhkam dan Mutasyabih menurut sebagian ulama’ adalah,Muhkam diketahui maknanya sedangkan Mutasyabih tidak diketahui maknanya.

Hal ini dikuatkan lagi dalam tafsir Al-Jalalain yang menyebut:



هُوَ ٱلَّذِى أَنزَلَ عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ مِنْهُ ءَايَٰتٌ مُّحْكَمَٰتٌ } واضحات الدلالة { هُنَّ أُمُّ ٱلْكِتَٰبِ } أصله المعتمد عليه في الأحكام { وَأُخَرُ مُتَشَٰبِهَٰتٌ } لا تفهم معانيها كأوائل السور



Maksudnya: ((Dia yang menurunkan kepadamu (hai Muhammad) Al-Kitab dalamnya ayat-ayat muhkamat)) yaitu jelas petunjuknya (maknanya)((ia adalah Ummul Kitab)) asasnya dipegang dalam berhukum ((dan selainnya adalah mutasyabihat)) tidak difahami maknanya seperti awal-awal surah (huruf hija’iyah)”. [Tafsir Surah Ali-Imran ayat ketujuh]

Seterusnya disebutkan juga:


{ يَقُولُونَ ءامَنَّا بِهِ } أي بالمتشابه أنه من عند الله ولا نعلم معناه


Maksudnya: “((Mereka berkata kami beriman dengannya)) yaitu dengan mutasyabihat bahwasanya itu dari Allah dan kami tidak mengetahui maknanya… [rujuk tafsir Al-Jalalain]

Imam Abu Al-Hayyan juga berkata dalam Al-Bahr Al-Muhith:

))وما يعلم تأويله إلاَّ الله والراسخون في العلم يقولون آمنا به (( تم الكلام عند قوله: إلا الله، ومعناه ان الله استأثر بعلمه تأويل المتشابه، وهو قول ابن مسعود، وأبي، وابن عباس، وعائشة، والحسن، وعروة، وعمر بن عبد العزيز، وأبي نهيك الأسدي، ومالك بن أنس، والكسائي، والفراء، والجبائي، والأخفش، وأبي عبيد. واختاره: الخطابي والفخر الرازي.


: “((Tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah sedangkan orang yang mendalam ilmunya berkata kami beriman dengannya)) kalam sudah sempurna pada perkataan ((kecuali Allah)). Maksudnya: Allah s.w.t. menyembunyikan dengan ilmuNya akan ta’wil mutasyabih. Inilah perkataan Ibn Mas’ud, Ubay, Ibn Abbas, ‘Aisyah, Al-Hasan, Urwah, Umar bin Abdil Aziz, Abi Nahyak (?) Al-Asadi, Malik bin Anas, Al-Kisa’ie, Al-Farra’, Al-Jubbai’e, Al-Akhfasy dan Abi Ubaid. Imam Al-Khattabi dan Fakhruddin Al-Razi juga memilih pendapat ini.

Ini jelas menunjukkan bahwasanya, hatta secara umum, nas-nas mutasyabihat itu hanya diketahui maknanya oleh Allah s.w.t.. Ini sudah jelas sejelas matahari di siang hari. Matahari jelas bersinar, tetapi mereka yang buta terus mengingkarinya.

Adapun secara khusus, bagi nas-nas mutasyabihat seperti yadd Allah, wajh Allah, istiwa’ dan sebagainya, secara jelas juga salafus-soleh menegaskan bahwasanya mereka tidak mengetahui maknanya. Ini sebagian buktinya:-


عن الشافعي: …ولم يعلموا حقيقة معناها فسكتوا عما لم يعلموه



Diriwayatkan oleh Imam As-Syafi’e r.a. berkata: “…tetapi mereka tidak mengetahui hakikat maknanya (tidak tahu makna sebenarnya lafaz-lafaz mutasyabihat tersebut). Oleh sebab itu, mereka mendiamkan diri daripada membicarakannya…” [Majmu’ Fatawa 7/1-4 dan Ijtima’ Al-Juwusy oleh Ibn Qayyim Al-Jauziyyah 137-139]

Imam As-Syafi'e r.a. berkata:

"Saya beriman (dengan nas-nas mutasyabihat) tanpa tasybih. Saya percaya tanpa tamsil. Saya menahan diriku dari berusaha memahaminya.Saya menahan diriku dari mendalaminya dengan sebisa mungkin" [Daf' Syubah man Syabbaha oleh Imam Taqiyuddi Ad-Dimasyqi Al-Hisni (829 H) m/s 147]

Ini secara jelas menunjukkan Imam As-Syafi’e tidak menetapkan makna apapun bagi nas-nas mutasyabihat seperti yadd dan sebagainya malah menahan dirinya daripada memahaminya atau mencuba memahami maknanya. Inilah pendirian salafus-soleh. Maka, ini juga menunjukkan nas-nas mutasyabihat tidak diketahui maknanya melainkan Allah s.w.t..

Imam Ibn Qudamah meriwayatkan juga perkataan Imam Ahmad bin Hanbal r.a. yang berkata:



نؤمن بها ونصدق بها لا كيف ولا معنى،

Maksudnya: “Kita beriman dengannya (ayat nuzul dan sebagainya) dan membenarkannya tanpa kaif dan tanpa makna...” [Lam’atul I’tiqadm/s 9]

Ini secara jelas menunjukkan Imam Ahmad dan Imam As-Syafi’e tidak memahami nas-nas mutasyabihat seperti yadd dan sebagainya dengan makna apapun. Maknanya, mereka tidak menetapkan maknanya dari sudut bahasa  (makna dhahir).

Imam Ibn Rajab berkata:

والصواب ما عليه السلف الصالح من إمرار آيات الصفات وأحاديثها كما جاءت من غير تفسير لها …خصوصا الإمام أحمد ولا خوض في معانيها .


Maksudnya: “yang betul adalah, apa yang dipegang oleh Salaf Soleh yang melewati (membiarkan) ayat-ayat sifat dan hadith-hadithnya sebagaimana ia disebutkan tanpa tafsir...khususnya Imam Ahmad yang tidak mendalami akan makna-maknanya (mutasyabihat)” [Fadhl Ilm As-Salaf ‘ala Al-Khalaf: 30]

Saya setuju dengan pendirian Imam Ibn Al-Jauzi dalam menolak mujassimah seraya berkata:
"Mereka (mujassimah yang berlindung dalam kelompok hanabilah) berkata: Kita berpegang dengan dhahirnya (makna dhahir nas mutasyabihat tersebut), sedangkan makna dhahirnya itu mengandung ciri-ciri(kejisiman dan sebagainya). perkataan mereka Seolah-olah, sesuatu itu perlu ditetapkan dengan hakikatnya (makna dhahirnya) sebisa mungkin. Namun, dalam waktu yang sama, mereka berusaha keluar daripada tasybih,dan mendakwa sebagai ahlus-sunnah, padahal yang mereka lakukan adalah tasybih pada hakikatnya. Bahkan, femahaman mereka turut dianut oleh sebahagian orang awam." [Daf' Syubah At-Tasybih: 3].

Oleh sebab itu, suatu hal yang membedakan antara nas-nas mutasyabihat daripada nas-nas muhkamat adalah dari sudut maknanya, karana muhkamat adalah jenis ayat yang difahami maknanya sedangkan jenis mutasyabihat adalah yang tidak diketahui maknanya. Jadi, tidak boleh seseorang mengklaim mengetahui makna-makna nas mutasyabihat berdasarkan maknanya dari sudut bahasa karana dengan itu seolah-olah menyamakan jenis mutasyabihat dengan jenis muhkamat yang dicela dalam Al-Qur’an.
DI Antara petunjuk lain menunjukkan para ulama’ termasuk salaf menCEGAH seseorang memahami nas-nas mutasyabihat dengan makna dhahirnya adalah dengan tidak mentafsirkan lafaz-lafaz mutasyabihat tersebut. Jika sesuatu lafaz itu boleh difahami dengan maknanya dari sudut bahasa, maka tidak akan muncul larangan terhadap menafsirkan nas-nas mutasyabihat.

Imam Abu Hanifah berkata:

أبي حنيفة – يقول: "اتفق الفقهاء كلهم، من المشرق إلى المغرب ، على الإيمان بالقرآن والأحاديث التي جاء بها الثقات عن رسول الله (ص) في صفة الرب عزوجل من غير تفسير، ولا وصف، ولا تشبيه، فمن فسر اليوم شيئاً من ذلك فقد خرج عما كان عليه النبي (ص) وفارق الجماعة ، فإنهم لم يصفوا ولم يفسروا ، بل أفتوا بما في الكتاب والسنة، ثم سكتوا"


: “Telah bersepakat fuqaha’ seluruhnya dari timur sampai barat bahwasanya wajib beriman dengan Al-Qur’an dan Hadith yang diriwayatkan dengan riwayat yang terpercaya daripada Rasulullah s.a.w. tentang sifat Tuhan tanpa tafsiran, tanpa penyifatan dan tanpa penyerupaan. barang siapa yang menafsirkannya bererti telah meninggalkan apa yang dipegang oleh Nabi s.a.w. dan telah keluar daripada jemaah.Ini karana, mereka (para salaf) tidak menyifati dan tidak mentafsirkan (nas-nas mutasyabihat) bahkan mereka berfatwa dengan apa yang tersebut dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah kemudian berdiam diri (dari menyebut makna mutasyabihat). [Al-Uluw oleh Imam Az-Zahabi: m/s 59]

Imam Ibn Rajab berkata:

والصواب ما عليه السلف الصالح من إمرار آيات الصفات وأحاديثها كما جاءت من غير تفسير لها


: yang betul adalah, apa yang dipegang oleh Salaf Soleh adalah melewati ayat-ayat sifat dan hadith-hadithnya sebagaimana ia disebutkan tanpa tafsir...” [Fadhl Ilm As-Salaf ‘ala Al-Khalaf: 30]

Imam Al-Baihaqi berkata:

أما المتقدمون من هذه الأمة فإنهم لم يفسروا ما كتبنا من الآيات والأخبار في هذا الباب


: “Golongan terdahulu (salaf) dalam umat ini, mereka tidak menafsirkan apa yang kita tuliskan (riwayatkan) dari ayat Al-Qur’an dan hadith pada bab ini (mutasyabihat)”. [Al-Asma’ wa As-Sifat: 407]

Imam Az-Zahabi turut meriwayatkan dengan berkata:


والمحفوظ عن مالك رحمه الله رواية الوليد بن مسلم أنه سأله عن أحاديث الصفات، فقال: أمرها كما جاءت بلا تفسير



: “Diriwayatkan secara terpelihara (sanadnya) daripada Imam Malik dengan riwayat Al-Walid bin Muslim bahawasanya beliau bertanya kepadanya (Malik) tentang hadith-hadith sifat maka beliau berkata: “Lalui sebagaimana ia datang tanpa tafsir... [Siyar A’laam An-Nubala’8/105]

Imam At-Tirmizi pula berkata:


والمذهب في هذا عند أهل العلم من الائمة مثل سفيان الثوري ومالك بن أنس وابن المبارك وابن عيينة ووكيع وغيرهم أنهم رووا هذه الاشياء ثم قالوا :تروى هذه الاحاديث ونؤمن بها ، ولا يقال كيف ، وهذا الذي اختاره أهل الحديث أن تروى هذه الاشياء كما جاءت ويؤمن بها ولا تفسر ولا تتوهم ولا يقال كيف



: “Mazhab pada pembahasan ini (mutasyabihat) di sisi ahli Ilmu dari kalangan Imam Sufyan At-Thauri, Malik bin Anas, Ibn Al-Mubarak, Ibn Uyainah, Waqi’e dan sebagainya bahwasanya mereka meriwayatkan sifat-sifat tersebut kemudian mereka berkata: “Diriwayatkan hadith-hadith tersebut (mutasyabihat) dan kami beriman dengannya serta tidak berkata kaif (bagaimana). Inilah pegangan yang dipegang oleh ahli hadith bahawasanya nas-nas tersebut diriwayatkan sebagaimana ia diriwayatkan, lalu dia beriman dengannya dan tidak ditafsirkan, tidak dikhayalkan dan tidak dikatakan kaif (bagaimana ia)…” [Sunan At-Tirmizi: 4/692]

Imam Sufian bin ‘Uyainah berkata:

ما وصف الله تبارك وتعالى به نفسه في كتابه ، قراءته تفسيره ، وليس لأحد أن يفسره بالعربية ولا بالفارسية



: “Apa yang Allah sifatkan tentang diriNya dalam kitabNya maka bacaannyalah tafsirnya (hanya lafad saja). siapapun tidak boleh mentafsirkannya dalam bahasa Arab ataupun dalam bahasa Farsi”. [Al-Asma’ wa As-Sifat: 314]

Apa yang dimaksudkan dengan:
“Bacaannya adalah tafsirannya…”: maknanya, cukup menetapkan lafaznya tanpa perlu memahami maknanya dari sudut bahasa. Ini berdasarkan perkataan beliau seterusnya:-

“Tiada siapapun boleh menafsirkannya dalam bahasa Arab…”: Maknanya, tidak boleh memahaminya dengan maknanya dari sudut bahasa Arab itu sendiri karana bisa membawa kepada tasybih dan prasangka.

Perkataan beliau lagi: “…tidak boleh menafsirkannya dalam bahasa Farsi”: maknanya, tidak boleh menterjemahkannya ke dalam bahasa lain berdasarkan maknanya dari sudut bahasa seperti menterjemahkan yadd Allah kepada tangan Allah dan sebagainya.

Imam Abu ‘Ubaid Al-Qasim berkata:

ما أدركنا أحداً يفسر منها شيئاً ، ونحن لا نفسر منها شيئاً ، نصدق بها ونسكت


: “Kami tidak mendapati dalam kalangan kami seorangpun yang menafsirkan satupun daripadanya (nas-nas mutasyabihat melibatkan sifat Allah). Kami tidak menafsirkan satupun daripadanya dan kami beriman dengannya lalu kami mendiamkan diri (daripada membahas mengenai maknanya). [Syarah As-Sunnah oleh Al-Lalka’ie: 3/526]

Imam Muhammad bin Al-Hasan berkata:

فإنهم لم يصفوا ولم يفسروا

: “Maka mereka (salaf) tidak menyifatkan [dengan makna dhohir] dan tidak menafsirkannya…” [ibid: 3/432]

Imam Ibn Batthah berkata:

وتركوا المسألة عن تفسيرها ورأوا أن العلم بها ترك الكلام في معانيها

: “Mereka (salaf) meninggalkan masalah (mutasyabihat) daripada menafsirkannya dan mereka meriwayatkan bahawasanya ahli ilmu mengenainya meninggalkan berkata tentang makna-maknanya…” [As-Syarh wa Al-Ibanah fi Usul As-Sunnah wa Ad-Diyanah]

Inilah yang membedakan antara mukhamat dengan mutasyabihat. Muhkamat adalah apa yang diketahui maknanya sedangkan mutasyabihat adalah apa yang tidak diketahui maknanya. Maka, barang siapa yang mencuba menetapkan makna dhahir bagi nas-nas mutasyabihat seolah-olah sudah menyamakan antara muhkamat dengan mutasyabihat.

Imam At-Tabari berkata:

حدثنـي الـمثنى, قال: حدثنا عبد الله بن صالـح, قال: ثنـي معاوية, عن علـي, عن ابن عبـاس: {فَـيَتّبِعُونَ ما تَشابَهَ مِنْهُ} فـيحملون الـمـحكم علـى الـمتشابه, والـمتشابه علـى الـمـحكم, ويـلبّسون…


: Al-Matha meriwayatkan bahawasanya Abdullah bin Shaleh berkata bahawasanya Mu’awiyyah meriwayatkan daripada Ali daripada Ibn Abbas r.a. yang berkata: “Mereka mengikuti apa yang mutasyabih daripadanya…” yaitu mereka yang berinteraksi dengan muhkam seperti berintraksi dengan mutasyabih dan berinteraksi dengan mutasyabih sebagaimana dengan yang muhkam lalu mereka mencampur adukkan (antara muhkamat dan mutasyabihat)…” [Tafsir At-Tabari pada ayat tersebut]

Pembahasan Kelima: Adakah Para Ulama’ Ahlus Sunnah wal Jamaah (khususnya majoritias Salaf dan sebahagian Khalaf) Menyerahkan Makna Nas-nas Mutasyabihat kepada Allah?

Hal ini memang benar. Mereka menyerahkan makna bagi nas-nas mutasyabihat seperti yadd, ain, istiwa’ dan sebagainya kepada Allah s.w.t.. Ini dinamakan sebagai manhaj tafwidh makna yang menjadi fokus utama perbincangan ini.

Dalilnya adalah berdasarkan hadith Nabi s.a.w. yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari r.a., bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda:

…ما علمتم منه فقولوا وما لا فكلوه إلى عالمه

: “…Apa yang kamu ketahui daripadanya (ayat-ayat Al-Qur’an) maka kamu katakanlah mengenainya tetapi apa yang kamu tidak tahu, maka serahkanlah (ilmu atau maknanya) kepada Tuhan yang Maha Mengetahuinya…” [Khalq Af’al Al-Ibad: m/s 46 dan dalam Musnad Imam Ahmad 2/185]

Begitu juga dalam suatu riwayat:

وأخرج ابن أبي شيبة في المصنف عن أبي قال: كتاب الله ما استبان منه فاعمل به، وما اشتبه عليك فآمن به وَكِلْهُ إلى عالمه.

Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah dalam Al-Musonnaf daripada Ubai bahawasanya dia berkata: “ (Dalam kitab) Allah, apa yang jelas maknanya maka amalkanlah sedangkan apa yang samar, maka cukup sekadar beriman dengannya dan serahkan (pengetahuan tentang maknanya) kepada Yang Maha Mengetahuinya…”

Imam Ibn Qudamah berkata dalam buku Lum'ah Al-I'tiqod:

"Jika ada kesamaran pada ayat-ayat dan hadith-hadith tersebut (mutasyabihat), maka wajib kita menetapkan lafaznya dan meninggalkan usaha untuk mengetahui maknanya. Kita serahkan ilmu (tentang maknanya) kepada yang berfirman (Allah s.w.t.)…"

Beliau berkata lagi:

بل قراءتُها تفسيرها من غير معنى بعينه ولا تفسير بنفسه ولكن قد علمنا أن لها معنى في الجملة يعلمه المتكلم بها فنحن نؤمن بها بذلك المعنى، ومن كان كذلك كيف يسأل عن معنى وهو يقول لا أعلمه؟

Maksudnya: “Bahkan bacaannyalah tafsirannya (hanya tetapkan lafaz) tanpa (menetapkan) makna tertentu dan tanpa tafsiran yang tertentu. Tetapi, kita ketahui bahwasanya baginya (nas-nas mutasyabihat) tersebut ada makna berdasarkan apa yang diketahui oleh yang berfirman dengannya (yaitu di sisi Allah). Maka, kita beriman dengan makna tersebut (yang hanya diketahui oleh Allah). Kalau begitu perihal seseorang, bagaimana ditanya tentang makna sesuatu yang dia sendiri berkata: “saya tidak tahu” [Tahrim An-Nazhor: 59 dan Zam At-Ta’wil11]

Imam Az-Zahabi berkata:

"فقولنا في ذلك وبابه : الإقرار ، والإمرار ، وتفويض معناه إلى قائله الصادق المعصوم "

: “Adapun perkataan kami pada bab ini (nas-nas mutasyabihat): Iqrar (mengakui), Imrar (melaluinya atau menyebutnya saja) dan menyerahkan maknanya kepada yang berkata tentangnya iaitulah As-Shodiq Al-Ma’shum (Rasulullah s.a.w.).” [Siyar A’lam An-Nubala: 8/105]

Imam At-Tohawi r.a. seorang ulama’ salaf berkata tentang nas-nas mutasyabihat:

ومعناه على ما أراد

: “…dan dengan maknanya yang sesuai dengan apa yang di kehendaki Allah…” [Aqidah Tohawiyyah]

Imam Abu Ubaid berkata:

نحن نروي هذه الأحاديث ولا نريغ لها المعاني

: “Kami meriwayatkan hadith-hadith ini (sifat) tanpa mencari makna-maknanya…” [Al-Asma’ wa As-Sifat: 2/192]

Imam Ibn Al-Jauzi juga berkata:

ذهب السلف تفويض علم هذه المعاني وترك البحث

: “Golongan Salaf: Tafwidh pengetahuan tentang makna-makna (mutasyabihat) lalu meninggalkan perbahasan mengenainya…” [Daf Syubah At-Tasybih]

Imam As-Shahrastani berkata:


بل نقول كما قال الراسخون في العلم: (كلّ من عند ربّنا) آمنّا بظاهره، وصدّقنا بباطنه، ووكلنا علمه إلى اللّه تعالى، ولسنا مكلّفين بمعرفة ذلك‏

Maksudnya: “Bahkan kita berpegang dengan perkataan Rasikhun (orang yang mendalam ilmu mereka): “Semua daripada Tuhan kami”, yaitu kami beriman dengan dhahirnya (lafaznya) dan beriman dengan batinnya (maknanya) lalu menyerahkan ilmu (makna)nya kepada Allah dan kita tidak dibebankan untuk mengetahuinya…” [Al-Milal wa An-Nihal m/s 104-105]

Imam As-Shan’ani juga berkata:

الأحوط الإيمان بما ورد وتفويض بيان معناه إلى الله


: “yang lebih berhati-hati adalah, beriman dengan apa yang diriwayatkan lalu menyerahkan penjelasan maknanya kepada Allah…” [Ijabah As-Sa’il Syarh Bughyah Al-Amil m/s 114]

Imam Az-Zarqoni berkata dalam Manahil Al-‘Irfan:

“Adapun mazhab Salaf adalah, mereka mufawwidhah, iaitu menyerahkan ilmu tentang makna mutasyabihat kepada Allah setelah memalingkannya daripada dhahirnya mustahil bagi Allah s.w.t..” [Manahil Al-‘Irfan fi Ulum Al-Qur’an: 185]

Sheikh Sulaiman bin Umar Al-Jamal As-Syafi’e berkata dalam Hasyiyah Tafsir Al-Jalalain m/s 149:

“Manhaj Salaf menyerahkan ilmu tentang makna mutasyabihat kepada Allah s.w.t. setelah memalingkannya daripada dhahirnya…”

Imam Ibn Hisyam Al-Anshori berkata:

ويكلون معناه إلى ربهم


: “Mereka menyerahkan maknanya kepada Tuhan mereka…” [Mughni Al-Labib 81]

Inilah juga pendirian salafus-soleh sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam An-Nawawi dalam Syarah Sahih Muslim, Imam Ibn Hajar Al-Asqollani dalam Fath Al-Bari, Imam Al-Qurthubi dalam Al-Jami’e li Ahkam Al-Qur’an, Imam Az-Zarkasyi, Imam As-Suyuti dan sebagainya dalam kitab-kitab ulum Al-Qur’an mereka dan ribuan kitab aqidah, tafsir, hadith, qawa’id dan sebagainya yang lain.

Inilah manhaj yang dikenal sebagai Tafwidh Makna di sisi salafus-soleh yang berusaha dinafikan oleh Ibn Taimiyyah dan pengikut-pengikutnya, yang mana tidak timbul pengingkaran terhadap Tafwidh Makna ini sebelum lahirnya Ibn Taimiyyah melainkan di sisi Hasyawiyyah (wallahu a’lam). Rujuklah buku-buku para ulama’ yang menukilkannya, pasti dia akan dapati salafus-soleh memang bertafwidh dengan tafwidh makna dan sebagiannya juga ada memberi ta’wilan kepada nas-nas mutasyabihat.

Kalaulah ayat Al-Qur’an bisa difahami keseluruhannya, maka semua orang boleh memahami dengan makna dhahir dari ilmu bahasa Arab, akan maksud Alif Laam Mim dan sebagainya. Namun, di sisi majoriti ulama’ tafsir, ini tidak diketahui maknanya melainkan Allah s.w.t.. Maka, sebagaimana ayat Al-Qur’an seperti Alif Laam Mim tidak diketahui maknanya melainkan Allah, begitu juga dengan nas-nas mutasyabihat yang melibatkan sifat-sifat yang dinisbahkan kepada Allah s.w.t. seperti yadd dan sebagainya.

Fasal: Tafwidh Kaifiyyat: Konsep Menetapkan Kaifiyyat dan Menyerahkan Ilmunya kepada Allah

Adapun pendirian Ibn Taimiyyah dan para pengikutnya yang berpendirian menetapkan kaifiyat bagi Allah s.w.t. lalu menyerahkan ilmu tentang kaifiyat kepada Allah s.w.t. adalah suatu kaedah yang tertolak berdasarkan beberapa hujah yang kuat namun tidak dapat dimuatkan di sini karana keterbatasan skop kita yang mengkhususnya tentang perbahasan nas-nas mutasyabihat.

Namun, cukuplah sebagian perkataan ulama’ yang menetapkan Tafwidh Makna sebagai dasar ulama’ salaf dan sebagian khalaf berinteraksi dengan nas-nas mutasyabihat, menjadi hujah menolak tafwidh kaifiyyat. Suatu hakikat yang perlu difahami adalah: daripada menetapkan kaifiyyat bagi sifat-sifat Allah, berarti telah menetapkan kadar dan ukuran bagi zat dan sifat Allah s.w.t.. Ini lah yang terpaksa diakui oleh Ibn Taimiyyah ketika menetapkan kaifiyyat bagi Allah namun tidak menafikan kemustahilan kadar dan batasan bagi Allah s.w.t. [rujuk At-Ta’sis dan sebagainya].

Ibn Taimiyyah berkata:

وأما قوله "الكيفية تقتضي الكمية والشكل"…وإذا كان هذا مستلزماً للكمية فهو الذي يذكره المنازعون أنه ما من موصوف بصفة إلا وله قدْر يخصه، وأكثر أهل الحديث والسنة من أصحاب الإمام أحمد رحمه الله وغيرهم لا ينفون ثبوت الكيفية في نفس الأمر بل يقولون لا نعلم الكيفية


: “Perkataannya : bahawasanya Kaifiyyah membawa makna kammiyyah (bilangan) dan bentuk”… maka jika itu melazimkan kammiyyah (kuantiti) maka itulah yang disebutkan oleh golongan yang menentang (golongan mutakallimun) bahwasanya setiap yang disifati dengan sifat tertentu, maka baginya ada kadar (batas) khusus (tertentu)… Kebanyakkan ahli hadith dan Sunnah dari kalangan pengikut Imam Ahmad dan sebagainya tidak menafikan wujudnya kaifiyah (tatacara) itu sendiri tetapi mereka berkata: kami tidak tahukaifiyyah” [Bayan Talbis Al-Jahmiyyah: 1/347]

Dalam perbahasan selanjutnya dalam buku tersebut dalam dalam buku At-Ta’sis, Ibn Taimiyyah tidak menafikan had dan batas bagi Allah s.w.t. karana itu seiring dengan tidak menafikan kaifiyyat daripada Allah s.w.t..

Namun, Imam Al-Qarafi yang bermadhab maliki mensyarahkan maksud perkataan Imam Malik yang menyebut: “Al-Kaif tidak masuk akal…” dengan berkata:

"والكيف غير معقول" معناه أن ذات الله لا توصف بما وضعت له العرب لفظ كيف، وهو الأحوال المتنقلة والهيئات الجسمية … فلا يعقل ذلك في حقه لاستحالته في جهة الربوبية


: “Kaif tidak masuk akal” maksudnya, zat Allah tidak disifati dengan apa yang diletakkan oleh kaedah bahasa Arab dengan lafad Kaif yaitu (maksud kaif) adalah suatu keadaan-yang berpindah-pindah (terpisah-pisah) dan suatu keadaan (sifat) kejisiman…Maka tidak masuk akal (mustahil) (Kaif) dinisbahkan kepada Allah karana itu (kejisiman dan sebagainya) mustahil bagi sifat ketuhanan (Allah s.w.t)..” [Az-Zakhirah 13/242]

Maka, secara bahasa, menetapkan kaifiyyat bagi Allah berarti menetapkan ukuran dan kadar batas bagi Allah s.w.t.. Ini bukan pegangan salafus-soleh. Tidak ada dalam kalangan salaf pernah mendakwa bahwasanya Allah s.w.t. mempunyai kadar dan kaifiyyat tetapi kita tidak mengetahuinya. Malah, mereka menafikan asal bagi kaifiyyat itu sendiri daripada nisbah kepada Allah s.w.t. berdasarkan perkataan Imam Al-Qarafi r.a..

Imam Ahmad bin Hanbal r.a. juga berkata:

إذا كانت بأسانيد صحاح ولا يوصف الله بأكثر مما وصف به نفسه بلا حد ولا غاية

: “Jika riwayat-riwayat (mutasyabihat) dengan sanad yang sahih, maka kita tidak menyifati Allah lebih daripada apa yang Allah s.w.t. sifatkan tentang diriNya tanpa had dan tanpa batas…” [Syi’ab Al-Iman 1/105]

Malah, Ibn Taimiyyah sendiri tidak pernah meriwayatkan perkataan salaf yang mengatakan: “ada kaifiyat bagi Allah tetapi kita saja yang tidak tahu…” (berdasarkan kajian saya yang serba terbatas dan kejahilan saya). Malah, terlalu banyak nas-nas daripada salaf yang menafikan secara mutlak nisbah kaifiyyat kepada Allah s.w.t..

Adapun perkataan yang dinisbahkan kepada Imam Malik yang berkata: “Kaif Majhul”, maka menurut sebagian besar ulama’, iti tidak jelas menunjukkan Imam Malik menetapkan kaifiyyat bagi Allah s.w.t. di samping riwayat tersebut lemah (jika dikaji dari sudut sanadnya) di banding riwayat yang menyebut: “Kaif ghair ma’qul… (maksudnya kaif tidak masuk akal…”.

Dengan banyaknya riwayat daripada salaf yang menafikan kaif dan batas bagi sifat Allah s.w.t., maka ini menunjukkan bahwasanya mereka tidak berpegang kepada tafwidh kaifiyyat karana mereka sendiri menolak adanya kaifiyyat bagi Allah s.w.t. secara asalnya. [Dr. Suhaib As-Saqar: At-Tajsim fi Al-Fikr Al-Islami: 41]

Antara contoh perkataan salaf yang menafikan asal bagi kaifiyyat juga adalah perkataan Imam Al-As’yari yang berkata: ((بلا كيف)) maksudnya: “tanpa kaif…” [Maqalat Al-Islamiyyin: 217]

Namun, bukan di sini untuk membahas secara terperinci tentang menetapkan kaifiyyat dan menyatakan pembatalanya karana memerlukan ruang perbahasan yang lebih luas. Namun, dalam risalah ini, tujuan dan fokus perbahasan hanyalah tentang cara berinteraksi dengan nas-nas mutasyabihat di sisi majoritas salaf dan ulama’ khalaf.

Hal yang sangat dikesalkan adalah, tuduhan sebagian pihak yang menuduh manhaj tafwidh makna sebagai suatu bid’ah dan kesesatan yang nyata sedangkan manhaj inilah yang dijelaskan sebagai pendirian salafus-soleh khususnya sebelum lahirnya Ibn Taimiyyah lalu menafikannya. Ungkapan-ungkapan seperti pernyataan Tafwidh Makna adalah mazhab Tajhil (kebodohan) atau bid’ah adalah antara celaan sbagian pihak yang tidak bertanggungjawab dalam melihat masalah ini secara lebih meluas dan adil.

Namun, tuduhan tersebut sudah banyak dijawab oleh banyak para ulama’ dari dahulu hingga hari ini seperti dalam kitab As-Saif As-Saqil oleh Imam Al-Subki, Daf Syubah Man Syabbaha oleh Imam Al-Hishni, At-Tajsim fi Al-Fikr Al-Islami oleh Dr. Shuhaib As-Saqqar, Al-Mizan Al-‘Adil oleh Sheikh Abdul Qadir Isa Ad-Dayyab, Al-Kasyif As-Shaghir oleh Sheikh Sa’id Fudah, Fusulun fi Al-Aqidah oleh Sheikh Dr. Al-Qaradhawi, As-Salafiyyah oleh Sheikh Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buti, Mauqif As-Salaf min Al-Mutasyabihat oleh Dr. Muhammad Abdul Fadhil, Ahlus Sunnah Al-Asya’irah oleh Sheikh Hamad As-Sinan dan Sheikh Fauzi, Al-Qaul At-Tamam oleh Sheikh Saif Al-Ashri dan sebagainya.

Maka, cukuplah dengan jawapan-jawapan mereka, menjelaskan tentang hakikat dan kebenaran Manhaj Tafwidh Makna di sisi Salafus-Soleh. Semoga Allah s.w.t. menjaga hati kita dari ketaasuban dalam membuat penilaian.

Kesimpulan Perbahasan

Apakah itu nas-nas mutasyabihat? Sebagaimana sudah dijelaskan antara maknanya, mutasyabihat adalah sesuatu yang samar maknanya karana ada banyak wajah (sudut) untuk memahaminya, bukan tertakluk kepada satu makna saja. Kita sudah nukilkan perkataan-perkataan ulama’ dalam menjelaskannya.

Adakah nas-nas yang menyebut lafaz-lafaz seperti Yadd Allah, Istiwa dan sebagainya adalah antara nas-nas mutasyabihat? Benar. Kita sudah buktikan sebagian perkataan-perkataan sebahgian ulama’ mengenainya.

Adakah nas-nas mutasyabihat tidak difahami dengan maknanya dari sudut bahasa (makna dhahir)? Benar. Inilah pendirian salafus-soleh dan ulama’ muktabar khalaf sebagaimana telah kita nukilkan sebagian perkataan-perkataan mereka seperti perkataan Imam As-Syafi’e, Imam Ahmad bin Hanbal, ulama’-ulama’ tafsir, ulama’-ulama’ hadith dan sebagainya.

Adakah nas-nas mutasyabihat tidak diketahui maknanya? Benar. Ini berdasarkan surah Ali Imran ayat ketujuh sebagaimana yang ditafsirkan oleh sebagian ulama’ secara umum. Begitu juga sebagian perkataan salafus-soleh seperti Imam As-Syafi’ie yang khusus menjelaskan salafus-soleh tidak mengetahui makna bagi nas-nas mutasyabihat terutamanya yang berkaitan lafaz yadd, istiwa’ dan sebagainya yang dinisbahkan kepada Allah s.w.t..

Kalau begitu, apa aqidah mereka? Mereka menyerahkan makna nas-nas mutasyabihat kepada Allah s.w.t. berdasarkan saranan Surah Ali Imran ayat ketujuh dan beberapa hadith serta athar yang menggalakkannya. Manhaj ini merupakan manhaj Tafwidh Makna. Ini tidak sekali-kali menafikan tujuan Al-Qur’an sebagai suatu penjelasan, tetapi menunjukkan keagungan Al-Qur’an yang mempunyai pelbagai rahsia yang membuktikan itu daripada Allah s.w.t., Tuhan yang Maha Mengetahui.

Cukuplah sekadar membuktikan beberapa fokus utama tentang tafwidh makna di sisi salaf yang lahir daripada pendirian mereka bahawasanya nas-nas seperti yadd dan sebagainya adalah nas-nas mutasyabihat yang tidak diketahui maknanya melainkan Allah s.w.t..

Hal yang jelas, inilah pendirian para ulama’ salaf dalam Tafwidh Makna bagi nas-nas mutasyabihat sepertimana yang diriwayatkan daripada Imam Abu Hanifah, Imam As-Syafi’e, Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam At-Tohawi dan sebagainya. Begitu juga sebagaimana yang diriwayatkan oleh ramai ulama’ besar seperti Imam At-Tabari, Imam As-Samarqandi (375 H), Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, Imam Al-Baihaqi, Imam At-Tabrani (360 H), Imam Al-Ghazali, Imam Fakhrduddin Al-Razi, Imam Ibn Al-Jauzi, Imam Al-Khazin (725 H), Imam Abu Hayyan, Imam Al-Alusi, Imam As-Suyuti, Imam Az-Zarkasyi, Imam Az-Zarqani, Imam Ibn Hajar Al-Asqollani, Imam An-Nawawi, Imam Al-Ubbi, Imam Mulla Ali Al-Qari, Imam Al-Lalka’ie, Imam As-Shahrastani, Imam As-Subki, Imam Badruddin Ibn Jama’ah,Imam Taqiyuddi Ad-Dimasyqi Al-Hisni (829 H), Imam Az-Zahabi, Imam Qadhi Iyad, Sheikh Ibn Khaldun, Imam Ibn Rajab Al-Hanbali, Imam Al-Izz bin Abd As-Salam dan sebagainya.

Begitu juga diriwayatkan oleh beberapa ulama’ mutakhir seperti Imam Al-Kauthari, Imam Yusuf An-Nabhani, Imam At-Tabbani, Sheikh Abdullah As-Siddiq Al-Ghumari, Dr. Shuhaib As-Saqqar, Sheikh Manshur Muhammad, Dr. Muhammad Abdul Fadhil, Imam Hasan Al-Banna, Sheikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Sheikh Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buti, Sheikh Sa’id Fudah, Sheikh Dr. Umar Abdullah Kamil, Sheikh Hamad As-Sinan dan Sheikh Fauzi Al-‘Anjari, Ustaz Sheikh Saif Al-‘Ashri dan sebagainya.

Adapun bagi mereka yang menolak konsep tafwidh makna ini lalu menetapkan tafwidh kaifiyyat, maka risalah ini bukanlah menjadi tempat untuk menolak dan membatalkan pendirian mereka. Ia memerlukan kepada ruang yang lebih luas untuk membahaskannya dari pelbagai sudut. Risalah ini cuma bertujuan untuk menunjukkan sebagian petunjuk bahwasanya salaf dan khalaf (yang merupakan ahlus-sunnah) sepakat tentang konsep ta’wil Ijmali dan tafwidh makna (khususnya di sisi salaf) dalam berinteraksi dengan nas-nas mutasyabihat.

Apa yang saya susun -dengan bantuan Allah s.w.t.- hanyalah di antara usaha untuk menjelaskan sedikit pendirian Salafus-Soleh dan khalaf yang merupakan As-Sawad Al-A’zhom dalam berinteraksi dengan nas-nas mutasyabihat berdasarkan pendirian dan perkataan para ulama’ Islam yang sememangnya diakui keagungan mereka dalam bidang masing-masing.

Semoga Allah s.w.t. memberi kita peluang untuk mendengar kebaikan lalu mengikuti kebenaran. Hidayah hanyalah milik Allah s.w.t., yang mana Allah s.w.t. memberi hidayah kepada mereka yang dikehendakiNya dan tidak memberinya kepada mereka yang tidak dikehendakiNya. Semoga Allah s.w.t. memberi hidayah kepada kita semua. Amin…

Wallahu a’lam
* * *
Rujukan:

Kitab Al-Qur’an, Tafsir dan Ulum Al-Qur’an

Al-Qur’an Al-Karim

Al-Jami’e li Ahkam Al-Qur’an

Tafsir Jalalain

Jamie’ Al-Bayan oleh Imam At-Tabari

tafsir Bahr Al-Ulum oleh Imam As-Samarqandi (375 H)

At-Tafsir Al-Kabir oleh Imam At-Tabrani (360 H)

Lubab At-Ta’wil oleh Imam Al-Khazin (725 H)

Tafsir Ibn Al-Jauzi

Tafsir Al-Baghawi

Al-Bahr Al-Muhith oleh Imam Abu Hayyan

Madarik At-Tanzil oleh Imam An-Nasafi

Ruh Al-Ma’ani oleh Imam Al-Alusi

Hasyiyah Tafsir Al-Jalalain oleh Sheikh Sulaiman bin Umar Al-Jamal As-Syafi’e

Al-Itqan Fi Ulum Al-Qur’an oleh Imam As-Suyuti

Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an oleh Imam Az-Zarkasyi

Manahil Al-‘Irfan fi Ulum Al-Qur’an oleh Imam Az-Zarqani

Mufradat Al-Qur’an oleh Imam Al-Raghib Al-Asfahani



Kitab Hadith dan Ulum Al-Hadith

Sahih Al-Bukhari

Sahih Muslim

Musnad Imam Ahmad oleh Imam Ahmad

Sunan At-Tirmizi oleh Imam At-Tirmizi

Sunan Al-Baihaqi oleh Imam Al-Baihaqi

Syi’ab Al-Iman

Fath Al-Bari oleh Imam Ibn Hajar Al-Asqollani

Syarah Sahih Muslim oleh Imam An-Nawawi

Syarah Sahih Muslim oleh Imam Al-Ubbi

Mirqah Al-Mafatih oleh Imam Mulla Ali Al-Qari

Syarah As-Sunnah oleh Al-Lalka’ie



Kitab-kitab Aqidah

Al-Fiqh Al-Akbar dan syarahnya oleh Imam Mulla Ali Al-Qari

Risalah At-Tahawiyyah oleh Imam At-Tohawi

Al-Luma’ oleh Imam Al-Asy’ari

Maqalat Islamiyyin oleh Imam Al-Asy’ari

Syarh Bad’ie Al-Amali oleh Imam Abu Bakr Ar-Razi

Risalah Nizhomiyyah oleh Imam Al-Haramain Al-Juwaini

Al-Asma’ wa As-Sifat oleh Imam Al-Baihaqi

Iljamul Awam oleh Imam Al-Ghazali r.a.

Asas At-Taqdis oleh Imam Fakhruddin Al-Razi

Al-Milal wa An-Nihal oleh Imam As-Shahrastani

Daf’ Syubah At-Tasybih oleh Imam Ibn Al-Jauzi

As-Saif As-Saqil oleh Imam As-Subki

Ittihaf Al-Ka’inat oleh Sheikh Mahmud Khitab As-Subki

Syarh Jauharah At-Tauhid

Hasyiyah Al-Bajuri ‘ala Jauharah At-Tauhid oleh Imam Al-Bajuri

Idhah Ad-Dalil fi Qat’ie Hujaj Ahl At-Ta’thil oleh Imam Badruddin Ibn Jama’ah

Daf' Syubah man Syabbaha oleh Imam Taqiyuddi Ad-Dimasyqi Al-Hisni (829 H)



At-Tajsim fi Al-Fikr Al-Islami (tesis PhD) Dr. Shuhaib As-Saqqar

Ibn Taimiyyah Laisa Salafiyyan oleh Sheikh Manshur

Mauqif As-Salaf min Al-Mutasyabihat oleh Dr. Muhammad Abdul Fadhil

Fusulun fi Al-Aqidah oleh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi

As-Salafiyyah oleh Sheikh Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buti

Maqalat Al-Kauthari dan ta’liqat oleh Imam Al-Kauthari

Bara’ah Al-Asy’ariyyin oleh Imam At-Tabbani

Risalah Al-‘Aqa’id oleh Imam Hasan Al-Banna

Naqd Risalah At-Tadammuriyyah oleh Sheikh Sa’id Fudah

Ahl Sunnah Al-Asya’irah oleh Sheikh Hamad As-Sinan dan Sheikh Fauzi Al-‘Anjari

Al-Qaul At-Tamam karangan Ustaz Sheikh Saif Al-‘Ashri

Lum’ah Al-‘Itiqad oleh Sheikh Ibn Qudamah

Zamm At-Ta’wil oleh Sheikh Ibn Qudamah

Al-Uluw oleh Imam Az-Zahabi

As-Syarh wa Al-Ibanah fi Usul As-Sunnah wa Ad-Diyanah oleh Ibn Batthah



Kitab-kitab Sirah dan lain-lain:

As-Syifa’ oleh Al-Qadhi Iyad

Siyar A’laam An-Nubala’ oleh Imam Az-Zahabi

Muqoddimah Ibn Khaldun oleh Sheikh Ibn Khaldun

Fadhl Ilm As-Salaf ‘ala Al-Khalaf oleh Imam Ibn Rajab Al-Hanbali

Mughni Al-Labib oleh Sheikh Ibn Hisyam Al-Anshari



Kitab-kitab Sheikh Ibn Taimiyyah dan Sheikh Ibn Qayyim Al-Jauziyyah

Majmu’ Fatawa oleh Sheikh Ibn Taimiyyah

Risalah At-Tadammuriyyah oleh Sheikh Ibn Taimiyyah

At-Ta’sis oleh Sheikh Ibn Taimiyyah

Bayan Talbis Al-Jahmiyyah oleh Sheikh Ibn Taimiyyah

Ijtima’ Al-Juwusy Al-Islamiyyah oleh Sheikh Ibn Qayyim Al-Jauziyyah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jenazah Tidak Wajib dimandikan Jika Bisa Mandi Sendiri

Hukum Menggunakan Jalan Umum untuk Hajatan Pernikahan

Pelaku Bom Bunuh Diri Bukan Mati Syahid