Mengkompromikan antara manhaj isbat dan takwil




Wahabi selalu pilih pilih dalam mengambil perkataan ulama yang mengambil dari salaf, ana melihat mereka mengambil sebagian, dan tidak tahu sebagian yg lain. padahal untuk Mengkaji manhaj seorang ulama mesti dilakukan dengan melihat kepada kitab-kitab yg mereka tulis, bukan membacanya melalui sumber kedua (marja’ thanawi) yg ditulis oleh orang lain ttgnya. Juga kajian itu mestilah mutakamil (komprehensif), bukan mutajazza (parsial). Menarik kesimpulan dari satu atau dua contoh perkataan mereka saja itu tidak mencukupi.
Salaf mempunyai dua metode sebagaimana kita ambil contoh dalam perkataan dan sikap Ibn Qutaibah ,yang mana beliau adalah madhab hambali, pada satu saat,beliau mengisbatkan sifat2 Allah spti para salaf mengisbatkannya. spt kata beliau ttg yadullah :
"هما اليدان اللتان تعرف الناس"

;keduanya adalah tangan sebagaimana yang di ketahui manusia (Al-Ikhtilaf fil Lafz wal Raddu ‘alal Jahmiah wal Musyabbihah, Ibn Qutaibah al-Dainuri, m.s 41-42, cet. Dar al-Rayah) 

Dan kalau kita menCoba membuka kitab beliau yang lain misal kitab  Takwil Mukhtalif al-Hadith, lalu perhatikan komen-komen Ibn Qutaybah berkenaan hadis-hadis sifat ini. misal ttg hadis “Allah berjalan dan berlari”, “Hajarul Aswad tangan kanan Allah”, “Janganlah engkau mencela masa (dahr) sebab Allah adalah masa”, “aku menemukan nafas Allah dari arah Yaman” dan lain-lain. Maka kita akan lihat beliau mentakwilnya

Cuba juga buka kitab beliau: Takwil Musykil Al-Qur’an. kita akan temukan beliau berkata bahwa lafaz “wajah” dalam bahasa Arab seringkali za’idah (tambahan) dan tidak perlu dimaknai. “Segala sesuatu akan binasa melainkan wajah-Nya”, kata Ibn Qutaybah: “melainkan Dia.” “Kemana engkau berpaling, maka di situ wajah Allah”, maknanya: “di situ Allah.” 

Lafaz “wajah” di dalam ayat ini dan ayat-ayat yang lain hanya tambahan belaka (zai’dah), tanpa ada hakikatnya. lalu bagaimana dengan perkataan ibnu qutaibah sebelumnya yang menyatakan isbat?
Persoalan yang paling utama adalah, benarkah isbat menurut mereka yang isbat dan juga menurut salaf itu suatu pertentangan dengan ta’wil menurut khalaf ketika mereka mentakwil , atau kita sendiri tidak faham dengan makna sebenarnya isbat menurut ulama yang isbat atau menurut salaf dan ta’wil khalaf ketika mereka mentakwil??

Mereka [wahabi] memahami ta’wil tidak seperti yang dimaksudkan oleh para ulama yang mentakwil (dan golongan salafus soleh) dan memahami isbat (menetapkan sesuatu) dengan faham mereka, bukan menurut yang isbat atau menurut salafus soleh itu sendiri.
Misal dalam perkataan ibnu qutaibah:tangan yang kita ketahui" JELAS tidak mungkin di artikan tangan secara yang kita lihat dan kita tau pada diri kita,toh itu jelas tasybih, maksudnya adalah menetapkan lafad yad sebagaimana lafad itu di gunakan pada manusia,tapi maknanya tidak seperti yad yang di idofatkan pada mahluk. Meskipun Wahabi berfikirkan Allah sebagai jisim/tubuh, mereka masih mengatakan tentang sifat Allah itu: "kami tidak tahu bagaimananya." Jadi ini kontradiksi/bertentangan akut....
Benarkah manhaj salafus soleh berbeda dengan manhaj takwil ahlis sunnah khalaof dalam memahami nas-nas mutasyabihat?

dan jika ada perbedaan, benarkah perbezaan tersebut suatu perbedaan yang bertentangan antara satu dengan yang lain?

Marilah kita kaji apakah yang diklaim oleh golongan mutasallif, bahwa golongan Al-Asya'irah ,juga ulama hambali yang mentakwil dan golongan Salafus Soleh saling bertentangan dalam memahami nas-nas mutasyabihat (atau menurut isitilah golongan mutasallif: ayat-ayat khabariyah).


Menurut golongan Mutasallif:

Golongan Salafus Soleh Bermanhaj: Isbat (menetapkan) sifat-sifat mutasyabihat tersebut.

Golongan Al-Asya'irah dan sebagian madhab hambali Bermanhaj: Menta'wilkan sifat-sifat Mutasyabihat tersebut.

Sebenarnya, klaim golongan Mutasallif tersebut tidak bersifat jami' dan mani' (tidak bersifat lengkap dan menyeluruh).

Hakikatnya,karena tidak semua golongan salafus soleh tidak menta'wil ayat-ayat mutasyabihat dan juga tidak semua golongan Al-Asya'irah dan sebagian madhab hambali tidak mengisbatkan sifat-sifat mutasyabihat.

Dengan kata lain, tidak semua manhaj golongan Salafus Soleh mengisbatkan semua ayat-ayat mutasyabihat tanpa menta'wilnya, dan tidak juga semua golongan Al-Asya'irah menta'wilkan ayat-ayat mutasyabihat tanpa mengisbatkannya.

Bahkan, pada hakikatnya, Isbat menurut manhaj salafus soleh tidak berbeda dengan ta'wil menurut Al-Asya'irah, dari segi hakikat, cuma berbeda dari sudut pendekatan saja. Cuma, yang mempermasalahkan antara kedua pihak tersebut adalah golongan ketiga, yaitu golongan mutasallif (konon salafi dari sudut manhaj), karena mereka tidak memahami apa yang dimaksudkan oleh kedua-dua pihak (salafus soleh dan Al-Asya'irah) dengan isbat dan ta'wil itu sendiri.

Insya Allah, alfaqir penulis akan meluaskan skop perbincangan agar lebih mendekati femahaman yang sebenarnya tentang isbat dan ta'wil menurut sebagian madhab hambali dan Al-Asya'irah dan salafus soleh, berdasarkan kaedah Bahasa Arab itu sendiri, di samping itu, menjelaskan pula perihal dan peranan tafwidh yang menjadi ikatan antara golongan salafus soleh dan Al-Asya'irah yang seterusnya bisa membedakan antara keduanya daripada manhaj mutasallif yang terasing.


Isbat Menurut manhaj Salafus Soleh

Para ulama' salafus soleh yang memahami seluk-beluk Bahasa Arab yang tinggi, serta memahami akan pentingnya manhaj tanzih (menyucikan Allah s.w.t. dari sifat-sifat yang tercela dan kekurangan) dalam aqidah Islamiyah, pasti akan lebih waspada dalam berinteraksi dengan nas-nas yang membicarakan tentang sifat-sifat Allah s.w.t., apatah lagi dalam berinteraksi dengan nas-nas yang menyebut sifat-sifat yang mutasyabihat (kesamaran) dari sudut dhahirnya.

Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dalam buku beliau (fusulun fil Aqidah) menegaskan bahwa: "(Hakikat Isbat menurut salaf) pada hakikatnya ialah, membiarkan (lafaz) tersebut dengan dhahirnya lafad, dengan menafikan takyiif (keadaan dan bentuk sifat tersebut) serta tamsil (menyamakan sifat tersebut dengan sifat makhluk). (m/s 40).

begitu juga, menurut jumhur ulama' Al-Asya'irah, bahwa golongan salafus soleh bukanlah bermanhaj isbat, tetapi bermanhaj tafwidh dalam masalah mutasyabihat ini (rujuk buku Ibn Taimiyah laisa Salafiyan (Ibn Taimiyah bukan Salafi) karangan Sheikh Mansur Muhammad Uwais).

Jadi, ada dua pendapat ulama' dalam membincangkan tentang manhaj Salafus Soleh dalam berinteraksi dengan ayat-ayat Mutasyabihat.

Pendapat Pertama: Isbat yaitu, menetapkan lafaz dhahir perkataan tersebut.

Pendapat Kedua: Tafwidh yaitu menyerahkan makna lafaz tersebut kepada Allah s.w.t..

Pendapat kedua adalah pendapat majoritas ulama' Islam Ahlus Sunnnah wal Jamaah mengenai Salafus Soleh, termasuk pendapat guru-guru kami seperti Dr. Umar Abdullah Kamil, Sheikh Sa'id Fudah dan sebagainya.

Dr. Al-Qaradhawi sendiri mengatakan bahawa: "Realitasnya, bagi siapa yang membaca karangan para ulama' salafus soleh berkenaan ayat-ayat mutasyabihat tersebut, maka dia akan dapati bahwa, kebanyakkan daripada mereka meninggalkan usaha untuk mendalami makna ayat-ayat mutasyabihat tersebut, tidak bersusah-payah untuk mentafsirkannya dengan ungkapan apapun. (Ini manhaj tafwidh)

"Perkara ini jelas bahkan, hampir sampai tahap muttafaqun alaih (disepakati oleh ulama') sebelum kelahiran Sheikhul Islam Ibn Taimiyah dan madrasahnya (pemikiran dan manhajnya yang tersendiri)…" (fusulun fil aqidah 40-41)

Jadi, persoalannya, apakah golongan Salafus Soleh itu bermanhaj isbat ataupun bermanhaj tafwidh berkenaan dengan ayat-ayat mutasyabihat.???

Penulis yang faqir berpendapat bahwa:

Kedua pendapat itu betul. karena, isbat menurut salafus soleh dan tafwidh bukanlah dua perkara yang berlawanan, tetapi berbeda dari satu sudut bahasa saja, pada hakikatnya adalah perkara yang sama.

Penjelasannya:

Seperti yang disebutkan oleh Sheikh Dr. Al-Qaradhawi sebelumnya, bahwa, manhaj isbat menurut salafus soleh ialah: "menetapkan lafaz dhahir ayat-ayat mutasyabihat tersebut" itu tidak bertentangan dengan manhaj tafwidh itu sendiri.

Hal ini karena, majoritas golongan salafus soleh sebenarnya menetapkan lafad [perkataan-perkataan] mutasyabihat tersebut, namun tidak menetapkan maknanya secara lughowi (dari sudut bahasa),jadi cuma (isbat lafaz), tetapi menyerahkan makna perkataan yang diisbatkan tersebut kepada Allah s.w.t. (manhaj tafwidh).

Jadi, kita dapat simpulkan bahwa, manhaj salafus soleh dalam masalah ini ialah, isbat lafaz (menetapkan lafad dhahirnya saja) tanpa menetapkan makna lughowi terhadap perkataan tersebut (bukan manhaj isbat ma'na lughowi), di samping menyerahkan maknanya kepada Allah s.w.t. (tafwidh).

Jadi, dapat kita fahami bahwa, mereka isbat dan dalam waktu yang sama juga tafwidh , karena isbat mereka, sekedar isbat lafad, bukan isbat ma'ana lughowi.

Kita beri contoh antara tafwidh, isbat lafad dan isbat ma'na lughowi seperti berikut.

Si A berkata: "Si Bulan masuk ke dalam kedai".

Manhaj isbat lafad ialah ketika seseorang berkata: "Saya percaya dengan kata-kata Si A, bahwa benarlah Si Bulan tersebut masuk ke dalam kedai, tapi Si Bulan tersebut bukanlah bulan yang keluar di waktu malam. tetapi ada makna lain, bukan makna dari sudut bahasa (i
yaitu, bulan yang di atas langit di waktu malam).

Manhaj Tafwidh ialah, ketika seseorang berkata: "Saya percaya dengan kata-kata Si A, tetapi saya serahkan makna sebenarnya perkataan Bulan tersebut kepada si A, kerana dialah yang mengatakan dan mengatahuinya, sedangkan saya tidak tahu makna tersebut.

Manhaj Isbat Ma'na Lughowi ialah, apabila seseorang berkata: "Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa Bulan masuk ke dalam kedai, dan saya tahu makna perkataan bulan tersebut, kerana ia memang makna dari sudut bahasa (yaitu, menurut pandangannya, bahwa si A bermaksud bahwa bulan yang menerangi malam yang masuk ke kedai) tapi cuma saya tak tahu bagaimana bulan tersebut bisa masuk ke dalam kedai.

Maka yang kita dapati adalah, Manhaj Isbat Lafad dan Manhaj Tafwidh adalah dua manhaj yang seiringan karena, manhaj Isbat Lafaz, sekedar menetapkan lafad perkataan tersebut, tetapi menegaskan bahwa, tidak mengetahui akan makna lafad tersebut, sedangkan manhaj tafwidh adalah menyerahkan makna tersebut kepada yang berkata. Jadi, Isbat Lafaz dan Tafwidh merupakan satu manhaj yang selaras.

Tetapi, Manhaj Isbat Ma'na Lughowi inilah yang bertentangan dengan manhaj tafwidh, bahkan manhaj Isbat Ma'na Lughowi ini bukanlah manhaj salafus soleh tetapi manhaj Ibn Taimiyah dan para pengikutnya (yang akan dijelaskan kemudian insya Allah).


Kesimpulannya, tidak ada perbedaan besar antara manhaj Isbat Lafad dengan manhaj Tafwidh, bahkan keduanya sama dalam hakikat pendekatannya dan duanya inilah yang merupakan manhaj majoritas salafus soleh dalam masalah ini. Adapun manhaj Isbat Ma'na Lughowi (menetapkan maknanya dari sudut dhahir) sebenarnya tidak termasuk dalam manhaj salafus soleh, yang akan dibincarakan selepas ini.


Isbat Lafad atau Tafwidh menurut Salafus Soleh dan Ta'wil Al-Asyairah: Apakah Dua Manhaj yang Saling Bertentangan?

Setelah kita ketahui bahwasanya, manhaj majoritas salafus soleh ialah manhaj tafwidh dan isbat lafad (menyerahkan makna perkataan tersebut kepada Allah s.w.t.. Hanya sekedar beriman dengan lafad saja, tanpa memahaminya dengan makna dari sudut bahasa, seperti memahami perkataan Yadd dengan makna tangan), dapatlah kita singkap perbedaan antara manhaj tafwidh dan ta'wil, apakah itu dua perkara yang berbeda, atau sekedar dua pendekatan yang hakikatnya sama?

Sheikh Dr. Al-Buti dalam buku beliau As-Salafiyyah, ketika membahas tentang ta'wil dan tafwidh, dan Sheikh Dr. Al-Qaradhawi dalam buku beliau fusulun fil Aqidah (yang mana keduanya menurut kami, merupakan ulama' yang paling gigih berusaha untuk menyatukan umat Islam, dan semoga Allah s.w.t.membantu mereka), akhirnya membuat kesimpulan bahwa-dengan perkataan Al-Qaradhawi (m/s145)-: "Sesungguhnya, kedua golongan (salafus soleh dan Al-Asya'irah/khalaf) pada akhirnya (pada hakikatnya-setelah diperincikan dan dikaji dengan teliti-sebenarnya menta'wil (ayat-ayat mutasyabihat) tersebut. Cuma, golongan salafus soleh menta'wilnya dengan ta'wil ijmali (ringkas) sedangkan golongan khalaf (Al-Asya'irah) menta'wilnya dengan ta'wil tafsili (terperinci)."

Mengapa menurut Dr. Al-Qaradhawi dan Al-Buti, bahwasanya manhaj salafus soleh juga pada hakikatnya suatu manhaj ta'wil tetapi dalam bentuk ijmali(ringkas)?

Hal ini karena, manhaj tafwidh yang menjadi manhaj majoritas para salafus soleh dalam waktu yang sama,adalah manhaj ta'wil (memalingkan makna suatu lafaz dari makna asal menurut bahasa), Cuma, manhaj tafwidh tidak memberikan ta'wilan (makna lain) kepada lafaz tersebut, walaupun pada hakikatnya sama memalingkan makna perkataan tersebut dari makna asal secara sudut bahasa.

"Yadd Allah bukanlah suatu anggota yang yang berjuz-juz, yang berbentuk, dan sebagainya. Hanya Allah s.w.t. yang mengetahui makna yadd tersebut."

Jadi, para salafus soleh, dengan manhaj demikian (tafwidh) juga menolak makna perkataan yadd tersebut dengan maknanya dari sudut bahasa (yaitu suatu anggota/organ yang berjuz …), yang mana, penolakan terhadap maknanya dari sudut bahasa tersebut,itu juga merupakan manhaj ta'wil secara tidak langsung. Bedanya dengan manhaj ta'wil tafsili Al-Asya'irah, adalah golongan Al-Asya'irah memberi makna lain (ta'wil) kepada lafaz tersebut, sedangkan majoritas golongan salafus soleh tidak memberikan ta'wil tersebut, namun kedua golongan sepakat bahwa, lafaz tersebut (seperti contoh yadd Allah) maksudnya bukanlah dengan cara sudut bahasa dan keduanya berusaha memalingkan manusia daripada memahaminya dari sudut bahasa (dan inilah hakikat ta'wil)!

Golongan salafus soleh memalingkan (ta'wil) manusia daripada menetapkan makna perkataan-perkataan mutasyabihat dengan menafikan maknanya dari sudut bahasa seperti perkatanya: "yadd bukan suatu bagian anggota zat atau tubuh" sedangkan Al-Asya'irah juga memalingkan (ta'wil) manusia dariapda menetapkan makna perkataan mutasyabihat dengan memberi makna lain kepada perkataan tersebut, dengan kaedah majazi dalam Bahasa Arab yang telah kita perbincangkan sebelumnya, yang mana, makna lain tersebut mesti sesuai dengan kaedah kiasan (majazi) dan makna Bahasa Arab itu sendiri, seperti menta'wilkan Yadd dengan kekuatan dan kekuasaan. Ini karena, dari sudut Bahasa Arab sendiri, tangan bisa juga dikiaskan atau menjadi perumpamaan bagi kekuasaan seperti seseorang berkata: "Seluruh negara ini dalam tanganku" bererti dalam kekuasaan dan dalam miliknya.

Kesimpulannya, tafwidh itu sendiri adalah suatu ta'wilan karena memalingkan makna asalnya dari sudut bahasa kepada suatu makna lain yang mana hanya diketahui oleh Allah s.w.t.. Jadi, tidak berlaku pertentangan antara golongan salafus soleh yang bermanhaj tafwidh dalam hal ini dengan golongan Al-Asya'irah yang bermanhaj ta'wil dalam hal ini, karena keduanya berkaitan dengan dua pendekatan yang berbeda namun pada hakikatnya satu manhaj yang sama (yaitu ta'wil itu sendiri).


Persoalannya: Kenapa Golongan Al-Asya'irah dan sebagian kholaf madhab hambali misal ibnu qutaibah Memberi Ta'wil sedangkan Golongan Salafus Soleh hanya Sekedar Tafwidh (Tidak Memberi Makna Lain)

Kepada persoalan ini, kita perlu bertanya kepada mereka yang mempersoalkannya, bahwa: "benarkah dakwaan anda, bahwa golongan Salafus Soleh sekadar Tafwidh saja dan tidak ada dalam kalangan mereka (Salafus Soleh) yang memberi ta'wil?

Dan, benarkah klaim anda, bahwa semua golongan Al-Asya'irah dan kholaf madhab hambali Memberi Ta'wil dan tidak ada dari kalangan mereka yang bermanhaj Tafwidh?

Insya Allah, kami akan jawab persoalan tersebut terlebih dahulu, sebelum menjawab dua persoalan yang seterusnya.

Majoritas golongan Al-Asya'irah dan sebagian kholaf madhab hambali yang hidup di zaman di mana umat Islam semakin bertambah, bahkan banyak orang-orang bukan Arab memeluk Islam, maka di kala itu, banyak budaya-budaya dan pengaruh asing mulai masuk ke dalam umat Islam. Maka, timbullah falsafah-falsafah luar yang menggugat institusi aqidah islamiyah dalam umat Islam, khususnya bagi umat Islam yang bukan dari orang-orang Arab.

Dengan pertemuan antara bukan Arab dengan orang-orang Arab, sehingga memaksa umat Islam bukan Arab bertanya tentang banyak persoalan-persoalan yang baru, yang timbul hasil dari pertemtemuan dan campur baur tersebut. Bahkan, orang-orang A'jam (bukan Arab) juga tidak mampu menguasai Bahasa Arab dengan baik,dengan lantaran itu, mereka tidak mau memahami ungkapan-ungkapan dalam Al-Qur'an dengan baik

Hal ini lebih parah lagi, bila orang-orang awam Islam yang berbangsa A'jam berinteraksi dengan ayat-ayat mutasyabihat ini, di mana mereka hampir-hampir terjerumus ke dalam faham Tasybih (menyerupakan sifat-sifat Allah s.w.t. dengan sifat-sifat makhluk), karena kedangkalan mereka dalam memahami kaedah Bahasa Arab dan Kesusasteraannya yang tinggi.

Hal ini memaksa ulama'-ulama Islam Al-Asya'irah atau Khalaf, membuat satu pendekatan yang lebih mudah yaitu, dengan memberi ta'wil kepada ayat-ayat mutasyabihat tersebut dengan makna lain, yang sesuai dengan kaedah Bahasa Arab itu sendiri, karena pendekatan tafwidh tidak lagi dapat difahami oleh kebanyakkan golongan A'jam, karena kelemahan mereka dalam menguasai Ilmu Bahasa Arab terutamanya ilmu Majaz (kiasan).

Tetapi pada Hakikatnya, tidak semua golongan Al-Asya'irah menggunakan pendekatan ta'wil tetapi, banyak juga dari kalangan mereka yang akhirnya kembali kepada manhaj tafwidh. Mereka berinteraksi dengan golongan awam sesuai dengan kondisi mereka. Kalau golongan awam tersebut berbangsa Arab, yang memahami kaedah Majaz, maka para ulama' Al-Asya'irah tersebut akan menggunakan pendekatan tafwidh. Adapun bagi golongan awam yang tidak mempnyai dasar ilmu Bahasa Arab yang tinggi, maka mereka akan menggunakan pendekatan ta'wil yang sesuai dengan aqidah Islamiyah dan kaedah Bahasa Arab itu sendiri.

Hakikat yang tidak dapat dinafikan juga, adalah adanya sebagian dari kalangan salafus soleh ikut menggunakan pendekatan ta'wil bagi ayat-ayat mutasyabihat tertentu, karena ia lebih sesuai pada keadaan tersebut. Jadi, tidaklah semua ulama' salafus soleh tafwidh semata , karena ada juga dari kalangan mereka yang menta'wil ayat-ayat mutasyabihat, dan ada juga yang kadang-kala tafwidh dan kadang-kala ta'wil ayat-ayat tersebut, sesuai dengan konteks ayat itu sendiri.

Salaf adalah orang-orang yang menguasai bahasa Arab zauqan wa ma"nan. Oleh karena itu, mereka mengetahui pentingnya siyaq [rangkaian kalimat] dalam menentukan makna lafaz. Sebuah lafaz seringkali berubah maknanya apabila diletakkan dalam siyaq yang berbeda.

Ana ambil contoh dari bahasa kita agar mudah dipahami. Lafaz “tangan dan kaki” misalnya berbeda makna jika ia berada dalam siyaq yang berbeda. Kedua kata ini di dalam siyaq: “Saya memegang dengan tangan, berjalan dengan kaki,” maknanya berbeda dengan ucapan: “Selain kaki tangan dilarang masuk.” Hanya orang tak sadar saja yg mengatakan kedua kata ini di dalam kedua siyaq ini mengandungi makna yg sama. 

Bahasa Arab jauh lebih luas balagahnya daripada bahasa lain, dan ulama salaf kita menyadari fakta ini. Salaf memang tidak menyebut ketika ada perbedaan siyaq dengan istilah majaz atau takwil, sebab ilmu balaghah belum berkembang pada masa mereka seperti ilmu-ilmu keislaman yang lain. Namun sebagai orang Arab, mereka merasakan adanya perbezaan makna akibat perbedaan siyaq ini. 


“Mazhab salaf dalam hal ini memang jelas”, sekali lagi saya setuju. Mazhab ini sangat jelas dipahami oleh para ulama kita, tapi belum tentu jelas untuk kebanyakan daripada kita. 

Apa yang kita fahami belum tentu sama seperti yang mereka fahami. Oleh itu, pemahaman kita mesti selalu disahihkan dengan pemahaman mereka, bukan pemahaman mereka yang mesti selalu diluruskan dengan pemahaman kita. Mereka ulama, sedang kita tak layak walau hanya disebut talib ‘ ilm.


Kesimpulan Jadi, jika seseorang menukilkan perkataan ulama kholaf apakah dari madhab hambali atau pun dari salafus soleh: bahwa kita mengisbatkan seluruh sifat-sifat Allah s.w.t. yang disifati oleh Allah s.w.t. termasuk sifat-sifat mutasyabihat, seperti Wajh, Yadd dan sebagainya tanpa takyiif (membicarakan keadaannya)…” bukan berarti ini manhaj isbat Ibn Taimiyah.

hal Ini karena, para salafus soleh, takkala menegaskan bahwa, kita perlu mengisbatkan sifat-sifat mutasyabihat tersebut,maksudnya bukan mengisbatkan maknanya dari sudut bahasa, tetapi sekadar mengisbatkannya dari sudut lafaz, seperti yang dibicarakan sebelum ini.

Adapun perkataan para ulama’ salaf pada perkataan: “tanpa takyiif” setelah mengisbatkan sifat-sifat mutasyabihat tersebut, jelas maksudnya adalah bahwa maknanya tidak diketahui oleh mereka, dan tidak pula di fahaminya dari sudut bahasa seperti Ibn Taimiyah, karena tanpa takyiif dalam istilah mereka, sama seperti: “tanpa memahaminya dari sudut bahasa”.

Lihatlah sendiri contoh perkataan Al-Baihaqi, di mana baliau berkata pada tajuk-tajuk dalam buku beliau, contohnya: bab isbat sifat wajh Allah s.w.t., kemudian beliau mensyarah dengan demikian: “namun, itu bukanlah satu bentuk anggota”, sedangkan makna wajh dari sudut bahasa ialah satu bentuk anggota/organ. Jadi, isbat menurut salafus soleh bukanlah isbat seperti dakwaan Ibn Taimiyah, kerana isbat salafus soleh semata-mata menetapkan lafaz kalimah tersebut, tanpa memahaminya dengan makna perkataan tersebut dari sudut bahasa, sedangkan Ibn Taimiyah menetapkan makna perkataan tersebut dari sudut bahasanya.

Tafwidh jenis inilah yang disalah sangka oleh sebagian pengikut Ibn Taimiyah dengan mengklaim bahwa, golongan salafus soleh bermanhaj isbat, bukan tafwidh, sedangkan pada hakikatnya, golongan salafus soleh bermanhaj tafwidh, walaupun ada sebagian dari kalangan mereka seolah-olah menggunakan istilah “isbat”. Isbat menurut mereka sekedar mengakui sifat Allah s.w.t. yang mutasyabihat tersebut dari sudut lafaznya saja, tanpa memahami lafaz yang di lalui tersebut. Sedangkan, Ibn Taimiyah mengklaim bahwa golongan salafus soleh memahami maknanya dari sudut bahasa.
ADAPUN ULAMA ketika bersikap mentakwil,maka alasannya sudah di sebutkan di atas...

Terakhir, ana mau meyakinkan semuanya, para ulama dari dua kelompok atau yang melakukan dua metode [isbat dan takwil] hanya dalam keadaan berbeda dalam pendekatan dan metode,juga beda dalam keadaan orang yang di ajak bicaranya, bukan berbeda dalam tujuan dan maksud. Itu yang ana katakan di akhir. Dan ana telah jelaskan alasannya di atas.

Benarlah ucapan yang sangat indah ditulis oleh Al-Hafiz Al-Zahabi dalam Siar A’lam Al-Nubala, di tarjamah Abul Hasan Ali bin Muhammad Al-Asya’ari:

رأيت للاشعري كلمة أعجبتني وهي ثابتة رواها البيهقي، سمعت أبا حازم العبدوي، سمعت زاهر بن أحمد السرخسي يقول: لما قرب حضور أجل أبي الحسن الاشعري في داري ببغداد، دعاني فأتيته، فقال: أشهد على أني لا أكفر أحدا من أهل القبلة، لان الكل يشيرون إلى معبود واحد، وإنما هذا كله اختلاف العبارات.
قلت: وبنحو هذا أدين، وكذا كان شيخنا ابن تيمية في أواخر أيامه يقول: أنا لا أكفر أحدا من الامة، ويقول: قال النبي صلى الله عليه وسلم: لا يحافظ على الوضوء إلا مؤمن ، فمن لازم الصلوات بوضوء فهو مسلم .


Aku melihat al-Asy’ari memiliki ucapan yang aku kagumi. Dan (ucapan itu) sahih, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi: Aku mendengar Abu Hazim al-Abdawi berkata, aku mendengar Azhar bin Muhammad berkata: “Apabila tiba ajal Abul Hasan Al-Asy’ari di rumahku di Baghdad, beliau memanggilku. Beliau berkata: Saksikanlah bahawa aku tidak mengkafirkan seorangpun ahli kiblat, sebab semua mengisyaratkan kepada sesembahan yang satu, dan terjadinya ini semua hanyalah perbedaan dalam ucapan saja.” (perhatikanlah kalimat: sebab semua ... dst). 
Aku berkata (yakni Al-Dzahabi): “Seperti inilah peganganku, begitu juga pegangan guru kami Ibn Taymiah di akhir-akhir hayatnya. Beliau berkata: aku tidak mengkafirkan satu orangpun daripada umat. Nabi Saw bersabda: barangsiapa yang menjaga wuduk, maka ia mukmin. Maka barangsiapa yang menjaga solat-solatnya dengan wuduk, maka ia muslim.”



Semoga Allah menunjuki kita kepada pemahaman yang lebih mendalam bagi manhaj salaf dan metod ahli hadis mutaqaddimin, dan mempraktikkan adab-adab mereka dalam ucapan dan perbuatan. Amin ya rabbal alamin......

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jenazah Tidak Wajib dimandikan Jika Bisa Mandi Sendiri

Hukum Menggunakan Jalan Umum untuk Hajatan Pernikahan

Pelaku Bom Bunuh Diri Bukan Mati Syahid