Meluruskan Nahi Munkar



Anomali Nahi Munkar

1

BAB ini dan selanjutnya saya proyeksikan sebagai inti makalah ini. Setelah sebelumnya saya menguraikan posisi dakwah, filosofinya, fenomena menjamurnya da’i awam, kriteria sahnya tafsir teks keagamaan, maka dalam pembahasan berikut akan terjun ke studi kasus. Ini penting mengingat tulisan ini bukan didedikasikan demi mengkritik imajinasi penulis, melainkan langsung masuk ke dalam fakta empiris. Dalam setiap bagian, akan penulis paparkan sejumlah kesalahan tafsir teks keagaaman yang pada gilirannya menjadi pemicu aksi-aksi radikal keagamaan. Bukankah penafsiran liar mengundang sikap ekstrem? Bukankah banyak terjadi politisasi teks keagamaan demi memuaskan ambisi pribadi para juru dakwah itu? Tentu, saya mencoba memberikan penafsiran menurut khazanah klasik.

Argumen nahi munkar sebenarnya bertaburan dalam Quran dan hadits Nabi, baik yang bersifat perintah maupun langsung merangsek kepada tata-caranya. Namun, dari sekian banyak argumen itu, ada beberapa argumen yang terlalu sering terulang dan, sayangnya, paling rawan terjadi kesalahan tafsir di sana.

Sebuah hadits shahih riwayat Imam Muslim dari Abu Sa’îd al-Khudri, selalu jadi argumen, dan berbunyi:

عن أبى سعيد الخدرى رضى الله عنه قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : من رأى منكم منكرا فليغيره بيده ، فإن لم يستطع فبلسانه ، فإن لم يستطع فبقلبه ، وذلك أضعف الإيمان . رواه مسلم .[Hadits nomer 34 Shahîh Muslim. ]


Dari Abu Sa’îd al-Khudri, mengatakan: aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Siapapun di antara kalian yang melihat kemunkaran, maka hendaklah merubahnya dengan tangan. Jika tak mampu, maka dengan lisan. Jika tak mampu, maka dengan hati. Itulah iman terendah. 

Banyak asumsi salah dari para da’i yang mempersepsikan hadits ini sebagai justivikasi aksi kekerasan dengan dalih adanya kemunkaran. Saat ada kemunkaran, di sana harus dilakukan nahi munkar dengan tangan yang meliputi sikap-sikap kekerasan, penghancuran, dsb. Seolah dengan demikian, mereka menganggap bahwa hadits ini memberikan pilihan kepada umat Islam yang mana mempengaruhi tingkat keimanan mereka. Jika langsung menggunakan kekerasan, ia masuk iman tertinggi. Selebihnya tidak.

Ini sekian dari contoh anomali nahi munkar yang berangkat dari kesalahan tafsir seputar teks keagamaan. Bagaimana sejatinya penafsiran yang sesuai dengan kaedah tafsir dan mempertimbangkan khazanah klasik Islam? Mari ikuti bahasan berikut.

2

DALAM Syarh Shahîh Muslim, Imam al-Nawawi menukil pendapat al-Qâdli ‘Iyâdl:

قال القاضى عياض رحمه الله : هذا الحديث أصل فى صفة التغيير . فحق المغير أن يغيره بكل وجه أمكنه زواله به قولا كان أو فعلا ، فيكسر آلات الباطل ويريق المسكر بنفسه ، أو يأمر من يفعله وينزع الغصوب ويردها إلى أصحابها بنفسه ، أو بأمره إذا أمكنه ، ويرفق فى التغيير جهده بالجاهل وبذى العزة الظالم المخوف شره إذ ذلك أدى إلى قبول قوله كما يستحب أن يكون متولى ذلك من أهل الصلاح والفضل لهذا المعنى ، ويغلظ على المتمادى فى غيه المسرف فى بطالته إذا أمن أن يؤثر إغلاظه منكرا أشد مما غيره لكون جانبه محميا عن سطوة الظالم . فإن غلب على ظنه أن تغييره بيده يسبب منكرا أشد منه من قتله أو قتل غيره بسبب كف يده واقتصر على القول باللسان والوعظ والتخويف . فإن خاف أن يسبب قوله مثل ذلك غير بقلبه وكان فى سعة . وهذا هو المراد بالحديث إن شاء الله تعالى . وإن وجد من يستعين به على ذلك استعان مالم يؤد ذلك إلى إظهار سلاح أو حرب ، وليرفع ذلك إلى من له الأمر إن كان المنكر من غيره ، أو يقتصر على تغييره بقلبه . هذا هو فقه المسألة وصواب العمل فيها عند العلماء والمحققين خلافا لمن رأى الإنكار بالتصريح بكل حال وإن قتل ونيل منه كل أذى .
[ Al-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, Cairo: al-Mathba’ah al-Mishriyyah bi al-Azhar, cet I, 1929, juz II, hlm. 25. ]

Al-Qâdli ‘Iyâdl—semoga Allah merahmatinya—berkata, “Hadits ini landasan dalam karakter bernahi-munkar. Si perubah nahi munkar berhak merubahnya dengan cara apapun yang mungkin dilakukan, baik dengan perkataan atau perbuatan. Ia boleh merusak alat-alat maksiat dan menumpahkan benda-benda memabukkan secara personal, atau memerintahkan orang lain melakukannya. Ia boleh mengambil barang yang di-ghashab dan mengembalikannya kepada pemiliknya secara personal, atau atas mandatnya jika memungkinkan. Ia hendaknya bersikap lembut semampunya saat bernahi-munkar terhadap orang bodoh atau penguasa yang ditakuti efek buruknya, karena hal tersebut akan membantu lebih diterima. Sebagaimana dianjurkan yang melakukannya adalah orang-orang terhormat karena alasan ini (red: lebih dapat diterima). Ia boleh bersikap keras terhadap mereka yang berlebihan dalam maksiat jika kemungkinan besar hal tersebut tak menyebabkan kemunkaran lain yang lebih besar daripada yang ia hilangkan karena orang itu masih berhak terlindung dari gangguan orang zalim. Jika kemungkinan besar nahi munkar dengan tangan menyebabkan kemunkaran yang lebih besar, misalnya terjadi pembunuhannya atau orang lain karena terhalangi, ia hanya boleh bernahi-munkar dengan ucapan lisan, nasehat, dan menakut-nakuti. Jika ia khawatir ucapannya menyebabkan hal itu juga, ia bernahi-munkar dengan hatinya saja dengan bebas. Inilah maksud hadits, insyâ’allah. Jika ada orang yang bisa dimintai bantuan melakukan itu, ia boleh meminta bantuan selagi tak mengangkat senjata atau menimbulkan perang. Dan hendaklah ia mengangkat urusan ini kepada penguasa jika kemunkaran dilakukan orang lain, atau hanya cukup bernahi-munkar dengan hatinya saja. Ini dia pemahaman yang benar atas hadits dan telah diamalkan para ulama terpercaya. Berbeda dari orang yang bernahi-munkar secara terang-terangan langsung di semua keadaan, meski sampai terbunuh atau terganggu”.

Informasi di atas memberi gambaran cukup terang soal karakter nahi munkar. Benar, sesuai dengan hadits, setiap orang berhak melakukan nahi munkar bagaimanapun caranya (tangan, lisan, ataupun hati) karena itu bagian dari dakwah dan tanggung-jawabnya sebagai umat beriman. Namun yang jadi pertanyaan: apakah ini bersifat pilihan, atau memang telah ditentukan kadar masing-masing?

Informasi tadi memberikan keterangan bahwa hadits di atas tak bersifat pilihan, melainkan ketentuan. Yakni dalam beberapa kondisi umat diperbolehkan menggunakan kekerasan (red: dengan tangan), namun dalam kondisi lain tak diperbolehkan dan hanya diperintahkan menggunakan lisan atau bahkan hati semata. Jika kita jeli membaca teks di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa ketentuan dan pemilahan karakter nahi munkar erat kaitannya dengan kondisi sosial dan dampaknya. Tegasnya, jika nahi munkar dengan kekerasan menimbulkan kemunkaran lain yang lebih besar, di tataran kehidupan sosial, maka jelas tak diperkenankan. Ini juga salah satu bukti, agama tak hanya memperhatikan aspek metafisis, melainkan pula mempertimbangkan fenomena dan dampak sosial yang terjadi. Jika demikian, sikap-sikap acuh tak acuh atas kondisi sosial, dan hanya menyandarkan pada aspek metafsis semata jelas bukan ajaran Islam.

Andai masih disangsikan, marilah kita analisis bersama hadits itu secara lebih mendalam dengan perangkat-perangkat istinbat yang terpercaya.

3

HADITS di atas tak bisa diartikan sebagai pilihan untuk bernahi-munkar dengan mengesampingkan ketentuan yang diberikan karena: pertama, frase yang terbentuk di sana adalah syarth wa jawâb, yakni [من رأى ... فليغيره] Dalam kaedah gramatikal frase bentuk ini menunjukkan adanya keterikatan antar bagian pertama dengan selanjutnya, seolah bagian berikutnya (jawâb) harus digantungkan dan disyaratkan oleh bagian pertama (syarth). Ada kondisi yang harus terpenuhi dalam syarth jika ingin melakukan jawâb. Ini memberikan pengertian bahwa hadits di atas bukan bermakna pilihan, melainkan ketentuan.Kedua, di sana menggunakan penghubung (‘athf) antar frase dengan fâ’ yang dalam kaedah linguistik berfungsi li tartîb al-bayan atau li al-tarâkhi. Fungsi ini mengindikasikan adanya susunan hierarki dan ketentuan berjenjang antar satu frase dengan frase lain. Dan jelas bentuk ini meniadakan kemungkinan pilihan.Ketiga, pemaknaan ketentuan dengan bersyarat ini semakin dipertegas dengan frase [إن لم يستطع]. Bukan saja maknanya: jika tak mampu, yang mengindikasikan adanya kondisi tertentu untuk bisa disebut “mampu”, melainkan diksi istathâ’sendiri menggambarkannya dengan jelas.

Istathâ’ dalam teks-teks agama selalu menunjukkan kemampuan dengan bersyarat dan dalam kondisi tertentu. Ketika mewajibkan umat Islam berhaji bagi yang mampu, Allah menggunakan redaksi istathâ’ yang ditafsirkan oleh para ulama dengan: al-zâd wa al-râhilah (modal yang meliputi kesehatan, uang untuk keluarga yang ditinggalkan, dan biaya bepergian). Karena itu, al-Râghib al-Ishfahâni dalam Mufradât al-Qur’ân mengatakan:

والإستطاعة : استفالة من الطوع ، وذلك وجود ما يصير به الفعل متأتيا . وهى عند المحققين اسم للمعانى التى بها يتمكن الإنسان مما يريده من إحداث الفعل . وهى أربعة أشياء : بنية مخصوصة للفاعل ، وتصور للفاعل ، ومادة قابلة لتأثيره ، وآلة إن كان الفعل آليا كالكتابة . وكذلك يقال : فلان غير مستطيع للكتابة إذا فقد واحدا من هذه الأربعة فصاعدا ، ويضاده العجز ، وهو أن لا يجد أحد هذه الأربعة فصاعدا . ومتى وجد هذه الأربعة كلها فمستطيع مطلقا ، ومتى فقدها فعاجز مطلقا ، ومتى وجد بعضها دون بعض فمستطيع من وجه عاجز من وجه ، ولأن يوصف بالعجز أولى . والإستطاعة أخص من القدرة .
[
Al-Râghib al-Ishfahâni, Mufradât al-Qur’ân, Damaskus: Dâr al-Nasyr, tnp thn & cet, juz I, hlm. 339. ]



Istithâ’ah adalah bentuk wazan istifâlah dari thau’, yakni adanya sesuatu yang membuat suatu pekerjaan bisa dilakukan. Menurut para pakar linguistik, ia kata benda yang diperuntukkan menunjukkan makna-makna yang membuat seseorang bis melakukan perbuatan. Ia bermakna empat hal: struktur khusus untuk subjek, gambaran subjek, materi yang bisa memberi pengaruh, dan alat jika perbuatannya berkaitan dengan alat, seperti menulis. Dikatan: seseorang “tak mampu” menulis jika tak memiliki satu dari empak makan ini, atau lebih. Lawan katanya al-‘ajz (tak mampu), yakni tak memenuhi kriteria salah satu makna ini atau lebih. Kapanpun sempurna empat makna ini, ia disebut mampu secara mutlak. Jika tidak, ia lemah. Saat hanya terpenuhi sebagian, ia bisa disebut mampu dalam satu sisi, tapi tak mampu di sisi lain. Meski, ia jauh lebih pantas disebut tak mampu. Istithâ’ah dengan demikian lebih khusus dari al-qudrah.

Di atas terlihat jelas bahwa pemakaian istathâ’ bukan tanpa maksud atau hanya berarti bisa (qudrah) secara biasa, melainkan ada syarat-syarat dan kondisi yang harus dipenuhi agar ia disebut mustathî’. Ini menunjukkan bahwa argumen mereka yang menganggap hadits nahi munkar di atas bermakna pilihan jelas salah, karena diksi yang dipakai adalah istathâ’ yang meniscayakan adanya kondisi-kondisi tertentu yang harus dipenuhi. Jika demikian, masihkan hadits nahi munkar dipahami sebagai pilihan acak, sebagaimana banyak ormas nahi munkar yakini? Bukankah justru keterangan ini membuktikan banyak penyimpangan tafsir terhadap teks-teks agama yang dilakukan ormas-ormas tertentu demi memuaskan kecenderungan dan pendapat pribadi? Tegasnya, nahi munkar dengan kekerasan jelas tak bisa dibenarkan, kecuali memenuhi syarat-syarat dan standar yang baku.

Instrumen Nahi Munkar

1

JIKA nahi munkar tak bisa diidentikkan dengan kekerasan, penghancuran, dan aksi-aksi pengrusakan sebagaimana dipersepsikan dan dilakukan beberapa ormas Islam di Indonesia, bagaimana sejatinya nahi munkar diamalkan? Jika nahi munkar harus tetap memenuhi syarat yang telah ditetapkan syariat, lantas bagaimana mekanismenya?

Seperti ajaran Islam lainnya, nahi munkar tak ubahnya konsep yang juga bersyarat. Ia tak bisa dipahami dan dilakukan secara lugu hanya dengan satu alasan: ada kemunkaran. Ketika ushul fikih menegaskan al-taklîf bi al-masyrûth dûna al-syarth bâthil (memberi taklif sesuatu tanpa syaratnya sekaligus itu salah), maka hal ini mengindikasikan bahwa setiap konsep yang ditawarkan syariat sejatinya memiliki kriteria, kondisi, prasyarat yang harus dipenuhi sebelum seorang mukallaf bisa mengamalkannya. Karena jika tidak, sama saja mengamalkan ajaran syariat sepotong-potong. Bukankah Quran melaknat kaum Yahudi yang mengimani sebagian ayat tapi mengingkari yang lain? Karena itu diperlukan instrumennya.

Instrumen nahi munkar sejatinya tak lepas dari kondisi sosial dan jenis kemunkaran yang dilakukan, sekaligus kondisi yang bernahi-munkar. Al-Mâwardi (w. 450 H) menegaskan, instrumen amar ma’ruf dan nahi munkar adalah hisbah, baik yang bersifat personal yang hukumnya fardlu kifâyah maupun yang berhukum fardhu ‘ain, yakni ketika salah seorang warga diangkat oleh negara sebagai muhtasib.[1] Banyak tugas seorang muhtasib, melihat jenis kemunkaran yang terjadi, atau amar ma’ruf yang ingin digalalakkan. Baiklah, untuk sementara kita sisihkan bagian amar ma’ruf karena concern kita kali ini pada nahi munkar. 

Al-Ghazâli dalam Ihyâ Ulûm al-Dîn menegaskan, muhtasib memiliki lima syarat yang harus dipenuhi: adanya taklif, iman, adil, mampu dilakukan, dan mendapat izin dari imam. Empat syarat pertama saya kira sudah cukup jelas, sehingga syarat terakhir yang akan saya bahas karena berhubungan langsung dengan topik makalah ini.

Mendapat izin dari imam. Al-Ghazâli secara umum menentang syarat ini karena semua ayat Quran dan hadits yang menjadi landasan nahi munkar bersifat umum, dan tak terikat dengan izin imam. Bagaimana seorang membutuhkan restu dari imam ketika, misalnya, melihat ada orang yang meninggalkan sholat sedang belum ada yang mengingatkan? Namun, apa rahasia ia masih mencantumkan syarat ini meski secara umum ditentang?

Jawabnya: syarat ini penting dicantumkan karena terkait dengan beberapa jenis nahi munkar yang memang harus mendapat restu dari imam. Ia menjelaskan, ada lima tingkatan hisbah: memberi tahu (al-ta’rîf), menasehati dengan ucapan lembut, mencela dan bersikap keras, mencegah dengan paksa secara langsung, bertindak langsung dengan memukul secara langsung. Lah, tingkatan terakhir ini yang membutuhkan izin resmi dari imam mengingat, jika tidak, akan menimbulkan kemunkaran yang lebih besar, yakni terjadi gejolak yang luar biasa di masyarakat dan bentrokan di sana-sini. Dengan demikian, setiap orang yang ingin bernahi-munkar sejatinya harus mempertimbangkan syarat-syarat ini sehingga tidak terjadi penyimpangan.[2]

2

BANYAK kesalahan, atau tepatnya serampangan, beberapa ormas Islam yang terlalu semangat bernahi-munkar sehingga tak memperhatikan syarat, kondisi, dan karakter nahi munkar yang harus diterapkan saat terjadi suatu bentuk maksiat. Saya ingin menyorot nahi munkar yang dilakukan dengan kekerasan, atau spesifiknya, penghancuran tempat-tempat maksiat yang masuk kategori dosa besar (hukumnya dikenal dengan had), aliran berbeda, ataupun maksiat lain yang mempunyai implikasi luas di masyarakat.

Mereka selalu berdalih dengan hadits yang menceritakan bahwa Nabi SAW bersama para sahabat menghancurkan masjid dlirâr. Karena itu, sebenarnya nahi munkar dengan merusak pun telah dicontohkan Nabi SAW dan para sahabat, sehingga tak ada alasan apapun untuk tak melakukannya sekarang ketika banyak sekali tempat-tempat maksiat. Jika demikian, apa salahnya nahi munkar dengan merusak?

Saya pikir argumen ini jelas salah satu bentuk kesalahan tafsir teks-teks agama. Ini juga menunjukkan kapasitas khazanah turats sangat diperlukan demi memahami ajaran Islam lebih jernih. Secara umum, argumen itu tak bisa dijadikan dalil buat aksi-aksi kekerasan yang selama ini dilakukan ormas-ormas itu. Bukan saja karena mereka tak mendapat izin resmi dari pemerintah sebagai lembaga muhtasib—sebagaimana syarat yang telah saya paparkan di atas—namun juga argumen itu salah sasaran jika dialamatkan kepada semua orang. Penghancuran masjid dlirâr ketika itu mendapat izin langsung dari Nabi SAW sebagai seorang khalifah/imam/pemerintah, bukan inisiatif pribadi para sahabat. Artinya, mereka mendapat izin resmi dari pemerintah ketika itu. Sehingga wajar saja penghancuran dilakukan karena itu bagian dari siyâsah syar’iyyah yang kewenangannya penuh di tangan pemerintah.

Mungkin mereka akan berargumen bahwa dalam kaedah ushul fikih disebutkanal-‘ibrah bi umûm al-lafdz lâ bi khushûsh al-sabab (barometer hukum dengan universalitas teks, bukan spesifik sebab). Jawabannya: ya benar kaedah ushul fikih itu, dan juga memang diamini mayoritas ulama. Tapi, persoalannya bukan pada itu. Persoalannya justru terletak pada: apakah dalil itu juga masuk dalam kasus penghancuran spesifik tanpa ada izin resmi dari pemerintah seperti yang terjadi sekarang? Tentu tidak. Karena argumen itu sejatinya masuk kategori al-imâmah yang kewenangannya di tangan pemerintah, bukan di tangan orang per orang. Mengapa?

Al-Qarâfi, seorang pakar fikih dan ushul fikih bermadzhab Maliki, mennjelaskan dalam kitabnya, al-Ihkâm fî Tamyîz al-Fatâwâ ‘an al-Ahkâm wa Tasharrufât al-Qâdli wa al-Imâm, perbedaan antara perbuatan Nabi yang berkarakter al-futyâ(fatwa) dan al-tablîgh (menyampaikan ajaran Islam, al-qadlâ’, dan al-imâmahyang mana mempunyai implikasi cukup serius dalam istinbat hukum. Dalam halal-imâmah beliau berkata:

وأما وصفه بالإمامة فهو وصف زائد على النبوة والرسالة والفتيا والقضاء ؛ لأن الإمام هو الذى فوضت إليه السياسة العامة فى الخلائق وضبط معاقد المصالح ودرء المفاسد وقمع الجناة وقتل الطغاة وتوطين العباد فى البلاد إلى غير ذلك مما هو من هذا الجنس . وهذا ليس داخلا فى مفهوم الفتيا ولا الحكم ولا الرسالة ولا النبوة لتحقق النبوة بمجرد الإخبار عن حكم الله تعالى بمقتضى الأدلة ، وتحقق الحكم بالتصدى لفصل الحكومات دون السياسة العامة لا سيما الحاكم الذى لا قدرة له على التنفيذ … وأما آثار هذه الحقائق فى الشريعة فمختلفة . فما فعله عليه السلام بطريق الإمامة كقسمة الغنائم ، وتفريق أموال بيت المال على المصالح ، وإقامة الحدود ، وترتيب الجيوش ، وقتال البغاة ، وتوزيع الإقطاعات فى الأراضى والمعادن ، ونحو ذلك فلا يجوز لأحد الإقدام عليه إلا بإذن إمام الوقت الحاضر لأنه عليه السلام إنما فعله بطريق الإمامة وما استبيح إلا بإذنه ، فكان ذلك شرعا مقررا لقوله تعالى (فاتبعوا لعلكم تهتدون) .[ 3 

Adapaun karakter Nabi SAW sebagai Imam, maka itu berbeda dari kenabian, kerasulan, fatwa dan qadlâ’ karena imamlah yang diberi kewenangan: mengatur politik umum pada masyarakat, menata pelbagai kemaslahatan bersama, mencegah kerusakan, menghentikan para pidana, membunuh para pemberontak, memberi hak masyrakat tinggal di suatu negara, daan sebagainya yang masuk kategri ini. Ini tak masuk pengertian fatwa, qadlâ, kenabian dan kerasulan karena: kenabian hanya berputar pada mengabarkan hukum Allah SWT sesuai dalil, dan qadlâ’ hanya seputar putusan untuk melerai pertikaian dalam peradilan. Keduanya tak masuk politik umum, terutama hakim (qâdli)yang tak memiliki kewenangan eksekutif… Perbedaan ini membuat hukum dan pengaruhnya dalam syariat pun berbeda. Apapun yang dikerjakan Nabi SAW dalam kapasitas sebagai imam, seperti: membagikan harta rampasan, menyebar harta baitul mal sesuai kemaslahatan, menegakkan had (seperti: potong tangan dan rajam), mengatur pasukan perang, memerangi pemberontak, membagi bagian tanah dan tambang, dan semisalnya, maka seorang pun selain imam tak boleh mengambil alihnya kecuali seizin imam ketika itu. Ini karena Nabi SAW melakukannya dalam kapasitasnya sebagai imam, dan tak diperkenankan selain seizinnya. Demikian ini menjadi syariat yang tetap sesuai firman Allah “Maka ikutilah kalian semua, pasti kalian dapat petunjuk”.

Tegasnya, argumen masjid dhirâr yang dihancurkan tak bisa jadi justivikasi aksi kekerasan yang dilakukan beberapa ormas Islam di Indonesia terhadap tempat-tempat maksiat secara umum tanpa seizin pemerintah. Ini karena aktivitas Nabi SAW menghancurkan masjid itu masuk dalam kategori imâmah yang memiliki kewenangan siyâsah ‘âmmah. Informasi di atas juga membuktikan bahwa pemilahan antara hukum imâmah, fatwa, qadlâ’ sama sekali tak mencederai kaedah al-‘ibrah bi ‘umûm al-lafdz lâ bi khushûsh al-sabab karena ini hanya proses istinbat dalam pemilahan antar dalil. Lebih jelasnya, kaedah ini justru tetap berlaku umum, namun sesuai kapasitasnya. Yakni, siapapun yang menjadi imam/pemerintah/presiden di waktu sekarang berhak melakukan nahi munkar jenis pengrusakan ini karena itu berada dalam kewenangannya. Atau, organisas nahi munkar apapun harus menempuh jalur resmi pemerintahan yang sah sehingga memiliki kewenangan untuk melakukan aksi nahi munkar jenis ini. 

Epilog

SAYA pikir, semangat dan ghîrah keagamaan yang dimiliki beberapa organisasi Islam sangat baik. Saya yakin pula tujuan mereka baik. Namun, dalam kacamata syariat tujuan dan ghîrah semata tak cukup, melainkan harus dilengkapi dengan wawasan keagamaan yang cukup mendalam dengan pelbagai etikanya sehingga tak terjadi gejolak sosial di masyarakat.

Beberapa hal yang perlu disimpulkan di sini adalah: pertama, tidak sepantasnya dakwah keislaman terdorong oleh semangat dan emosi yang berlebihan karena itu bisa mencederai syariat itu sendiri dan menimbulkan aksi anarkhis dan radikal yang ditentang Islam; kedua, dakwah harus terus dilanjutkan dengan catatan para da’i terbekali wawasan khazanah Islam yang cukup mendalam sehingga tak membuat tafsiran-tafsiran yang menyimpang terhadap teks-teks agama; ketiga, aksi nahi munkar yang berlebihan dengan pengrusakan terhadap berbagai tempat maksiat, dengan membakar, mengahancurkan rumah-rumah sama sekali tak dibenarkan dalam syariat; dan keempat, ormas-ormas ini seharusnya berusaha melewati jalur resmi sehingga aksinya sah secara syar’i.Bukankah mereka selama ini mengatasnamakan dirinya sebagai gerakan syariat?Wallâhu a’lam bisshawâb

oleh M. Nora Burhanuddin  [LAKPESDAM PCINU Mesir].

 
[1] Al-Mâwardi, Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, Kuwait: Maktabah Dâr Ibn Quthaibah, cet I, 1989, hlm. 315.


[2] Al-Ghazâli, op. cit., juz II, hlm. 339-346.


[3] Al-Qarâfi, al-Ihkâm fî Tamyîz al-Fatâwâ ‘an al-Ahkâm wa Tasharrufât al-Qâdli wa al-Imâm, Cairo: Mathba’ah al-Anwâr, cet I, 1938, hlm. 24-25.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jenazah Tidak Wajib dimandikan Jika Bisa Mandi Sendiri

Hukum Menggunakan Jalan Umum untuk Hajatan Pernikahan

Pelaku Bom Bunuh Diri Bukan Mati Syahid